PENGALAMAN PERTAMA

Mencoba pengalaman kerja di Radio Edukasi. Senin kemarin wawancara sebagai reporter (?). Aku ngelamarnya jadi penyiar. Nah, bingung ya? Aku juga sama bingungnya. Gimana cerita coba ngelamar jadi penyiar, tapi wawancaranya jadi reporter? Hmm.. apa mungkin karakter suaraku cocoknya baca berita gitu ya? Bisa jadi. Mungkin.

Kata Mba Sari, paling lambat Rabu besok pengumuman siapa yang lolos seleksi. Sekarang Selasa. Aku udah nungguin telepon dari Radio Edukasi sejak pagi. Hape nggak aku tinggal, bahkan saat sedang ngeramein Maulid Nabi di kos, hape tetap aku pegang. Nada SMS aku silent, tapi nada telepon aku biarin on. Kali aja hari ini dapet teleponnya. Tapi hingga detik ini hapeku belum berdering tuh.

Harapanku sih lolos seleksi Radio Edukasi, tapi sebagai penyiar. Kalo pun jadi reporter, nggak apa-apa juga sih. Pengalaman yang berharga banget. Tapi.. tapi.. kalo nggak lolos seleksi, ya sudahlah. Lolos seleksi (walau sebagai reporter) alhamdulillah. Lagian 'kan konsentrasiku Jurnalistik. Saatnya mengasah kemampuan Jurnalistik tuh.

Ngebayangin kerja sebagai reporter sih kayaknya bakalan ngos-ngosan dibanding penyiar. Musti kesana-kemarin nyari berita pendidikan. Ah, belum juga dijalanin, kenapa mikirnya udah macam-macam ya? Sekarang mungkin mikirnya kerja sebagai reporter itu bakalan sibuk banget, tapi seiring berjalannya waktu, pasti bakal nemuin keasyikan dan kenikmatan sebagai reporter. PosThink aja.

Kalo aku diterima di Radio Edukasi, harus siap-siap nih nggak bisa pulang ke Kebumen dengan riang gembira. Liburnya 'kan nggak banyak. Libur normal cuma sehari. Libur hari raya cuma dua hari. Cuma? Itu sih resiko (atau apa ya bahasanya yang lebih enak didengar?) kerja. Walau begitu, seenggaknya sedikit meringankan beban Mamah.
Jogja, 14 Januari 2014

LUCKY

Mencoba peruntungan sebagai penyiar radio. Aku bilang sih peruntungan karena diterima atau nggak sebagai penyiar radio (yang pastinya di sebuah stasiun radio) tergantung dengan keberuntungan. Kata orang sih, mereka yang ahli belum tentu berhasil, tapi mereka yang beruntung justru yang berhasil. Nggak semuanya begitu sih dipikir-pikir. Keberuntungan tanpa kemampuan, tanpa ada usaha, kayaknya sia-sia.

Nggak boleh merasa minder dengan saingan yang ada. Setiap orang pasti punya keistimewaan. Nggak perlu juga bersikap licik dengan menyingkirkan saingan secara halus. Ada teman yang sama juga ngelamar sebagai penyiar radio, oke kita bersaing, secara sehat tentunya.

Ada sih orang yang secara licik menyingkirkan saingan-saingannya, paling nggak biar saingannya nggak banyak. Bagiku nggak perlulah. Keberuntungan dan kemampuan. Dua hal itu sih yang sekarang menentukan. Setiap orang pasti bisa melakukannya asal terus berlatih. Ya... pasti bisa. (Jogja, 10 Januari 2014)

(LAGI-LAGI) NYONTEK

Kenapa harus nyontek? Pertanyaan ini menggantung di kepala saat ujian datang. Bukan ujian hidup ya, tapi ujian semacam semesteran. Kalo ujian hidup bisa nyontek, hmmm... *ngebayangin* Buat apa sih nyontek? Dapet nilai bagus bisa jadi, tapi... apa kamu puas dengan nilai hasil dari mencontek itu? Aku sebenernya pengen bilang ke teman-teman yang nyontek, "Jangan nyontek dong. Kenapa harus nyontek?"

Menegakkan kebenaran emang nggak mudah. (Bahasanya lho. ^ ^) Pasti adaaa aja yang bilang, "Sok suci banget." Pokoknya bla... bla... bla... sampai berbusa deh. Makanya aku lebih banyak diam & mencoba memaklumi. Semoga saja yang nyontek jadi nggak nyontek lagi. Memaklumi kesannya menyetujui ya? Aku sih nggak setuju banget dengan yang namanya nyontek. Aku lebih setuju dengan ujian yang formatnya open book. Ini emang format dari dosen yang bersangkutan ya, bukan format dari mahasiswa yang pengen nyontek.

Daripada nyontek di ujian close book, mending nyontek di ujian open book yang jelas halal. Aku sih nyesek ya lihat teman yang nilainya bagus-bagus tapi dari hasil nyontek. Lebih bagus pastinya dari nilaiku. Kalo nggak lebih bagus dari nilaiku, ngapain juga aku nyesek? Buat apa nilai bagus kalo kamu nggak bisa, nggak memahami ilmunya? (Jogja, 8 Januari 2014)

PILIHAN ITU TERKADANG...

Kunjungan pertama 2014 di rumah mayaku. Saatnya berbenah.. berbenah.. Ha ha ha... =D Mau cerita apa ya kali ini? Hmm.. cerita tentang teman-teman kos aja deh.

Hari ini ada rencana mau kondangan ke rumah Mas Ikhwan a.k.a Pak Guru. Bukan sekedar rencana sih, tapi emang beneran terealisasi pagi tadi.

Awalnya aku mau ikut. Apalagi rencananya mau naik mobil ke rumah Pak Guru di Gunungkidul. Bagiku, lebih baik naik mobil daripada motor. Lebih nyaman. Tapi rencana hanya sekedar rencana. Nggak ada mobil yang cocok. Kami juga mikirin budget juga dong.

Iuran Rp 40 ribu dibalikin. Cukup Rp 5 ribu aja buat beli kado. Pas tahu nggak jadi naik mobil, aku sebenarnya kecewa. Naik motor? Semacam touring? Ke Gunungkidul pula. Oh, nggaaak! Aku pun sempat galau tingkat kecamatan. Apalagi di hari yang sama, Rasida juga ada acara. Makan-makan syukuran wisuda Mas Vedy, Mas Miftah, Mba Erza, Mba Ilma, & Mas Jay.

Pilihan itu emang kadang ngelahirin efek yang nggak enak. Termasuk pilihan yang aku pilih kali ini. Aku bukan nyesel datang ke acaranya Rasida, tapi aku merasa nggak enak dengan teman-teman kos. Apalagi reaksi teman-teman kos tadi pagi saat aku bilang nggak jadi ikut kondangan. Nggak enak banget. Kesannya aku nggak jadi ikut kondangan karena batal naik mobil.

Hmm... emang sih salah satu alasannya itu, tapi bukan semata karena itu. Ada acara Rasida. Aku punya alasan yang masuk akal. Bukan karena apa-apa aku nggak jadi ikut kondangan.

Ya sudahlah. Apapun yang dipikirin sama teman-teman kosku, itu hak mereka. Semoga nggak jadi berlarut-larut sih. (Jogja, 4 Januari 2014)