Behind The Story: Mudik

Mudik menjelang pergantian tahun. Beberapa cobaan turut menemani. Pertama, ban bocor sebelum aku mudik. Hari Minggu, bengkel terdekat dengan kost-ku tutup. Sempet bingung juga. Gimana nih? Untungnya Doni mau bantuin aku. Doni nyari bengkel yang buka dan akhirnya ketemu. Fiuuuh... alkhamdulillah. Kali ini aku makasih banget sama dia. Kedua, mudik terlalu sore. Manusia memang hanya bisa merencanakan, Tuhan yang menentukan. Rencana awal sih mudik jam 1 siang gitu, tapi Live Class Rasida yang cetarrr membahana bareng Lukman Haswara molor sampai hampir jam 3 sore gitu. Buat ujian anak Semester Lima sih. Mudik kesorean, hujan pula. Hujan itu berkah, tapi kalau aku boleh request, hujannya turun pas aku udah di rumah.

Dekat tapi Jauh

Tahun lalu, ada beberapa penghuni De-Ha, my dormitory, yang nggak aku kenal. Bukan nggak dikenal dalam arti aku nggak mengenalnya. Aku tahu namanya, aku tahu sedikit tentangnya, tapi aku nggak akrab dengan mereka. Tahun lalu terjadi sama Mas Zen. Tahun ini terjadi sama Novan dan Richi. Trus kayaknya sekarang ada penghuni baru lagi dan aku nggak tahu siapa. Pengganti penghuni kamar Rois. Mas Arfi pindah ngontrak, kamarnya diambil alih sama Rois. Dan kamarnya Rois diambil alih sama orang lain. Ya, emang ada penghuni baru, kayaknya.
Mau nyapa duluan, ah... sebenernya bisa aja, tapi... Hmmm... kaku, awkward. Pengennya sih natural aja. Kenal dan dekat dengan semuanya, tapi apa daya belum bisa juga. Mungkin nanti...

Aku... Istimewa

Kamis, 27 Desember 2012, aku gelisah. Kuliah Periklanan di teatrikal Dakwah belum juga selesai. Waktu semakin merangkak naik dan aku belum sholat ashar! Mulai kuliah jam 3 sore dan aku nggak sholat dulu. Kuliah masih berjalan masih lumayan lama pula. Kuliah terakhir, ngebahas iklan-iklan yang udah di produksi. Aku sempet nggak pede dengan iklan produksi kelompokku. Soalnya setting salah banget. Iklan nanam pohon, seharusnya di tempat yang tandus. Waktu pembahasan bener-bener nggak kepikiran sampe situ. Trus kata Bu Elis, iklan itu belum jleb banget, belum mengena. Bener-bener sempat bikin aku nggak pede. Komen juri gimana ya? Gimana ya? Gimana ya? Iklan produksi kelompokku diputar pas akhir-akhir gitu. Komen yang diberikan Om Surya, pekerja iklan yang memproduksi iklan 76 dan seabrek iklan keren lain, nggak pedesss. Standar. Kata Om Surya, harus lebih banyak belajar tentang fotografi atau apa, gitu. Aku rada lupa. Tentang angle gitu deh. Trus Om Surya bilang, setting banyak rerumputan, mungkin itu penggambaran untuk sejuta kehidupan. Tagline iklan kelompokku kan "Satu Pohon Sejuta Kehidupan". Iya juga ya. Bener apa kata Om Surya. Fiuuuh... untunglah nggak pedesss komennya. Standar. Masukan yang bermanfaat.

Yakin Bisa, Pasti Bisa

Benar banget tuh. Kita bisa kalo kita yakin emang bisa. Aku bisa menjadi penyiar radio yang baik jika aku yakin bisa. Memang untuk menuju ke arah itu, dibutuhkan proses yang nggak instan. Harus terus berusaha, berlatih, berusaha, berlatih, berkali-kali. Yang penting itu, komitmen untuk istiqomah. Rutin. Latihan pernafasan diafragma, latihan power, artikulasi, senam wajah, humming, motor boat, semuanya harus rutin dilakukan tiap hari, bukan tiap kali ada kemauan. Malas? Harus dipaksakan! Sesuatu akan menjadi terbiasa jika kita membiasakannya. Begitu juga dengan latihan teknik vokal ini. Aku harus buang jauh-jauh rasa malas. Ingat, tujuan kita apa. Tujuanku latihan teknik vokal ini tentu untuk jadi penyiar radio yang baik, penyiar radio dengan suara bulat, yang pastinya pas siaran nggak terjadi human error. Aku juga harus ingat salah satu keinginanku, part time job sebagai penyiar radio, seperti Lukman Haswara. Aku harus ingat itu baik-baik.
"Jangan mencari kambing hitam, tapi cari apa masalahnya," kata Vedy Santoso, senior di Rasida yang kadang komennya begitu cetarrr di hati. Yup, bener banget apa kata Mas Vedy. Selama ini kalo nggak bisa ngelakuian sesuatu atau ada hal yang nggak sesuai dengan rencana, aku nyari kambing hitam. Aduh... ini pasti gara-gara aku... Karena ini nih...
Mulai sekarang harus ngubah mindset. Bukan mencari kambing hitam, mencari apa yang disalahkan, tapi nyari apa masalahnya. Suaraku sekarang masih nggak beda sama suara VO pas oprec. Apa masalahnya? Aku jarang latihan. Latihanku berkala, kala-kala iya, kala-kala nggak. Nah, ketemu kan apa masalahnya? Aku harus terus berlatih, berlatih, berlatih, dan berlatih. Pokoknya tiada hari tanpa latihan. Dan latihan ini bukan cuma sekarang aja pas suara masih belum kebentuk, tapi latihan lagi seterusnya. Bahkan penyiar radio yang suaranya udah bulat, udah bagus, tetep harus latihan. Ibarat pisau, setajam apapun pasti akan menjadi tumpul jika nggak diasah.
Ya, latihan terus dan ingat mimpi dan keinginanmu Gus. Yakin bisa, pasti bisa!

(Masih) Tentang Tugas Periklanan

Sekali lagi menyatukan banyak kepala memang susah. Ide masing-masing individu berbeda. Nyatuinnya itu yang susah. Gimana caranya bikin sebuah ide bisa diterima oleh semuanya. Hari ini take tugas Periklanan. Temanya menjaga bumi dengan menanam pohon. Digambarin, seseorang lagi nanam pohon. Setelah itu muncul tagline "Satu Pohon Untuk Sejuta Kehidupan". Simpel banget kan? Randy, Adi, Mutia sih it's oke dengan konsep itu, tapi Nur yang nggak oke. Dia pengennya ada penggambaran pohon yang semakin banyak, banyak, dan banyak. Trus ada tetesan air juga yang bikin pohon itu semakin gede, semakin tumbuh, dan tumbuh. Tadinya mau ke Imogiri. Disana katanya pemandangannya bagus. Ada pohon pinus dan pohon-pohon lainnya.
Jujur, aku males kesana. Jauh kayaknya. Ide ini aja udah sederhana. Tinggal edit aja nanti. Setelah nanam pohon, trus muncul tagline, itu udah bagus. Menurut Nur itu kurang mengena. Ah, entahlah. Penilaian orang kan subyektif. Entah apa komen dari juri pas presentasi tugas Periklanan hari Kamis besok. Apa bagus, hancur, atau...?
Harapanku sih iklannya dapat respon positif. Sederhana kok itu. Nggak ribet, simpel. Yang penting nanti malem di-edit. Abis itu tinggal dilihat deh. Bagus atau nggak.
Tadi take cuma beberapa menit. Nur bela-belain izin nggak kerja demi tugas ini. Apa itu pengorbanan? Kayaknya sih dia yang pengen main ke Imogiri. Dia doang kok yang semangat. Yang lain cuma ngikut aja. Aku sih males pake banget kesananya.
Gimana pun hasil akhirnya, yang penting udah usaha. Tinggal bersabar aja. Yang penting itu, usahanya udah ada.

Warna-warni Menjelang Nonton

Nekat. Bukan nekat sih, tapi penasaran. Eh bukan penasaran, tapi pengen. Ya, pengen aja. Keinginan sejak 12 12 12 lalu. Mau tahu apa? Nonton 5 cm. Dari kemarin-kemarin tuh pengeeen nonton film adaptasi novel karya Dhonny Dirgantara itu. Iya, kemarin-kemarin. Udah berapa minggu ya? Hitung sendiri ya kalo mau tau udah berapa minggu. Intinya sejak rilis pertama 5 cm tanggal 12 12 12 itu.
Pas launching, aku nonton di 21 Amplaz. Mau tau sama siapa aku nonton? Sendirian men. Iya, sendiri. Silakan deh kalo mau ketawa, tapi bagiku nonton sendirian itu nggak aneh kok. Sesuatu yang wajar kali. Waktu itu sih aku pengen ngajak Dinda, Ayun (catatan: bayar sendiri-sendiri ya), tapi aku mikir lagi. Apa mereka bisa? Udah dua kali ajakan nontonku mereka tolak dengan berbagai alasan (nggak apa). Dan saat itu, tiketnya langsung ludes. Aku tunda deh. Mau nyari waktu (dan budjet tentunya) yang pas.
Rempong amat yak ngerjain tugas Periklanan. Beneran rempong banget. Kemarin-kemarin pas harinya masih panjang, nggak ada satu pun dari kelompokku, termasuk aku sendiri, yang ngoprak-oprak buat bikin. Sekarang, dengan waktu yang tersisa 3 hari, mau ngerjain aja rempooong banget.

Aku Pusing!

Nyatuin banyak kepala emang susah. Harus bener-bener mikirin perasaan. Keputusan yang diambil beneran harus sesuai sama hati masing-masing. Jam 10 pagi ini kumpul di Panggung Demokrasi buat ngebahas tugas Periklanan. Gila! Nggak ada yang ontime. Aku juga termasuk nggak ontime. Aku dateng ke Panggung Demokrasi sekitar jam 10.10-an gitu. Yang lain; Nur dan Mutia, belum dateng. Adi nggak bisa dateng, ada kondangan katanya sampe siang menjelang sore. Randy juga nggak bisa, ke Solo katanya. Majid juga ikut-ikutan nggak bisa. Pulkam dia katanya. Gila! Tugas udah di depan mata dan dia pulang? Aku aja sampe batalin rencana mudik karena tugas Periklanan ini. Kalo Senin besok dia nggak ikut take, blacklist. Nggak cuma Majid aja sih, tapi siapapun di kelompokku yang nggak ikut take, bakal di-blacklist. Yang penting itu kan proses pengambilan gambarnya. Ya harus ikut semualah.
Mutia tadi nggak dateng. Entah apa alasan dia nggak dateng. Kalo aku dan Nur mau nungguin sih, bisa aja Mutia dateng, tapi mau nunggu sampe jam berapa? Dia telat sejam! Gila! Gila banget! Ya udah, akhirnya aku dan Nur memutuskan pulang. Ngapain nungguin orang yang nggak ngehargai waktu? Buang-buang waktu yang lagi nunggu aja.
Pertemuan tugas Periklanan hari ini cuma aku dan Nur yang bisa. Senin besok jam 8 take. Harus hari itu juga proses pengambilan gambarnya selesai. Abis itu diedit. Proses editing pastinya nggak bisa main-main. Walaupun ini iklan dan durasinya nggak lebih dari semenit, editingnya nggak bisa asal-asalan.
Sekarang mau pinjem kamera DSLR ke Mba Zulva. Moga aja boleh. Fiuhhh... pengen banget tugas Periklanan ini cepet selesai. Kamis besok presentasi plus hari itu juga Pengukuhan JCM 2012 entah dimana tempatnya aku belum tahu. Aku ke lokasi pengukuhan mau naik motor aja ah. Biar lebih fleksibel. Pulangnya juga bisa suka-suka. Nggak tergantung sama kendaraan lain semisal bus kalo ikut naik bus bareng JCM 2012. Kayaknya emang naik bus deh bagi JCM 2012. Kemungkinannya kecil kalo naik motor sendiri-sendiri. Tahun lalu aja naik bus bagi anggota baru JCM.
Sabtu harus udah pulang. Titik! Jam 3 sore ada kumpul besar Rasida soalnya. Harus dateng ini. Nggak boleh nggak!

Sunday Night Story

Malam Minggu ini nonton film gratis di Bioskop Kalijaga. Keren-keren filmnya. Jujur, menurutku JCM masih kalah jauh dibanding mereka. Iri, iri banget sama mereka yang bikin film indie sebagus itu. Ada Rainbow Cake dari AKRB, Just an Indigo (Ciko UMY), Daun Pisang 3 (dari kine mana ya? Lupa euy), film dokumenter tentang sosok Ibu dari UKDW a.k.a Universitas Kristen Duta Wacana, terus apalagi ya? Oh ya film Lepas dari Ciko UMY. Ceritanya tuh ibarat cerpen, teenlit banget. Tapi endingnya dapet banget deh. Cinta yang terpendam selama 6 tahun, akhirnya nggak menyatu dan si cewek lebih memilih untuk menikah dengan cowok lain. Emang bener sih apa yang dikatain cewek itu. Walau nggak bisa memiliki, tapi jika perasaan yang membebani hati udah tersampaikan, rasanya plong banget.

Akan Indah Nantinya

Nggak jadi pulang hari Minggu besok. Harus ngerjain tugas Periklanan. Bukan ngerjain sih tapi kumpul buat ngebahas. Kenapa sih pake ribet segala? Nggak usah ribet-ribet. Simpel aja. Kata Mba Nur, butuh jam dinding, penggaris, katanya biar dramatis. Natural ajalah. Nggak usah neko-neko. Kita kan udah pernah yang namanya ngerasain ujian, ya kayak gitu aja yang dilakuin. Tapi kok ya mikirnya rempong amat?
Begitulah kerja kelompok. Banyak banget pertimbangan. Harus begini, harus begitu, aksinya belakangan. Iya kalo aksinya tanggap, nggak kelamaan. Tapi kalo kebanyakan ngebahas, aksinya nggak jadi-jadi ya percuma. Sekarang seharusnya take. Pendek ajalah. Simpel nggak perlu neko-neko. Abis itu di-edit. Selesai. Tinggal presentasi Kamis besok. Akhirnya ditunda, take jadinya Senin. Minggu kumpul buat ngebahas. Haduuuh... rencanaku buat pulang gagal total.

Gado-gado Cerita Pertama

"Mulai sekarang, kamu harus terbiasa nulis dengan nyiapin judul lebih dulu biar kamu nggak lemot bikin judul," kata Vita saat kelas Pengantar Jurnalistik.
Haduuuh... kata "lemot"-nya itu yang bikin aku gimanaaa gitu. Nulis tapi bikin judul dulu? Aku terbiasa nulis ya langsung nulis aja. Judul belakangan. Trus aku jadi kepikiran, skripsi itu kan harus judul dulu baru isi. Apa kata-kata Vita harus aku iyain? Haduuuh... kayaknya nulis karya ilmiah dengan nulis cerpen, bedalah. Ya emang beda, Gus. Nulis cerpen, judul boleh belakangan. Bikin skripsi, judul harus duluan di ACC sama pembimbing dan kawan-kawannya.
"Cepat atau lambat kamu bakal ngalamin juga kok, Gus," kata Mas Vedy saat aku main ke Rasida.
Ya, cepat atau lambat aku pasti bakal ngalamin yang namanya bikin skripsi. Sekarang aku Semester 3. Bentar lagi Semester 4. Trus 5, 6. Semester 7 bikin skripsi. Moga aku diberi kemudahan ketika bikin skripsi besok. Amiiin. :)

Lilin ke-17


Antologi Seribu Tanda Cinta, Oktober 2012
LILIN KE-17
          Bagiku angka 17 sangatlah penting. 17 menandakan sebuah kedewasaan. Tiga bulan lagi usiaku tepat 17 tahun. Aku ingin merayakannya. Selama ini aku tidak pernah merayakan ulangtahun. Bukannya aku tidak mau, tapi karena tidak ada biaya untuk membuat sebuah perayaan di rumah. Bahkan Ayah dan Ibu tidak pernah mengucapkan selamat kepadaku saat aku ulangtahun. Aku berusaha memakluminya. Ayah dari pagi hingga sore berkutat di jalan dengan angkot milik Pak Damar. Ibu berjualan sayuran di pasar. Sementara mereka sibuk sepanjang hari, aku mengurus adikku, Farhan, yang duduk di kelas 5.
          Kali ini aku ingin agar ulangtahunku bisa dirayakan walau hanya sekali seumur hidup. Aku menimang-nimang celengan tanah liat berbentuk jago. Sepertinya belum cukup untuk mengadakan pesta ulangtahun. Setidaknya aku harus mengundang 29 teman sekelasku. Selain itu, tetangga-tetangga dan teman sepermainan juga harus aku undang. Aku perlu uang banyak untuk hal ini.

Sosok Itu

Dimuat Story edisi 37, 25 September - 24 Oktober 2012

SOSOK ITU

            Andrew setengah percaya setengah nggak sama yang namanya cerita hantu. Karena Andrew sendiri belum pernah –dan nggak akan pernah- tatap muka sama yang namanya hantu. Andrew tahu bahwa manusia adalah makhluk paling sempurna ciptaan Tuhan daripada makhluk lainnya. Nggak sepantasnya Andrew takut sama yang namanya hantu. Andrew cuma takut dengan Yang Satu, Tuhan Yang Maha Esa. Sebagai manusia yang masih mempunyai rasa takut, Andrew kadang takut dengan sosok yang rata-rata tampangnya menyeramkan itu. Jarang banget deh hantu yang tampangnya kayak model L-Men atau Putri Indonesia. Dan kali ini Andrew benar-benar ketakutan sendiri. Pasalnya Rini bercerita bahwa kemarin ia melihat Andrew di sekolah. Padahal hari itu Andrew nggak masuk sekolah karena demam.