Langsung ke konten utama

SEPATU (RATUSAN RIBU)

Dulu enggak kenal sepatu original harga ratusan ribu. Sangat jarang, justru belum pernah, dulu beli sepatu yang harganya di atas Rp 100 ribu. Paling mentok Rp 80 ribu. Rp 100 ribulah. Standar harga sepatu waktu masih zaman sekolah. Namanya juga di desa, harga segitu wajar. Justru yang harganya ratusan ribu rupiah yang enggak wajar. Mampirlah ke satu pasaraya di kota kecilku. Bukan mall, tapi pasaraya. Tempat belanja legendaris. Sangat-sangat langka kesempatan bisa belanja di tempat ini karena buat beberapa orang, datang ke pasaraya ini semacam jadi piknik gitu. Harga sepatu di sini mulai dari Rp 100 ribu. Entah sepatu original atau KW, yang jelas, bagi kebanyakan orang di desaku, harga sepatu yang dijual pasaraya ini jelas enggak masuk akal. Siapa yang mau beli sepatu semahal itu? Cuma orang kebanyakan duit yang (mau) beli.
Sekarang beda banget. Sepatu Rp 100 ribu? Bukan sepatu original. Baru pake beberapa kali, jebod. Bukan KW super pula. Harga sepatu Rp 200 ribu - Rp 300 ribu, baru bisa dapat sepatu KW super. Buat yang pengen sepatu original tapi belum ada dana, sepatu KW super ini bisa jadi pilihan. Datang saja ke toko sepatu, mulai dari pinggir jalan dengan toko sederhana sampai toko yang ber-AC dan berdinding kaca. Beli sepatu original jangan asal. Asal tempatnya bagus, ber-AC, dan berdinding kaca. Sepatu original hanya ada di mall-mall dan toko resmi dari merk yang bonafid itu. Harga paling murah Rp 500 ribu. Awalnya merasa kaget. Kenapa mahal banget? Setelah ngerasain sendiri betapa ruginya beli sepatu yang harganya mendekati Rp 300 ribu-an tapi KW, mending beli sepatu original, mahal sekalian. Lama-lama jadi biasa. Harga sepatu ratusan ribu rupiah dirasa standar. Kualitas dan merk jadi satu pertimbangan. Sepatu ber-merk, sepatu original, sepatu mahal. Ada rasa percaya diri waktu pake sepatu original yang mahal ini.
Sekarang harga barang di bawah Rp 100 ribu, bukan cuma sepatu, dirasa sangat jauh dari kualitas yang oke. Mending beli (sepatu) yang original walau mahal, tapi bisa dipegang kualitasnya sekaligus merk-nya juga terkenal.
Jogja, 6.12.2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan