KENANGAN

Setiap orang pasti punya kenangan, entah itu kenangan yang menyenangkan atau menyebalkan. Paling jengkel, jika kenangan yang menyebalkan justru terus terngiang-ngiang di ingatan. Kadang merasa aneh juga, kok otak merekam begitu jelas ya kejadian yang sebenarnya nggak penting? Kadang pula, hal yang penting, justru cepat menguap. Pasti ada penjelasannya, cuma aku belum tahu. Searching pasti dapat jawabannya.

Pernah merasakan rasa kangen akan kenangan secara tiba-tiba? Rasanya... susah diungkapkan dengan kata-kata. Bukan begitu? Rasanya, ingiiin mengulang kembali kenangan itu, tapi dunia nyata nggak punya Doraemon, nggak ada mesin waktu. Yah.. cuma bisa senyum sendiri mengingat kenangan itu. Tapi saat sudah kangeeen... banget, nggak cuma senyum sendiri, tapi juga menghayati banget setiap potongan memori yang melintas di otak.

Jika ada mesin waktu atau mesin pemutar waktu atau apapun namanya yang bisa mengembalikan kita ke waktu tertentu, sepertinya menyenangkan ya? Bisa kembali ke masa-masa yang menurut kita menyenangkan. Tinggal pilih saja. Mau masa kecil, masa remaja, pokoknya suka-suka.

Suatu saat mungkin bakalan ada mesin waktu seperti di dunia Doraemon. Bahkan 'doraemon-doraemon' mungkin akan bermunculan di dunia nyata. Di dunia kita. Percaya atau nggak, kita bisa lihat nanti, di masa depan. Manusia 'kan nggak pernah berhenti berkarya, berinovasi, menciptakan sesuatu yang sepertinya mustahil ada, menjadi ada. Mewujudkan secara nyata apa yang selama ini ada di film fiksi ilmiah dan sejenisnya. Robot, mobil terbang, mesin waktu... Ya, suatu saat.

Hanya Tuhan yang tahu masa depan itu. Kita hanya perlu menunggu dan menjalaninya.

Jogja, 14 November 2014

#SatuHariSatuKarya MIMPI SANG KAKAK

Aku menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Aduuuh… berisik sekali. Bagaimana aku bisa konsetrasi belajar kalau berisik begini? Kak Rully, kakakku satu-satunya, terkadang memang menyebalkan. Nyanyi tidak kenal waktu. Memang, kakakku itu hobi nyanyi. Suaranya, yah.. cukup bagus. Tapi seharusnya Kak Rully ingat waktu. Apalagi sekarang waktunya aku belajar.
            
Aku keluar kamar dan mengetuk pintu kamar Kak Rully yang bersebelahan dengan kamarku. Kak Rully masih berdendang dengan gitarnya. Kebiasaan Kak Rully saat tengah bernyanyi, asyik dengan dirinya sendiri sampai tidak menyadari apapun yang ada di sekitarnya. Aku ketuk lagi pintu kamarnya. Kali ini lebih keras.
            
“Kak Rully... Berisiiik!” teriakku sambil menggedor pintu. Bukan hanya aku ketuk, tapi aku gedor agar Kak Rully sadar suaranya sudah mengganggu konsentrasiku.

Tiga menit kemudian, pintu terbuka. Kak Rully hanya menjulurkan kepalanya dari balik pintu. “Ada apa, Ta?”

Aku memasang tampang kesal. Rasanya ubun-ubunku berasap mendengar pertanyaan Kak Rully yang innocent itu. “Ada apa, ada apa! Kak Rully berisik, tahu!”
            
“Apa? Coba bilang sekali lagi?” Kak Rully mendekatkan telinganya padaku. Pura-pura tidak mendengar.
            
Please Kak… Nyanyinya besok pagi aja. Aku mau belajar nih. Besok ada ulangan. Kak Rully nggak belajar juga? Udah kelas XII, ingat Ujian Nasional, Kak.” Bibirku membentuk bulan sabit terbalik. Masih kesal dengan ulah Kak Rully yang berisik malam-malam. Rasanya aku ingin memasang peredam suara untuk dinding kamarku agar nyanyian Kak Rully tidak masuk ke kamarku. Biar Kak Rully nyanyi sampai puas, sampai suaranya habis. Asal tidak mengganggu waktu belajarku, tidak masalah.
            
“Justru aku nyanyi buat ngilangin capek abis belajar, Ta. Emangnya kamu, belajar terus tapi nggak pernah refreshing. Lagian suaraku ‘kan bagus, Ta. Masa bikin belajarmu jadi nggak enak? Bukannya malah semakin nyaman, belajar ditemani suaraku yang bagus dan dahsyat ini?” Kak Rully mulai membanggakan diri yang membuatku memutar bola mata sambil mencibir.
            
“Kak Rully udah sholat isya belum? Jangan-jangan keasyikan nyanyi, jadi lupa…” Aku mengalihkan topik pembicaraan.

Kak Rully tersenyum lebar. “Belum.”
            
“Tuh ‘kan Kak Rully sering gitu. Nyanyi-nyanyi sampai lupa waktu, lupa sholat. Ayo Kak, sholat isya dulu gih!”
            
“Ah, bawel kamu,” kata Kak Rully sambil menutup pintu kamarnya.

Kesalku yang tadi sempat menguap, mendadak datang lagi. Aku gedor pintu kamar Kak Rully lebih keras. “Kak.. Huh! Jangan bikin kesal dong!”
            
“Iya.. iya.. Nona.. Nanti aku sholatnya.” Suara Kak Rully terdengar dari balik pintu.
            
“Ada apa ini?”

Ups! Sepertinya keributan yang aku ciptakan membangunkan Bunda yang sepertinya sudah tertidur. Sekarang memang waktunya tidur.
            
“Bunda… Kak Rully nih.”

[]
            
Kak Rully memang mempunyai suara yang bagus. Sangat berkarakter menurutku. Aku sebagai adiknya, bangga punya kakak bersuara merdu. Wajar saja ada tawaran dari sebuah label musik yang ingin mengorbitkan Kak Rully sebagai penyanyi sesungguhnya.
            
Entah Kak Rully pengen eksis atau apa, sore itu sepulang sekolah, ia bersama teman-temannya mengadakan semacam konser mini di taman kota. Aku yang selalu berangkat dan pulang sekolah bersama Kak Rully, terpaksa harus ikut dan pasti telat pulang ke rumah. Aku pun segera memberitahu Bunda atas keterlambatan ini.
            
Selama ini memang jarang ada yang mengadakan konser atau pertunjukkan musik, apapun itu, di taman kota. Pertunjukkan tabuh-tabuhan instrumen musik di lampu merah, cukup banyak, tapi kurang bisa dinikmati karena mereka hanya unjuk kemampuan saat lampu lalu lintas berubah menjadi merah. Banyak yang abai dengan pertunjukkan musik yang dibayar dengan koin recehan itu. Terlebih saat lampu merah menyala, tepat matahari bersinar dengan riangnya.
            
Seharusnya mereka mengadakan pertunjukkan musik itu di taman kota. Aku yakin akan banyak yang tertarik untuk menyaksikannya. Seperti yang dilakukan Kak Rully dan teman-temannya saat ini. Semoga nanti tidak ada yang memberi koin receh kepada Kak Rully. Aku tertawa kecil sendiri.
            
Saat itulah, selesai Kak Rully mempersembahkan beberapa lagu milik band-band terkenal, datang seorang pria memakai t-shirt hitam dan celana jeans. Kacamata hitamnya membuatnya terlihat mencurigakan. Aku sempat khawatir dari atas motor, saat pria itu mendekati Kak Rully.
            
Mengetahui pria itu adalah produser musik sebuah label ternama, Kak Rully girang bukan main. Ia dan teman-teman band-nya mendapat tawaran untuk go public. Sang produser yakin, Kak Rully punya potensi untuk menjadi penyanyi hebat di negeri ini.
            
Kak Rully terus berlatih di sebuah studio bersama sang produser yang “menemukan”nya. Hampir setiap hari latihan. Kak Rully pun tidak bisa lagi pulang bareng denganku karena sepulang sekolah ia harus latihan di studio yang jaraknya berlawanan dengan arah menuju rumah.
            
“Maaf Renita.. maafkan kakakmu ini. Nanti aku belikan cokelat kesukaanmu deh. Kamu naik angkot ya. Doain aku nih biar mimpiku jadi penyanyi berjalan lancar. Oke?” Kata Kak Rully saat pertama kali aku harus pulang sendiri.

Aku tidak terlalu masalah pulang naik angkot. Hanya saja Ayah sudah berpesan, agar aku dan Kak Rully berangkat dan pulang sekolah bersama dalam satu motor. Kak Rully sekaligus menjagaku, itu yang Ayah bilang. Sebelumnya, aku tidak selalu bersama Kak Rully. Saat SD dan SMP, aku naik sepeda karena jarak dari rumah tidak terlalu jauh. Saat itu aku dan Kak Rully juga beda sekolah. Barulah saat SMA ini, aku satu sekolah dengan Kak Rully. Jaraknya lumayan jauh dari rumah. Jadi Ayah berpesan kepada kami untuk berangkat dan pulang sekolah bersama. Untungnya Kak Rully tidak keberatan dan dengan senang hati memenuhi permintaan Ayah.
            
Kak Rully semakin sibuk. Hampir tidak langsung ke rumah saat pulang sekolah. Setiap hari selalu seperti itu. Latihan.. latihan.. dan latihan. Semoga kerja keras dan usaha Kakak tidak sia-sia. Aku turut mendoakan kesuksesan Kak Rully yang tengah menjalin benang mimpinya supaya menjadi utuh.
            
Aku kangen juga dengan Kak Rully. Setiap hari selalu… saja ada hal yang kami ributkan. Aku sering kesal karenanya. Perbedaan usia yang hanya empat tahun, membuatku dan Kak Rully tidak terpaut jauh. Bahkan saat ke sekolah, beberapa teman sekelasku yang melihatnya, mengira aku diantar pacar. Apa? Pacar? Aku sama sekali tidak berpikiran untuk pacaran.
            
“Kak, kok pulangnya malam terus sih?” tanyaku saat Kak Rully baru saja pulang latihan. Aku tengah menonton TV yang entah apa acaranya. Demi membunuh rasa sepi, aku menonton televisi. Ayah dan Bunda sudah masuk ke kamar untuk beristirahat. Sudah tidak khawatir lagi Kak Rully pulang malam karena kesibukannya jelas. Ayah dan Bunda memang sangat mendukung kegiatan Kak Rully sekarang ini.
            
Kak Rully yang ikut ekskul silat di sekolah, membuat Ayah dan Bunda tenang, anak lelakinya dapat menjaga diri. Sejak sering pulang malam, Kak Rully memegang kunci rumah khusus untuknya.
            
“Latihan Ta. Kerja keras demi menggapai mimpi.” Penampilan Kak Rully terlihat kusut. Wajahnya sangat lelah. Aktivitasnya saat ini memang menguras energi. Semoga kesibukan tidak merenggut kesehatan kakakku.
            
Kak Rully duduk di sampingku. Menyandarkan pungguhnya di sandaran sofa yang empuk dengan kedua tangan telentang sambil memejamkan mata. Aku menghela nafas. Aku rindu kakakku yang dulu.
            
“Kak Rully udah sholat?”
            
“Hmm..” Kak Rully menjawab sambil memejamkan mata. Entah ia mendengar pertanyaanku atau tidak.
            
“Kak Rully udah sholat belum?”
            
“Belum. Ngantuk banget nih, Ta. Asli,” kata Kak Rully sambil menggeleng-gelengkan kepala mengusir kantuk.
            
“Sholat dulu Kak, sebelum tidur. Nanti takutnya bablas sampai subuh.”
            
Bu Ustadzah ngingetin mulu nih. Aku masuk kamar dulu. Capek.” Kak Rully bangkit dari sofa dan berjalan gontai menuju kamarnya yang tidak jauh dari ruang keluarga.
            
Aku hanya menatap Kak Rully dalam diam. Semoga Kak Rully tidak berubah. Sesibuk apapun, sholat jangan dilupakan. Aku menghela nafas panjang. Semoga kesibukan duniawi yang hanya sesaat tidak menjauhkan Kak Rully dari Sang Ilahi.
            
Aku mematikan televisi dan masuk ke kamar.[]


Jogja, 24 Oktober 2014

#SatuHariSatuKarya BUDAK

Pria bersetelan rapi itu tampak ragu. Hati kecilnya mengatakan tidak, tapi kesempatan yang ada benar-benar menggiurkan. Ia menghela nafas. Jangan.. jangan lakukan. Ia memejamkan mata lalu bersandar di sandaran kursi yang empuk.
            
Fasilitas yang selama ini ia dapatkan sudah lebih dari cukup. Penghasilan tetap, ruang kerja nyaman dan ber-AC, dan tidak perlu berpanas-panasan di bawah terik matahari. Cukup duduk di kursinya yang empuk dengan komputer menyala yang menampilkan sederet angka. Bukan pekerjaan yang sulit. Memang cukup membuat otak lelah, tapi deretan angka-angka rupiah itu sudah menjadi makanan sehari-harinya sejak duduk di bangku kuliah.
            
Setumpuk berkas hari ini sudah menunggunya. Ia mengambil berkas pertama yang berada di urutan paling atas. Ia pun melupakan keragu-raguan yang sempat menyerang hatinya.

[]

“Mak, kenapa nggak jualan di rumah saja?” Bayu duduk di samping Emak yang tengah memasukkan nasi rames dalam wadah mika ke dalam keranjang bambu.
            
“Emak masih kuat kok.”

Emak memang teguh pendirian. Bayu paham betul dengan Emak yang sudah tidak lagi muda. Setelah keliling menjajakan nasi rames, badan Emak akan sakit di sana-sini. Bayu sudah menyarankan agar Emak berjualan di rumah saja, namun Emak menolak karena berjualan keliling ini adalah keinginan Emak sendiri. Emak senang dan ikhlas melakukannya walau setelah itu badannya akan pegal-pegal.
            
“Biar Bayu yang jual nasi ramesnya, Mak.”
            
“Jangan. Kamu belajar yang rajin sampai jadi sarjana.”

Bayu, si bungsu dari lima bersaudara. Keempat kakaknya, semuanya lelaki, sudah menikah dan memiliki hidup masing-masing. Hanya Bayu yang masih sekolah dan tinggal bersama Emak. Bapak sudah lama meninggal karena kecelakaan sepeda motor. Kakak-kakak Bayu jarang datang ke rumah menemui Emak. Jangankan datang menjenguk Emak, mengirim uang pun hampir tidak pernah. Bayu mengerti kondisi kakak-kakaknya yang serba terbatas. Bayu juga tahu Emak sangat merindukan anak-anaknya yang telah memiliki kehidupan sendiri jauh di sana. Bayu sedih mengingatnya.
            
“Bayu di sekolah bisa sambil jualan, Mak.”
            
“Nggak usah. Sebaiknya kau pergi ke sekolah sekarang. Nanti telat.”

Emak memang tidak pernah lelah berkeliling menembus teriknya matahari, menjual nasi rames yang Emak racik sendiri. Saat jam makan siang adalah waktu yang sangat tepat bagi Emak untuk menjajakan nasi ramesnya. Salah satu pelanggan setianya bernama Herman. Hampir setiap siang Herman menyantap nasi rames buatan Emak.
            
Emak senang mengobrol dengan Herman. Sambil melayani pembeli, Emak sering bertanya tentang kehidupan pribadi Herman. Pria itu tidak keberatan dengan pertanyaan Emak. Wanita paruh baya itu pun juga sedikit-banyak menceritakan tentang kehidupan pribadinya.
            
“Nak Herman sudah menikah?”
            
“Alhamdulillah sudah, Mak.” Herman dan orang-orang yang membeli nasi rames kepada Emak, memang tetap memanggil “Emak” sehingga nasi rames yang Emak jual terkenal dengan nama “Nasi Rames Emak”.
            
“Wah.. syukurlah. Rezeki orang yang sudah menikah, Insya Allah dilipat gandakan oleh Allah. Tetap berusaha di jalan yang halal, rezeki pasti nggak akan ke mana-mana,” kata Emak.

Herman tersenyum sambil menyantap nasi rames yang enak itu dengan nikmat. Selesai menikmati santap siang, Herman berpamitan kepada Emak karena harus kembali bekerja. Sudah lama Herman menjadi pelanggan nasi ramesnya, Emak tidak tahu di mana Herman bekerja.
            
“Saya bekerja di bank itu, Mak,” kata Herman menunjuk sebuah gedung besar.
            
“Wah.. Kok Emak nggak pernah ketemu Nak Herman ya? Emak juga nabung di bank itu. Sedikit-sedikit uang yang Emak punya, Emak tabung buat biaya naik haji. Insya Allah.”

Hati Herman tersentuh mendengar perkataan Emak. Mulia sekali keinginannya. Ia pun teringat dengan dirinya sendiri. Pekerjaan Herman jelas mempunyai penghasilan yang lebih besar dari Emak, tapi ia sama sekali belum berpikiran untuk menunaikan ibadah haji. Ada yang mengganjal di hatinya.

[]
            
Keragu-raguan itu selalu datang. Ia sudah tidak tahan. Ia ingin menolak. Berontak. Tidak ingin melakukannya. Entah kenapa saat ia bertekad seperti itu, ia teringat dengan perempuan yang ia cintai. Alasan terbesar ia melakukan perbuatan ini. Perempuan itu teramat ia cintai. Ia takut kehilangan cintanya. Semua ini ia lakukan demi perempuannya.
            
Akhirnya ia mengalahkan keragu-raguan dalam hatinya. Bahkan teriakan-teriakan di dalam hatinya sudah tidak mempan lagi untuk mencegahnya. Ia pun mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.
            
“Bagus suamiku. Kalau kau cinta padaku, kau pasti mau melakukan apa saja yang aku inginkan, bukan?”
Tubuh Herman bergetar. Hatinya bergolak hebat. Namun perempuan yang menjadi istrinya itu seolah menghipnotisnya. Herman tak kuasa menolak. Ia terlalu takut kehilangan. Perbuatan haram itu didorong oleh rasa cinta yang begitu besar. Ia takut jika tidak memenuhi keinginan sang istri, maka ia akan kehilangan cintanya untuk selamanya.
            
Herman terdiam. Ia tahu perbuatannya ini salah dan sangat terkutuk. Ia telah mengambil sesuatu milik orang lain. Uang nasabah, termasuk uang Emak, sudah Herman ambil untuk memenuhi keinginan sang istri yang absurd.
            
Sang istri tersenyum puas. Herman entah sampai kapan akan melepas jerat rantai yang mengikat hatinya.[]


Jogja, 23 Oktober 2014

#SatuHariSatuKarya REUNI

Saat aku tengah menunggu angkot sambil membaca Al Qur’an di smartphone-ku, ada seseorang yang menepuk pundakku. Aku spontan menoleh. Seseorang tersenyum kepadaku. Cukup familiar, tapi siapa? Sepertinya aku pernah mengenalnya.

“Hei Bro, masih ingat gue nggak?”

Aku mengernyitkan dahi. Wajahnya tidak asing. Aku memang seperti mengenalnya. Aku berusaha membuka kembali memoriku. Mencoba mencari-carinya di sudut otakku.

“Herdy?”
                     
“Ah, jangan belagak kaget lu Bro.” Lelaki bernama Herdy spontan memelukku dan menepuk punggungku. Salam darinya yang masih aku ingat.

“Apakabar kau, Her?”

“Seperti yang lu lihat. Elu nggak jauh beda ya dengan masa SMA dulu. Tetep alim,” kata Herdy melihat penampilanku dari atas ke bawah. Mungkin karena Herdy melihat baju koko-ku.

“Ngomong-ngomong lagi ngapain kau di kota ini? Bukannya lulus SMA, kau kuliah di luar kota?”

“Gue juga kangen dengan kota ini. Makanya gue sempetin main. Kuliah lu gimana? Jangan-jangan elu udah lulus ya? Diantara kita bertiga, ‘kan elu yang selalu jadi bintang kelas. Gila lu ya dulu. Juara tapi nggak ngajak gue dan Wisnu.”

Aku mendadak ingat Wisnu. Saat SMA, aku, Herdy, dan Wisnu adalah tiga sekawan yang ke mana-mana selalu bersama. Pertama kenal saat masa orientasi, persahabatan kami begitu kental. Bahkan tiga tahun kami selalu sekelas. Baru saat lulus SMA, kami berpisah. Aku melanjutkan kuliah di kota kecil ini sementara Herdy dan Wisnu kuliah di tempat yang sama di luar kota.

“Wah.. kalo lu tahu Wisnu sekarang, beuuuh… dia udah sukses, Bro. Wirausahanya jalan. Keren pokoknya.”

Wisnu berwirausaha? Baguslah. Diantara kami bertiga, Wisnu yang paling kalem. Tidak menyangka sekarang jadi wirausaha. “Usaha apa Wisnu?”
"Bisnis bareng istrinya. Butik khusus pakaian muslim dan muslimah.”

Aku terbelalak mendengar perkataan Herdy. Wisnu sudah menikah? Bagaimana mungkin aku tidak tahu?
            
“Oh iya, gue jadi ingat sesuatu. Kenapa lu nggak datang ke nikahan Wisnu, Bro? Lu udah kami tunggu-tunggu lho.”

Apa Wisnu mengundangku di acara pernikahannya? Aku tidak ingat ada undangan dari Wisnu. Memang untuk beberapa undangan pernikahan, aku sengaja tidak datang karena kesibukanku di organisasi kampus. Ah, mungkin undangan Wisnu terselip di daftar undangan yang aku abaikan. Wajar juga Wisnu tidak menghubungiku karena sejak ponselku hilang, aku ganti nomor. Nomor Wisnu dan Herdy pun ikut hilang juga.

Angkot sudah terlihat dari ujung jalan.

“Bro, lu sibuk nggak? Makan dululah. Kita ngobrol-ngobrol. Udah lama kita nggak ketemu,” kata Herdy.
Aku melihat jam di tanganku. Masih ada waktu sebelum maghrib datang. Sebenarnya aku mau langsung pulang. Terlalu sering aku pulang malam mengurus organisasi. Mumpung sekarang bisa pulang cepat, aku gunakan kesempatan ini untuk segera pulang sebelum maghrib. Tapi ajakan Herdy, sahabat yang lama tidak bersua, juga tidak mungkin aku tolak.

Aku pun mengiyakan ajakan Herdy.

[]

“Lu lagi usaha apa sekarang, Bro?” Tanya Herdy sambil menikmati Ayam Geprek 20 cabenya. Wajahnya sudah basah oleh keringat. Segelas besar air es bahkan sudah habis setengahnya.

“Aku sibuk organisasi di kampus aja.” Jawabku singkat.

“Ah, elu dari dulu sukanya main organisasi terus. Tapi gue nggak heran. Itu ‘kan jiwa elu banget.” Herdy ngos-ngosan, kepedasan, lalu meminum air es sampai habis.

Beda dengan Herdy, aku memesan capcay tanpa cabe. Aku tidak suka pedas. Jadi aku bisa makan dengan santai tanpa perlu megap-megap. Sambil menikmati makanan sore itu, kami bercerita banyak hal. Kuakui, banyak yang berubah dari Herdy. Gaya bicaranya tetap ber-elo-gue karena sejak kecil ia memang tinggal di ibukota. Barulah saat SMA pindah ke kota kecil ini. Dulu, Herdy terkenal yang paling jahil diantara kami bertiga. Dengan paras tampannya, Herdy banyak berpacaran dengan cewek, baik yang satu sekolah maupun dari sekolah tetangga. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala melihat track record sahabatku itu.

Pernah, suatu ketika Herdy jadi mak comblang untukku. Waktu itu ia menjodohkanku dengan Riana, cewek yang jadi mayoret marching band sekolah. Siapa yang tidak kenal Riana? Selain cantik, Riana juga ramah terhadap semua orang, sepanjang yang aku tahu. Mayoret marching band sekolah memang selalu cantik. Tapi waktu itu aku menolak perjodohan. Aku pikir belum saatnya aku berurusan dengan hal seperti itu. Lagipula menurutku pacaran itu hanya punya sedikit manfaat. Lebih baik aku fokus dengan sekolah dan organisasi dulu.

Entah ini cuma perasaanku atau bukan, aku rasa Riana dulu punya rasa suka kepadaku. Setelah aku menolaknya, besok hari aku melihat Riana berboncengan dengan cowok penunggang motor gede dari SMA sebelah. Mungkin aku yang terlalu berlebihan. Sejak penolakan itu, Herdy tidak pernah sok menjodohkanku.

Herdy banyak bercerita tentang mimpinya. Dulu ia ingin punya toko yang menjual perlengkapan olahraga. Dan saat ini, keinginannya sudah terkabul. Membuatku takjub, terkejut, tidak menyangka dan beraneka rupa rasa lainnya mengetahui fakta itu. Padahal baru empat tahun kami tidak bertemu, tapi perkembangannya sudah jauh seperti itu. Jujur, aku merasa kalah olehnya.

Aku kembali melihat diriku sendiri. Apa perubahan yang terjadi denganku? Sepertinya aku merasa tidak ada perubahan yang berarti. Aku tetap sibuk di organisasi kampus dan fokus di dalamnya sejak awal semester kuliah. Mimpiku jadi penulis, ah.. sepertinya belum jadi apa-apa. Aku sepertinya melupakan mimpiku itu.

“Mana buku-bukumu Bro? Katanya mau jadi penulis?” Herdy masih ingat saja dengan mimpi yang aku ceritakan saat kelas X dulu. Aku memang suka menulis. Karangan pendek saja. Beberapa kali tulisanku muncul di majalah sekolah. Tapi sejak kelas XII, aku mulai jarang menulis. Puncaknya saat aku mulai memasuki dunia perkuliahan, aku meninggalkan sama sekali dunia kepenulisan. Aku seperti tersentak oleh pertanyaan Herdy.

“Sabarlah. Nanti kau tunggu saja bukuku. Kau harus jadi pembeli pertama ya,” kataku sambil tersenyum. Ah, jumawa sekali aku ini. Bertahun-bertahun tidak lagi menulis, kenapa kata-kataku terlihat hebat begitu? Bahkan aku sudah lupa kenikmatan menulis.

“Sibuk organisasi itu bagus Bro, tapi elu jangan lupain mimpi-mimpi elu. Masa empat tahun ini belum ada satu pun mimpi lu yang jadi nyata? Bukannya gue sombong Bro, tapi empat tahun itu terlalu lama untuk merealisasikan mimpi kita. Asalkan kita tekun, jangankan empat tahun. Satu tahun aja bisa jadi lho mimpi kita jadi nyata. Gue udah ngerasain itu.”

“Demi toko perlengkapan olahraga yang jadi mimpi gue itu, gue rela berhutang di sana-sini. Gue waktu itu berpikir masa bodoh. Yang penting mimpi gue harus bisa jadi kenyataan. Dan yang paling penting, jalan yang gue tempuh nggak melanggar hukum. Gue usaha dan gue yakin hutang-hutang itu bakalan gue lunasin kelak. Dan Alhamdulillah sekarang walau toko perlengkapan olahraga milik gue belum begitu besar, tapi hutang-hutang itu sudah mulai terlunasi.”

Aku terdiam mendengar cerita Herdy tentang perjuangannya meraih mimpi. Aku habiskan es jeruk di dalam gelasku. Sepertinya aku terlalu asyik di zona nyaman. Hidupku belakangan ini memang, sejujurnya kuakui, hanya begitu-begitu saja. Kesibukan memang menyita waktuku, tapi aku kurang merasakan greget di sana. Entah kenapa. Apa karena aku berjuang untuk sesuatu yang seharusnya tidak aku perjuangkan? Apa seharusnya aku memperjuangkan mimpiku saja?

Sudah terlalu lama aku dengan kehidupanku ini. Apa masih ada waktu? Pertanyaan bodoh. Masih ada atau tidaknya waktu, hanya Tuhan yang tahu. Sebagai manusia, manfaatkan saja waktu yang ada untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat. Melakukan hal untuk merealisasikan mimpi-mimpi.

Maghrib sebentar lagi datang. Capcay di piringku sudah tandas. Begitu juga dengan ayam geprek di piring Herdy. Ia masih kepedasan dengan keringat yang terus mengalir dari dahinya. Aku pun memutuskan untuk pulang. Herdy ingin menginap di rumahku, tapi sengaja aku tolak. Bukannya aku tidak ingin Herdy menginap, hanya saja malam ini aku butuh waktu sendirian untuk merenungkan banyak hal.
            
Aku masih belum melupakan mimpiku. Mungkin rasanya akan berat memulai dari awal, tapi pertemuan tidak terdugaku dengan Herdy, memang sengaja dirancang oleh Tuhan untuk menyadarkanku akan mimpiku yang nasibnya tidak jelas ini. Rasanya aku malu sendiri mengingat mimpiku itu. Mimpi yang sudah lama aku lupakan.
            
Dan di senja ini, aku sepertinya memang harus menata hati untuk kejutan-kejutan yang tidak terduga. Sebelum pamit, Herdy memberiku sebuah surat berwarna cokelat dengan sisi-sisi berwarna merah dan biru. Aku tidak mengerti dengan surat itu, tapi Herdy menyuruhku untuk membuka surat itu sekarang.
            
“Kau, menikah?” kataku tidak percaya. Herdy tersenyum sambil menaikkan sebelah alisnya. Dua minggu lagi. Ternyata dua sahabatku telah mendahuluiku menemukan pendamping hidup.
            
Langit semburat kemerahan. Aku lihat burung-burung beterbangan di ujung sana. Hatiku rasanya teraduk-aduk dengan kejutan ini. Aku menghela nafas panjang. Kuakui kekalahanku. Saatnya aku mulai lagi mimpiku. Kalah bukan berarti menyerah. Akan segera aku raih kemenangan itu agar aku bisa sejajar dengan Herdy dan Wisnu.
            
Reuni selanjutnya, entah kapan Tuhan akan mempertemukan, mungkin saat itu kami sudah membawa buah hati masing-masing. Semoga.[]


Jogja, 22 Oktober 2014

#SatuHariSatuKarya MERENGKUH KEADILAN

Lampu merah menyala. Kendaraan mulai menghentikan lajunya. Beberapa ada yang pura-pura tidak melihat dengan menerobos rambu itu. Seorang pria duduk di bawah patung garuda, tidak jauh dari lampu yang menyala merah. Ia berjalan terseok-seok dengan membawa koran using di tangan kanannya yang bengkong. Tatapannya tidak fokus. Bola mata menatap ke segala arah dengan ekspresi yang entah apa.

Pria itu menyodorkan koran di tangannya. Orang-orang pura-pura tidak peduli. Ada juga yang melihatnya sekilas, kemudian membuang muka. Pria berkulit cokelat legam dengan kaos oblong yang bolong di sana-sini dan celana pendek putih yang kekuningan itu hanya berdiri di bawah lampu merah.

Seseorang berbisik kepada temannya, “Eh siapa sih dia?”

Yang ditanya hanya mengendikkan bahu. Lampu merah masih menyala. Timer masih berjalan menuju nyala hijau. Terasa lama sekali. Siang yang panas ini membuat lampu merah yang hanya menyala selama 60 detik itu terasa begitu lama.

[]

Darmanto setiap hari bekerja dengan tekun melebihi siapapun. Walau pendengarannya tiada dan suaranya masih di Sang Pencipta, pria 35 tahun itu sangat cekatan menjahit sepatu-sepatu. Dunianya yang hening membuat ia begitu serius dengan pekerjaannya. Teman-teman seprofesi sampai heran melihat Darmanto yang begitu cepat menyelesaikan pekerjaan dengan hasil yang lebih banyak dari yang lainnya. Hasil pekerjaan Darmanto tidak asal-asalan. Selain cepat, juga memuaskan.

Darmanto punya alasan kuat mengapa begitu cekatan dengan pekerjaannya. Ia punya istri yang begitu mengerti dirinya dan anak-anak yang lucu menggemaskan. Ia ingin anak-anaknya hidup berkecukupan, tidak seperti dirinya. Ia juga ingin anak-anaknya sekolah hingga jadi sarjana. Darmanto pun bekerja lebih keras dari siapapun demi istri dan anak tercinta.

Seseorang ada yang menyentuh bahunya. Sudah waktunya istirahat. Darmanto meninggalkan pekerjaannya sejenak. Ia melangkah menuju gerbang pabrik yang mengarah ke jalan raya. Saat teman-temannya memilih makan di kantin, Darmanto memilih untuk menemui seseorang yang sudah menunggunya. Satpam yang menjaga gerbang tersenyum kepada Darmanto lalu membuka gembok yang mengunci gerbang tinggi itu. Satpam bernama Wahyu itu hafal betul dengan kebiasaan Darmanto setiap jam istirahat tiba.

Marini tersenyum melihat Darmanto muncul dari balik gerbang. Wanita itu langsung meraih tangan kanan Darmanto dan mencium punggung tangannya. Marini mengeluarkan sebuah kotak dari dalam keranjang bambunya. Makan siang untuk sang suami.

“Anak-anak bagaimana?” tanya Darmanto dengan bahasa isyarat.

“Baik, Mas. Aku titipkan ke Bu Handoyo. Nanti setelah gorengan ini terjual habis, aku segera pulang,” jawab Marini melirik tempe, tahu, pisang dan bakwan goreng di dalam keranjang bambu.

Darmanto makan dengan lahap nasi putih dengan lauk sawi itu. Terasa nikmat. Kantin yang tidak jauh dari pabrik memang menyediakan makanan yang beragam dan tentunya lebih enak. Bagi Darmanto, masakan istrinya walau jauh dari kata mewah tapi penuh dengan cinta. Marini tersenyum melihat suaminya makan dengan lahap.

Jalanan ramai dan asap kendaraan memenuhi udara. Darmanto dan Marini duduk di atas tikar, di bawah pohon berdaun lebat yang cukup untuk menaungi mereka berdua dari sengat terik matahari, yang berdiri tidak jauh dari gerbang pabrik.

Selesai makan, Darmanto segera kembali masuk ke pabrik, walau jam istirahat masih tersisa. Tujuannya adalah mushola yang tidak jauh dari pos satpam.

“Jangan lupa sholat dzuhur,” pesan Darmanto.

Istrinya mengangguk, tersenyum dan mencium punggung tangan sang suami sebelum melanjutkan berkeliling membawa gorengan di dalam keranjang.

Darmanto mengantar kepergian istrinya dengan doa, semoga dagangan Marini segera habis terjual sehingga bisa cepat pulang menemani anak-anak.

[]

Darmanto tidak pernah mengeluh dengan kehidupannya. Semuanya memang serba terbatas namun ia bahagia dengan keluarga kecilnya. Setiap malam, di sepertiga yang Kau janjikan, sajadah biru yang menjadi mas kawin pernikahan mereka, tampak basah oleh air mata. Dalam diam, Darmanto bercerita kepada Sang Penguasa Semesta. Dormanto menanjatkan doa untuk dirinya sendiri, istrinya, anak-anaknya, demi kehidupan yang lebih baik. Darmanto tidak pernah lelah meminta dengan setulus hati karena ia percaya Sang Pemberi mendengar doanya dan suatu saat, di waktu yang indah, doa-doanya akan dikabulkan.

Selesai bermunajat, Darmanto membaca ayat-ayat suci. Begitu khusyuk hingga adzan subuh terdengar. Darmanto memang tidak mendengar lantunan adzan subuh, tapi hatinya selalu mengatakan bahwa adzan telah berkumandang. Waktu sholat telah tiba. Bukan melihat jam dinding yang jarumnya terhenti karena baterainya sudah lama habis dan belum sempat diganti. Darmanto pun bergegas mengambil air wudhu.

Marini sudah menyiapkan singkong rebus, hasil dari kebun di samping rumah, dengan segelas teh panas tanpa gula. Marini juga menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya sambil menyiapkan barang dagangan.

Selesai sholat, Darmanto langsung menyantap singkong rebus sebelum berangkat kerja jam 7 pagi. Darmanto hening menyantap singkong rebusnya tanpa mengusik Marini yang tengah membuat gorengan untuk dijual secara berkeliling oleh Marini sendiri.

[]

Marini sudah siap menjajakan gorengan. Anak-anaknya pun sudah mandi. Ia akan minta tolong Bu Handoyo, wanita yang menjanda dengan anak-anak yang merantau ke luar kota, untuk kesekian kalinya. Marini sudah menganggap Bu Handoyo sebagai ibunya sendiri. Usia Bu Handoyo tidak jauh berbeda dengan usia ibunya Marini jauh di kampung. Memang Bu Handoyo sangat baik terhadap keluarga Marini.

Marini mendengar suara-suara ribut di luar. Penasaran, ia mengintip dari balik jendela. Marini kaget bukan main saat ada seseorang yang melempar batu ke arah jendela rumahnya. Kaca yang pecah berserakan di lantai. Tanpa pikir panjang, Marini berlari menuju anak-anaknya. Lemparan batu semakin banyak. Apa yang terjadi? Marini panik namun tetap berusaha melindungi anak-anaknya yang masih kecil sambil tetap menyebut asma-Mu.

Di luar, suasana semakin berisik dan tidak terkendali.

[]

Darmanto duduk di bawah patung garuda yang gagah dengan sayap membentang. Lambang Negara demokrasi ini. Panas begitu menyengat, tapi Darmanto sudah kebal dengan terik itu. Panas bola api yang setia menggantung di langit ini bukan apa-apanya dibanding kehidupannya yang keras dan penuh liku. Hanya Marini dan anak-anaknya yang menjadi penyemangat untuk tidak menyerah.

Tidak jauh dari patung garuda, lampu merah menyala. Darmanto segera beranjak dari duduknya, berjalan dengan kaki terseok-seok dan tangan kanan bengkong yang memegang koran using. Darmanto bukan ingin menjual koran itu. Lagipula siapa yang mau beli koran lama begitu?

Ia hanya ingin memberitahu orang-orang bahwa ia mencari keadilan. Marini dan anak-anaknya yang tidak tahu apa-apa harus menjadi korban dari penguasa serakah yang ingin mengambil tanahnya demi sebuah gedung tinggi berdinding kaca.

Sepuluh tahun berlalu, Darmanto tetap mencari keadilan itu. Berita naas itu terpampang dengan jelas di koran usang yang ia bawa ke mana-mana. Sejak Marini dan anak-anaknya terpanggang di rumah mereka sendiri, Darmanto mulai rapuh jiwa dan raganya. Sebuah penyakit pun bersarang di tubuhnya. Penyakit yang membuat Darmanto kesusahan untuk berjalan dan berdiri. Tangan kanannya tidak berfungsi dengan normal sehingga terlihat bengkok.

Bola mata hitamnya melihat ke segala arah. Darmanto yang hanya punya langit sebagai naungan dan tanah sebagai tempat untuk merebahkan diri, tetap berdiri di bawah lampu merah dengan koran usang yang disodor-sodorkan kepada pengguna jalan yang menanti lampu merah menjadi lampu hijau.

Darmanto hanya ingin mereka membaca berita naas itu. Namun orang-orang tidak ada yang peduli. Mereka pikir, Darmanto sudah gila.

Lampu merah berubah menjadi hijau.[]

Jogja, 21 Oktober 2014



#SatuHariSatuKarya JANJI YANG TAK TERUCAP

Hari ini terasa lebih indah dari biasanya. Hati terasa bahagia terus-menerus. Berkali-kali Rama mengucap hamdalah atas nikmat yang terasa luar biasa hari ini. Sepertinya hari ini adalah hari yang membahagiakan dibanding hari-hari lainnya. Rama menatap pantulan dirinya di depan cermin. Setelan jas berwarna putih dengan dasi hitam tampak begitu pas. Seolah pakaian itu memang khusus tercipta untuknya. Rambut cepak lelaki berusia 22 tahun itu tampak licin oleh gel rambut. Rama tersenyum. Sepertinya kegantengannya kali ini meningkat dibanding hari biasanya. Rama tertawa dalam hati.

“Ayo Nak, sudah waktunya.” Bunda muncul dari balik pintu.

Rama melangkah mantap. Hari ini adalah hari yang paling ditunggu. Baru saja Rama memegang gagang pintu, ia merasa ada yang kurang. Rama meraba tubuhnya. Semua terlihat rapi. Rama kembali bercermin. Sempurna. Tidak ada yang salah. Bahkan Rama memeriksa sepatunya. Tidak ada yang kurang, batinnya.

Bunda terdengar memanggil-manggil. Rama bergegas keluar kamar. Orang-orang sudah menunggunya.

[]

Rama duduk dengan tenang sambil tetap memasang senyum. Orang-orang sudah mulai berdatangan. Walau Rama telah mempersiapkan diri jauh hari sebelumnya, tetap saja hatinya terasa tidak karuan dan jantungnya berdetak lebih cepat. Rama menghela nafas panjang demi menenangkan hatinya. Tenang.. tenang.. Semua akan baik-baik saja. Rama berkali-kali berkata kepada dirinya sendiri.

Lima menit berlalu. Rama mulai merasa tenang. Orang-orang tampak sibuk dengan orang di samping masing-masing. Saling bercerita entah apa. Rama melonggarkan sedikit dasinya. Rasanya lama-lama dasi ini akan mencekik lehernya.

Sepuluh menit. Rama mulai merasa aneh. Tidak biasanya seperti ini. Rama melirik Bunda yang tengah kipas-kipas, tidak jauh darinya.

“Tenang. Bersabarlah.”

Rama memandang Ayah. Pria paruh baya itu hanya mengangguk, menyetujui perkataan Bunda. Ayah memang tidak banyak bicara. Berbeda dengan Bunda yang sedikit cerewet.

Suasana semakin ramai dan akan lebih ramai lagi nanti. Rama melihat pintu masuk. Tidak ada tanda-tanda. Ia ingin menghubungi seseorang tapi sayang ponselnya sengaja ia tinggal di kamar.

[]

Vidia tengah mematut dirinya di depan cermin. Gaun putih dengan hiasan mawar merah itu membuatnya terlihat seperti princess. Vidia tersenyum. Rambut panjang hitamnya tergerai hingga bahu.

“Kenapa sih Vid, kamu berubah pikiran?” Risa berdiri di samping sahabatnya itu.

“Ini lebih bagus,” kata Vidia sambil memutar tubuhnya.

“Iya, tapi kamu yakin? Rambut kamu bagus lho dibiarkan tergerai. Jujur, aku iri dengan rambut indahmu, Vidia.”

Vidia mengambil kain panjang yang senada dengan gaunnya dan memakainya menutup rambut hitam legamnya. Vidia sibuk dengan kain itu. Risa hanya melihat Vidia yang terlihat cekatan memakai kain panjang itu.

“Vid, kamu selama ini belajar tutorial hijab ya? Kok cepat gitu pakainya?

“Nggak kok.”

“Kamu ‘kan selama ini jarang berjilbab. Paling pas pengajian aja kamu pakai jilbab. Apalagi pas pengajian ustad itu tuh…” Risa tersenyum dan memberikan penekanan pada kata “ustad”.

“Kita ‘kan muslimah. Masa iya berjilbab menjadi hal yang sulit? Ini sih gampang.” Vidia telah selesai dengan jilbabnya. Tampak cantik terlebih dengan gaun yang ia kenakan. Membuat Vidia jauh tampak berbeda. Risa pun mengakuinya. Ia seperti tidak mengenal Vidia dengan penampilan seanggun itu.

“Aku masih nggak ngerti denganmu Vidia, yang menutup rambut indahmu dengan jilbab. Padahal gaunmu pun sudah panjang. Seenggaknya penampilanmu pun sudah tertutup.”

Risa melirik sahabatnya itu lalu pelan menambahkan, “Hmm.. Vid, kamu begini bukan karena ustad ganteng itu ‘kan?”

Vidia tampak diam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Risa. Sejurus kemudian Vidia tersenyum.

“Insya Allah semua ini lillahita’ala. Awal-awal memang benar apa yang kamu katakan, Sa. Tapi semakin lama, semakin aku terbiasa, aku menyadari bahwa kita diciptakan istimewa dan berharga. Sesuatu yang istimewa apalagi berharga pasti nggak akan dibiarin gitu aja ‘kan? Harus dijaga baik-baik.”

Risa menelan ludah. Tidak menyangka Vidia punya jawaban yang baginya terdengar bijak. Kata-kata Vidia sedikit menohok hatinya.

“Lagipula Sa, aku nggak mau menutup aurat justru saat aku sudah nggak berdaya, nggak bisa berbuat apa-apa. Hanya pasrah dengan apa yang sudah kita lakukan.”

Risa terdiam. Kali ini entah mengapa kata-kata Vidia begitu membekas di hatinya.

[]

Ini sudah terlalu lama. Hampir 30 menit berlalu. Perasaan Rama semakin tidak karuan. Orang-orang pun mulai bertanya-tanya. Kasak-kusuk mulai terdengar.

Bunda juga merasa ada yang aneh dengan keterlambatan ini. Tidak mungkin terlambat begitu lama tanpa kabar apapun. Bunda akan menelepon seseorang tepat saat ponselnya berdering. Akhirnya mereka menelepon juga, batin Bunda sambil menekan tombol hijau.

Bunda terbelalak mendengar suara di seberang sana. Air matanya langsung mengalir. Bunda melihat Rama, putra semata wayang yang tidak hanya tampan tapi juga pandai mengaji.

Rama melihat Bunda menangis.

“Kenapa Bunda?”

[]

Hari ini terasa biasa saja. Matahari bersinar cerah di Minggu pagi yang beranjak menjadi siang. Rama terdiam menikmati hari ini. Berusaha untuk selalu menyebut asma-Nya di dalam hati terus-menerus.

Sudah tujuh hari berlalu. Rama sudah menata hatinya walau akan rapuh kembali saat ia mengingat hari itu. Bagaimana pun Rama hanyalah manusia biasa. Ia sempat marah dengan Sang Pemberi Kehidupan. Rama merasa ini tidak adil. Takdir ini terlalu kejam.

Namun Rama tersentak dengan amarahnya sendiri. Ia beristighfar dengan mata menganak sungai. Rama tidak sendirian. Ada yang selalu mengawasinya dan membersamainya setiap saat. Sesungguhnya Dia dekat.

Tidak ada hari istimewa itu. Janji indah itu bahkan belum keluar dari lisannya. Vidia sudah menyatu dengan tanah. Kecelakaan saat hari bahagia itu telah mengambil Vidia untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali.

Rama memejamkan mata sambil terus membasahi lisan dan hatinya dengan untaian dzikir.

“Vidia, semoga kita dipersatukan di Surga kelak.”[]


Jogja, 20 Oktober 2014