IZINKAN UNTUK BERTANYA KAPAN

Kata "kapan" bisa jadi sangat sensitif buat yang belum mencapai sesuatu. Banyak "kapan" yang selalu ditanyakan, bahkan terlalu banyak yang enggak perlu sebenarnya. Enggak ada yang salah dengan kata "kapan". Kalo emang perlu dijawab, jawab aja sesantai dan sesimpel mungkin.


"Kapan" akan selalu ada di mana pun. Kamu mungkin sudah paham, kapan kata "kapan" ini akan muncul. Bisa jadi emang sangat menyebalkan. Wajar kok kalo kamu merasa sebal. Enggak jarang kata "kapan" itu emang keluar di waktu yang enggak tepat.


"Kapan" bisa jadi pengingat. Walau ada yang bilang, kita enggak ada hak menanyakan "kapan" ke orang lain, tapi selama pertanyaan ini muncul dengan porsi yang tepat, justru bisa jadi pengingat. "Kapan" yang berlebihan ini justru sering banget dikeluarkan. Mempertanyakan sekaligus menganggap sebelah mata usaha seseorang. Sekarang belum mencapai sesuatu, bukan karena enggak ada usaha. Buat yang sudah meraihnya, tugas selanjutnya adalah mengunci kata-kata yang akan mengikuti kata "kapan". Cukup sampai di sini aja. Enggak perlu menambahkan dengan ini dan itu seolah yang belum mendapatkan karena kurang berusaha.


"Kapan" akan terus mengikuti kehidupan kita. "Kapan" yang menyebalkan juga pasti mengikuti di belakangnya. Enggak perlu menyalahkan. Biar waktu yang akan menunjukkan.


(Jogja, 11 April 2021)

KAKAK

Jadi seorang kakak buat dua adik, harusnya jadi tanggung jawab yang besar. Harus dipikirin banget gimana bisa memenuhi kebutuhan adik-adik. Harus jadi sosok kakak yang bisa diandalkan. Aku bukan enggak masuk kriteria ini, tapi caraku bersikap sebagai seorang kakak terasa berbeda.


Aku pernah baca tweet tentang seorang kakak yang sangat bisa diandalkan oleh adiknya. Aku emang hanya melihat mereka dari luar, tapi membandingkanku dengan dia, perbedaannya sangat terasa. Kedewasaan benar-benar memainkan peranan penting di sini. Bukan cuma tentang usia, tapi juga pola pikir. Aku masih belajar banget buat menjadi dewasa dalam arti yang sebenarnya.


Aku pernah ada momen meyakinkan adikku buat lebih percaya keluarga daripada omongan orang lain. Waktu itu ada satu masalah keluarga yang menuntutku untuk bersikap dewasa. Sempat aku berpikir ini bukan urusanku, tapi aku tahu enggak boleh egois. Kalo aku terus-terusan berlari, masalah yang ada enggak akan pernah selesai.


Waktu itu aku merasa jadi sosok kakak yang bersikap dewasa. Aku sama adik jarang banget ngobrol dari hati ke hati, tapi waktu itu, mungkin buat pertama kali, aku dan adik benar-benar bicara sedalam itu. Sisi positif dari masalah yang sedang kami hadapi.


Dulu aku pengen punya kakak. Aku melihat adik-adikku sebagai individu sama kayak aku ngelihat teman seumuran. Bukan pandangan penuh tanggung jawab seorang kakak yang harus ini dan itu buat adiknya. Sampai sekarang aku juga masih merasakannya. Bukan, bukan aku enggak bertanggung jawab, tapi sosok ideal seorang kakak dalam diriku masih mengintip malu-malu. Atau emang beginilah caraku bersikap sebagai kakak?


Jadi seorang kakak juga belajar jadi psikolog. Belajar memahami apa yang dirasakan adik. Belajar mengerti dari setiap permasalahannya. Kalo seorang kakak enggak peduli, rasanya jahat sekali. Aku juga berusaha memahami adik-adikku, yang lagi ada di masa remaja. Aku beneran kayak psikolog yang harus peka dengan situasi dan kondisi. Harus paham dengan perasaan yang enggak terkatakan. Apalagi dua adikku punya sifat yang berbeda. Aku harus tahu cara menghadapi dua sifat mereka. Belajar sendiri. Meraba-raba memahami.


Aku bisa berkaca sama pengalamanku yang pernah menjadi remaja, walau rasa ini pastilah enggak sempurna sama. Seenggaknya aku masih tahu jalan apa yang harus aku ambil.


(Jogja, 9 April 2021)

MENABUNG ITU MUDAH BUKAN?

Mamah berkali-kali ngingetin aku buat menabung. Apalagi aku sekarang bukan lagi anak remaja. Sudah seharusnya emang punya tabungan. Lebih bagus lagi, sejak anak remaja udah rajin menabung dan di usiaku yang sekarang, masih muda juga kok, tinggal memetik hasilnya.


Aku udah jadi penyiar radio sejak 2015. Kalo aku sejak pertama kali jadi penyiar radio rajin menabung tiap gajian, sekarang nominalnya sangat-sangat lumayan. Enggak perlu lagi pinjam-pinjam uang kalo kehabisan uang saku sebelum gajian. Asal, tabungannya ini enggak aku pake sampai sekarang. Tetap utuh tersimpan di rekening. Aku ngebayangin nominalnya udah merasa luar biasa.


Keinginan buat menabung jelas ada. Setiap orang pasti kalo ditanya begini akan menjawab sama. Udah mengalokasikan tabungan tiap gajian, tapi di tengah jalan dipake lagi. Bukan buat kebutuhan yang maha mendesak, tapi kebutuhan yang sebenarnya bisa diatur-atur biar enggak menyusahkan diri-sendiri. Salut banget sama orang yang komitmen buat nabung.


Aku pernah baca, ada orang Jepang yang selalu menabung dan enggak pernah dipake selama 16 tahun. Pengeluaran tiap hari enggak lebih dari Rp20 ribu. Makan sehari-hari selalu pake udon. Setelah menabung sekian lama itu, di usia 30-an tahun, dia pensiun dan tiap bulan dapat penghasilan Rp55 jutaan dari penyewaan properti miliknya. Nabung selama 16 tahun, pengeluaran per harinya enggak lebih dari Rp20 ribu, bisa beli tiga apartemen. Dibilang ekstrim, iya. Dibilang bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, juga iya. Dia juga enggak pernah beli baju baru dan lebih memilih baju dari sumbangan orang.


Kalo mau menerapkan cara kayak gini, gimana? Tiap orang punya caranya sendiri, tapi buatku enggak perlu seekstrim itu juga. Bukannya enggak mungkin, tapi berasa kayak menyiksa diri-sendiri. Nantinya emang akan ada hasil yang dipetik, tapi waktu juga enggak akan pernah kembali. Enggak akan pernah bisa dibeli berapapun uang yang kamu punya. Oke, sekarang setiap bulan punya pendapatan Rp55 juta, tapi waktu yang udah dilewatkan dengan hemat yang terlalu ekstrim itu enggak akan bisa kembali lagi. Bisa aja ada momen saat itu dia pengen sesuatu, tapi harus merelakan demi komitmen pengeluaran sehari enggak lebih dari Rp20 ribu. Menabung tapi tetap menikmati hidup. Bisa? Bisa aja. Gimana caranya?


Setiap gajian, selalu sisihkan 20% buat ditabung. Komitmen setiap bulan. Jangan bulan ini 20%, bulan depannya 10%, terus bulan depannya 5%. Harus konsisten. Selanjutnya 30% buat gaya hidup, kebutuhan sehari-hari ya, bukan sekedar gaya-gayaan, dan 50% buat keperluan lain, misal bayar tagihan. 30% buat kebutuhan sehari-hari itu diatur banget biar enggak melebihi budget yang ada. Syukur-syukur kalo ada sisanya yang bisa buat tambahan 30% di bulan berikutnya. Kenapa enggak ditabung? Cukup yang 20% aja konsisten tiap bulan. Beneran konsisten ya. Gampang bukan?


Yah... berteori emang enggak sesusah prakteknya. Bisa jadi teori yang kita pelajari, berbeda dari yang kita lakukan. Bukan berarti teori itu enggak penting, tapi dengan teori, kita jadi tahu langkah apa yang harus dilakukan. Tahu ke mana harus melangkah biar enggak salah arah. Perkara nanti teori enggak 100% sejalan sama prakteknya, hadapi aja. Asal masih bisa menjalankan komitmen, khususnya dalam menabung.


Bentuk tabungannya bukan cuma rekening, tapi bisa juga investasi, misal emas. Tiap tahun permintaan emang enggak pernah turun. Harganya cenderung bertahan di atas, enggak yang meluncur bebas dari lantai 20.


Ayo, mau mulai kapan menabung?


(Jogja, 8 April 2021)

MERANGKAI MIMPI

Ngelihat pencapaianku sekarang, ada rasa enggak nyangka udah sejauh ini. Aku pernah punya mimpi jadi penyiar radio. Mimpi yang aku rangkai sejak kenal Rasida FM, radio kampusku. Sebelumnya aku enggak ada keinginan bahkan mimpi jadi penyiar radio. Rasida FM yang membuatku punya mimpi baru. Aku masih ingat waktu SMA aku hanya ingin jadi penulis. Ingin jadi jurnalis. Ini juga alasan terbesarku memilih jurusan di kampus.

Sebelum aku jadi penyiar radio, lumayan sering, hampir setiap hari, pulang ke kost malam-malam. Menuju tengah malam. Waktu itu aku pernah bilang sama diri-sendiri, "Semoga nanti aku pulang malam karena siaran." Semesta mendukung. 2015 adalah lembar pertama ceritaku sebagai penyiar radio.

Perjuangan buat bisa siaran, bukan di radio kampus, lumayan juga. Semangatku waktu itu aku akuin benar-benar keren. Aku lupa-lupa ingat radio pertama yang aku coba peruntungannya. Kayaknya Eltira FM, yang sekarang jadi Smart FM. Pernah juga ikut seleksi di Radio Q, Unisi FM, Star Jogja, Geronimo juga sebagai salah dua the best radio in town, menurut versiku. Waktu di Eltira FM, kayaknya aku enggak dipanggil. Cuma sampai sebatas masukin berkas. Nah, di Radio Q sama Unisi FM, aku sempat ikut tahap selanjutnya. Oh iya, satu lagi yang aku lupa sebutin, i Radio. Sama, aku ikut tahap selanjutnya juga di sini. Kayaknya Retjobuntung juga pernah aku coba, tapi lagi-lagi cuma sampai di tahap masukin berkas.

Waktu seleksi di Unisi FM, aku dan beberapa kandidat lain lagi ada di tahap ujian tulis. Jawabanku waktu itu terlalu enggak realistis. Aku bilang, dengerin Unisi terus setiap hari. Iya, aku emang dengerin, mulai dari Morning Sunrise bareng Zamal Faris dan Rima Rimbow sampe program setelahnya, yang aku lupa namanya, bareng Alifah Farhana. Dengerin karena ada maunya. Dengerin buat belajar gimana style siaran Unisi FM. Aku gagal di tahap ini. Pindah ke Radio Q, aku ikutan tahap rekaman suara. Kalo enggak salah belum nyampe ujian tulis. Entah ada apa enggak, tapi aku lagi-lagi gagal di sini. Seleksi di i Radio aku ikutan ujian tulis sama wawancara. Masuk sesi yang ini, aku ada di satu ruangan. Udah ada cewek, bukan yang muda banget, bukan juga yang ibu-ibu banget. Pertanyaannya lebih ke lifestyle. Sempat juga aku diminta nyebutin merk mobil yang cara baca dan tulisannya beda. Di sini sebenarnya kunci dari wawancaranya. Akan ketahuan seberapa jauh pengetahuan umum yang aku punya.

Setelah melewati berbagai seleksi yang semuanya gagal, Februari 2015, Mas Ari, kakak tingkat di kampus dan juga senior di Rasida FM, ngasih tau aku ada radio yang lagi nyari penyiar. Namanya Radio Widoro di Malioboro. Belum pernah aku dengar namanya. Aku tetap coba aja karena keinginan terbesarku, mimpiku yang paling bikin aku semangat adalah siaran radio. Aku datang ke Radio Widoro dengan perasaan asing. Aku baru tahu ada radio namanya Widoro. Enggak sefamilier Geronimo, Swaragama, Unisi, dan radio-radio yang selama ini jadi favoritku. Jalanku di sini mulai terbuka. Setelah melewati dua tahapan, aku resmi siaran di Radio Widoro. November 2015, aku juga siaran di Rakosa FM. Sampai sekarang.

Ada panjang ceritanya. Tentang perjuangan meraih mimpiku. Tentang perasaan waktu itu. Ada banyak yang pengen aku ceritakan.

(Jogja, 7 April 2021)

KEMBALI KE RUMAH

Lega. Ini yang aku rasakan sekarang. Lega bisa kembali ke rumah. Lega bisa cerita-cerita lagi di sini. Terakhir aku datang di 2019. Tepat saat aku ulang tahun. 2020 bahkan aku enggak ke sini sama sekali. Padahal di tahun itu ada banyak cerita yang bisa dibagikan. Tahun yang mengubah hidup semua orang. Tahun yang mengubah kebiasaan kita.


Sekarang aku kembali. Berawal dari geser-geser status Facebook yang udah lamaaa... banget aku tinggalin. Eh, aku pernah ya promoin blog di Facebook? Iya, aku ingat pernah posting pake hashtag "hey my blog" tapi aku benar-benar lupa sama status ini. Terakhir aku promoin blog di Facebook pake gambar. Dan cuma judul blognya. Setelah aku ingat pernah promoin blog sendiri, semenarik itu, aku sampai enggak nyangka pernah melakukannya, aku jadi termotivasi ingin kembali ke sini. Kembali bercerita.


Aku baca-baca lagi ceritaku di 2017 itu. Lagi-lagi aku enggak nyangka pernah cerita dengan format... bukan sekedar curhatan. Ada info yang aku berikan. Aku cantumkan sumbernya. Ceritaku bukan sekedar gundah gulana isi hati, tapi ada isi yang bisa aku bagi-bagi. Lagi, aku hanya ingat di 2018 pernah komitmen satu hari satu cerita. Demi komitmen ini, aku pernah pinjam komputer di Perpustakaan Kota Jogja. Waktu itu aku harus cerita lewat komputer. Pokoknya harus di komputer. Pernah juga nulis ceritanya di warnet. Ada beberapa kali aku ke warnet demi memperjuangkan komitmen satu hari satu cerita. Sekarang salah satu, eh... bukan tapi salah dua, warnetnya udah enggak ada.


Gara-gara tercambuk motivasi dari cerita-cerita di sini di 2017, aku pengen komitmen lagi. Aku harus kembali. Mungkin satu hari satu cerita lagi. Apapun itu, aku ingin kembali. Aku ingin pulang. Baru sampai di pintu masuk, aku lupa kuncinya. Aku lupa emailnya. Ya Tuhan... apa email blogku? Aku coba dua email, gagal. Aku coba satu email lagi, tapi passwordnya salah terus. Aku hampir menyerah. Hampir merelakan. Enggak, aku enggak boleh nyerah. Udah banyak ceritaku di sini. Aku enggak mau ninggalin dan ngelupain gitu aja. Aku bisa bikin blog baru, tapi ceritanya jelas beda. Aku ingin tetap di sini. Banyak bercerita lagi juga di sini.


Sekarang aku di sini. Makasih, Google, udah kasih tahu aku cara biar bisa kembali ke sini.


Selamat datang kembali di rumah.


(Jogja, 6 April 2021)