PERASAAN YANG LAIN

Melihat mereka yang menggantikan rasanya ada semacam perasaan enggak rela. Mungkin kalo aku keluar atas kemauanku sendiri beda lagi rasa.

Aku mungkin akan mengenangnya dengan suka cita. Faktanya ada perasaan enggak rela itu karena aku tergantikan. Aku paham. Aku mengerti.

Menggantikan dan tergantikan itu biasa terjadi. Tergantikan secara paksa itu yang mungkin di luar kebiasaan. Dipaksa untuk keluar dari sebuah rumah yang dianggap seperti keluarga.

Makin diingat, makin gedek rasanya. Pelan-pelan harus merelakan sampai perasaan enggak rela itu berubah menjadi perasaan biasa aja. Menunggu waktu.

Termasuk menunggu karma yang akan mendatangi mereka. Siapa yang menanam, dia yang menuai. Oke, cukup. Jangan diingat yang jelek terus.

Masih banyak hal baik yang bisa aku kenang-kenang di sana. Mungkin hal jeleknya enggak sepenuhnya bakal aku lupa tapi jangan juga aku ingat-ingat terus. Cuma capek hati yang ada.

Hal baik yang bisa aku kenang di sana... ah, toilet! Serius toilet? Ya! Toilet di sana menjadi saksi kekonyolanku. Bahkan kalo aku ingat rasanya kayak, "Kok bisa sih aku ngelakuin itu?"

Waktu itu aku dapat siaran pagi. Sengaja aku mandi di sana biar enggak mandi kepagian. Jam 4 pagi mandi itu rasanya super sekali.

Aku masih di tahun pertama siaran. Dulu jam 5-6 pagi muterin rekaman tausiah. Bisa aku tinggal ke mana-mana dong. Termasuk mandi.

Masuklah aku ke toilet. Catat ya, to-i-let. Bukan kamar mandi. Ada kamar mandi di belakang tapi waktu itu aku belum tau.

Toiletnya itu pakai WC duduk. Ada semprotan di sampingnya. Aku pakailah semprotan itu untuk mandi. Bisa dibayangkan air yang seharusnya dipakai buat nge-flush dan cebok, aku pakai buat mandi.

Selesai mandi, Mas Ansory yang tiap pagi bersih-bersih ngasih tau aku jangan mandi di toilet. Saat itulah aku baru tau ada kamar mandi di belakang.

Bayangin mandi di toilet pakai air buat nge-flush. Iya airnya bersih. Bukan air kotor juga. Cuma dipikir-pikir setelah itu bahkan sampai sekarang, bisa-bisanya aku melakukan itu.

Cerita baik lainnya di sana masih banyak. Nanti aku cerita-cerita lagi.

Jogja, 23 April 2022

HASIL PERTAMA

Hasil pertama yang enggak sesuai ekspektasi. Sedih sih ratusan artikel yang aku tulis "hanya" dihargai segitu. Beneran semiris itu.

Yah... walau aku juga tahu yang berhasil dimuat belum nyampe ratusan karena suatu hal.

Balik lagi ke prinsip rajin menulis. Apakah aku masih memegang prinsip ini? Kuncinya memang di page view tapi kuantitas tulisan juga berpengaruh. Kualitas juga tentu.

Rasanya tahu hasil pertama ini mixed feelings banget. Apakah aku akan menyalahkan atau sadar diri usahaku di sini masih belum sekeras itu?

Kenapa kuantitas juga penting? Karena semakin banyak jumlahnya, semakin besar peluang Google untuk melirik dan menjadikannya di urutan pertama pencarian. Hasilnya bisa menambah jumlah page view.

Page view yang ramai tentu sangat mempengaruhi hasil akhir yang biasa disebut payroll.

Oke, aku enggak menyalahkan siapa-siapa. Aku enggak menyalahkan diri-sendiri juga. Sekarang masih let it flow aja. Tunggu sampai bulan ketiga.

Entahlah apakah hasil selanjutnya kalau masih enggak sesuai ekspektasi aku tetap bertahan atau menyerah. Walau kelihatannya bikin artikel segampang itu dengan jumlah kata yang enggak sebanyak itu juga, tapi enggak asal copy kemudian paste.

Ada jerih-payah yang perlu dihargai dan diapresiasi di sini. Mungkin buat yang sudah merasa mendapat penghargaan dan apresiasi akan masuk di zona aman. Sementara buat yang merasa sebaliknya justru terkesan kejam dan setega itu.

Jadi ingat istilah penulis selalu dibayar murah. Kurang penghargaan dan apresiasi. Dianggap "pekerjaan" yang mudah dan gampangan.

Sekarang masih bulan pertama. Ingat terus aja yang sudah masuk di zona aman. Mereka bisa kok. Kamu juga bisa.

Mungkin dengan caramu sendiri.

Jogja, 11 April 2022

KEMBALI KE 2011

Sempat kepikiran kalo teman-teman alumni SMA ngadain bukber terutama alumni yang stay di Jogja, mungkin aku jadi yang paling tua. Teman-teman lulusan 2021, 2020, 2019, aku 2011.

Jauh banget. Berasa tua kalo sama mereka. Faktanya emang aku lebih tua tapi aku enggak merasa setua itu.

Lulusan angkatanku yang masih mau ikutan acara bukber dan semacamnya kayaknya bisa dihitung pake jari. Aku salah satunya. Kecuali bukber seangkatan dan sekelas ya.

Kalo bukber atau acara lintas angkatan, khususnya yang ngadain angkatan di bawahku, mungkin enggak sebanyak itu lulusan angkatanku yang ikut. Jarak angkatannya jauh juga sih.

Aku ngebayangin ada di posisi lulusan angkatan 2021 ngelihat lulusan 2011. Berasa kayak aku ngelihat lulusan 2001. Jauh, 'kan?

Sejauh ini sih belum ada gaung-gaung bukber. Apalagi momennya juga pas banget. Ramadhan.

Mungkin karena masih pandemi. Banyak yang enggak stay di Jogja karena perkuliahan masih banyak lewat online.

Gaung bukber jadi enggak kedengeran. Tahun 2021 ada bukber sama alumni SMA enggak ya? 2020? 2019? 2018 kayaknya ada sih.

Kalo ada bukber lulusan SMA-ku kemungkinan aku datang. Lihat sikon juga sih. Mungkin yang datang bakal dominan angkatan di bawahku jauh.

Lulusan angkatanku kebanyakan mungkin udah sibuk sama urusan keluarga. Sibuk sama kehidupannya masing-masing.

Aku ngebayangin yang udah punya keluarga bisa enggak ya keluar sebentar buat pergi sama teman-temannya? Me time tanpa keluarga sesekali boleh, 'kan?

Mungkin bisa. Aku yang belum mengalami aja yang berpikiran sulit. Kalo udah dijalani mungkin enggak sesusah itu.

Kalo ada bukber teman-teman alumni SMA angkatanku terus banyak yang bawa pasangan sama anaknya, rasanya gimana gitu ya. Bukannya ngelarang apa gimana tapi bisa enggak ya acaranya kita-kita aja yang ada di lingkar pertemanan?

Sesekali loh. Ngobrol seru mengenang cerita waktu SMA. Pastu menyenangkan. Waktu emang mengubah banyak hal ya.

Jogja, 10 April 2022

PERGI MENJAUH

Ada satu tweet yang lewat di timeline gara-gara diretweet entah dilike sama teman. Seseorang ditemukan tewas dengan gantung diri. Sebelum menemui maut, dia menuliskan tentang kehidupannya.

Memasuki dunianya dan ikut merasakan apa yang dia rasakan. Semua orang pasti punya masalah. Semua orang juga punya level kekuatan yang berbeda buat menghadapinya.

Dari ceritanya, dia menyibukkan diri di kegiatan kampus. Mungkin ini satu-satunya cara buat dia merasa lebih hidup. Lingkar pertemanan sangat mempengaruhi kekuatan dirinya untuk bertahan.

Satu hal yang aku tangkap dari ceritanya. Saat dia butuh pelukan justru menjauh. Dia enggak ingin menyakiti orang lain.

Dia enggak mau membuat orang lain merasakan sakit yang dia rasakan. Seberapa dalam aku memahami ini mungkin enggak seberapa. Kalo dia menyingkirkan ego ini dan menerima pelukan dari orang-orang di sekitarnya mungkin kekuatan untuk bertahan masih ada.

Satu hal lagi. Dia enggak mau dikasihani. Dia enggak mau orang lain melihat dirinya rapuh. Harus ada cara yang pas buat memeluk dia dan dia-dia lainnya tanpa merasa dikasihani.

Jalan hidupnya dari cerita yang aku baca memang berat. Menanggung beban di pundaknya sendirian. Tumbuh tanpa ayah dan ibu pasti sangat sulit.

Itu yang dia rasakan. Gimana dia berjuang buat dirinya sendiri. Mencoba bertahan dan bertahan. Walau akhirnya dia sampai di titik menyerah.

Dia bertahan dengan menganggap hidupnya sebagai lelucon. Menjadikannya bahan tawa biar enggak merasa yang dia lalui seberat itu.

Aku enggak kenal dia secara langsung. Aku cuma kenal lewat cerita yang dia tulis. Tentang hidupnya yang penuh liku dan cobaan.

Semoga kita tetap mendapat kekuatan buat menghadapi setiap tekanan. Semoga kata menyerah enggak jadi bayang-bayang kita untuk tetap bertahan.

Tuhan enggak ngasih cobaan buat manusia di luar batas kemampuannya. Walau memang saat menghadapinya ada di titik yang seberat itu.

Semoga kita tetap kuat dan bertahan. Jangan dipendam semuanya sendiri. Semoga masih ada tempat untuk berbagi rasa.

Jogja, 6 April 2022

BUKBER

Satu kata yang sering muncul saat bulan Ramadhan: bukber a.k.a buka puasa bersama. Ingat banget waktu tahun-tahun awal lulus SMA, rencana bukber pasti udah bergaung sejak hari pertama Ramadhan.

Entah kenapa memori bukber teman-teman kuliah enggak semelekat itu. Aku justru ingatnya bukber-bukber teman-teman SMA.

Rencana yang berakhir menjadi wacana. Ada juga yang begini. Tetap ada kok yang terealisasi.

Aku ingat bukber teman-teman SMA, teman-teman sekelas lebih tepatnya, waktu tahun-tahun awal lulus. Mungkin masuk di tahun ketiga kali ya. Masih bisa dibilang tahun-tahun awal tuh.

Waktu itu bukber di Alun-Alun Kebumen. Menunya nasi goreng di kawasan Alun-Alun kalo enggak salah. Langsung pesan di hari bukber. Enggak pake booking-booking dulu.

Bukber waktu itu seru. Enggak ada yang namanya riya ini dan itu. Selayaknya ketemu teman yang udah lama enggak ketemu. Seantusias dan seheboh itu, walau enggak semua datang.

Semakin waktu berjalan, satu per satu mulai berubah. Udah jelas. Perubahan itu pasti datang.

Tahun ini undangan atau rencana bukber yang pada masa itu gencar digembor-gemborkan sepertinya udah mulai dilupakan. Kemungkinan tetap ada, tapi mengingat waktu yang sekarang entahlah.

Masing-masing kami udah punya kesibukan yang jauh berbeda dibanding kesibukan di tahun-tahun awal lulus SMA. Prioritasnya juga beda.

Bukber tetap ada buat yang sedekat itu. Aku ada teman yang dekat banget sama teman yang lain. Mereka udah kayak saudara. Keep in touch sampai sekarang. Aku yakin mereka akan ngadain bukber. Walau namanya secara "resmi" bukan bukber.

Tahun ini hampir semua teman sekelasku di SMA udah nikah. Udah punya prioritas yang beda. Rasanya aku enggak percaya diri buat bilang, "Kapan kita bukber, Gaes?" di grup WhatsApp. Menunggu teman yang lain bilang begini juga rasanya enggak bisa diharapkan.

Prioritasnya sekarang berbeda. Aku hanya melihat subjektif sih. Aku belum pernah ngerasain sendiri. Apakah benar se"kaku" itu?

Prioritas yang berbeda, jelas. Apa benar enggak ada waktu buat pergi sama teman-teman setelah punya prioritas yang beda? Mungkin enggak segitunya juga.

Kalo ada rencana bukber, aku sebisa mungkin bakal datang. Kesempatan bertemu kayak gini yang jarang banget bisa didapat sekarang.

Apakah benar-benar ada rencana bukber itu? Selalu ada kemungkinan. Selalu ada kesempatan.

Jogja, 3 April 2022