TENTANG KORAN DAN MEDIA CETAK

Tiap hari koran selalu terbit. Hari libur atau hari kerja, bagi orang yang ada dibalik dapur sebuah koran, enggak ada beda. Kadang koran libur sehari di hari besar perayaan agama. Libur lebih dari sehari? Bukan koran namanya.
Koran pertama kali ada di dunia ini tahun 59 SM di masa Romawi Kuno. Isinya tentang sosial dan politik. Bentuk fisiknya masih lembaran-lembaran pake tulisan tangan. Kertas apa bukan ya? Mungkin kulit, mungkin daun. Zaman baheula banget dan jadi pelopor koran-koran yang ada sekarang ini.
Koran di Indonesia mulai ada tahun 1744. Ada masa pasang surut, bahkan ada yang dilarang terbit karena dianggap provokatif dan segala macam, tapi semua masalah itu berhasil dihempaskan yang bikin kita sampai sekarang masih kenal yang namanya koran.
Bentuk fisik koran memang sangat enggak praktis. Terlalu lebar dan enggak dijilid. Sangat merepotkan baca koran di bus, sangat ribet baca koran di boncengan Abang Ojek Online. Sejak zaman old sampai sekarang, bentuk koran ya begitu-begitu. Lebar-lebar. Sesuatu yang sudah mengakar banget memang susah diubah ya, termasuk bentuk koran yang entah kenapa enggak dibikin lebih simpel.


Berubah bentuk, namanya bukan koran lagi dong? Tabloid punya bentuk yang hampir sama kayak koran, tapi lebih kecil dan enggak seribet koran. Dan dijilid. Kenapa koran enggak mengikuti bentuk tabloid yang lebih simpel? Dibaca di mana pun tetap enak. Kalo koran dibikin seukuran tabloid, namanya berubah jadi tabloid. Kalo dibikin seukuran majalah, namanya jadi majalah. Kalo dibikin seukuran buletin, namanya jadi buletin. Jadi karena nama, koran (harus) berbentuk lebar-lebar?
Selain tentang ukuran, katanya zaman sekarang koran itu sesuatu yang hidup tapi susah, mati tapi enggak mau. Maunya apa? Menyesuaikan zaman. Dulu, puluhan tahun kemarin, sebelum era internet mencekoki kita dengan berbagai daya tariknya, koran jadi primadona. Berita aktual hanya ada di koran. Satu-satunya. Sekarang koran juga tetap menyajikan berita aktual tapi untuk kecepatan pembaruan a.k.a update, koran harus mengaku kalah dari media online. Semua gara-gara internet!
Koran memang pernah jadi primadona tapi sampai kapan pun koran tetap bisa hidup kok dengan bentuk yang enggak simpel kayak gini. Koran tetap punya penikmatnya. Beberapa koran memang ada yang memutuskan berhenti cetak dan beralih ke format online. Ada yang cuma fokus e-newspaper, ada juga yang mengubah koran yang bentuknya enggak simpel itu jadi sebuah portal di dunia internet. Nasib beralih format ini enggak cuma terjadi sama koran. Saudaranya koran, majalah, juga punya beban yang sama. Masih adakah yang hari gini baca majalah dalam bentuk cetak? Apa yang orang-orang harapkan dari baca majalah? Update informasi? Jelas bukan. Biarlah ini jadi wilayah kekuasaan koran. Cari tips dan trik? Internet menyediakan banyak. Kenapa orang-orang (masih) mempertahankan majalah, yang lagi-lagi, kalah sama media di dalam internet?

Bukannya mengharapkan koran, majalah, tabloid, dan segala bentuk media cetak berganti jadi format digital, tapi pasti ada alasan dibalik perubahan fisik satu media. Ingin meraih pembaca yang lebih banyak lagi, mungkin. Buat sebagian pembaca, perubahan fisik ini bukan sesuatu yang diharapkan. Kembalikan format yang dulu!
Koran, majalah, dkk masih akan tetap eksis sampai nanti-nanti. Penikmatnya masih tetap ada, tapi suatu saat harus bersiap kalo penikmat ini enggak cukup mendukung pertahanan bentuk fisik yang buat sebagian orang dianggap kuno. Perubahan format karena finansial juga bukan alasan yang harus ditutup-tutupi. Sepanjang biaya produksi masih di zona aman, satu media cetak pasti akan tetap bertahan, apalagi yang terbitnya harian. Yap! Setiap hari. Alasan berubah bukan cuma karena duit, tapi pasti ada alasan lain yang mendukung media cetak ini harus berubah kalo masih tetap ingin hidup di era digital.
Jogja, 28.12.2017

Tidak ada komentar:

Posting Komentar