HATI-HATI BERKATA-KATA


Awas loh, bisa-bisa jatuh karena enggak hati-hati. Kayak gini tuh memang perlu banget diterapin dalam berbagai hal. Menjaga bukannya lebih baik? Berhati-hati artinya menjaga. Satu yang perlu diingat adalah hati-hati dengan setiap kata yang sudah keluar dari mulut. Sekali keluar, enggak bisa ditangkap lagi. Perlu ada filter diri-sendiri sebelum berkata-kata.

Apapun dan di mana pun. Enggak sedikit yang begitu bebasnya berkata di sosial media dengan alasan kebebasan berpendapat. Baiklah memang boleh bebas berpendapat, bebas berkata, tapi kata-katanya harus bisa dipertanggungjawabkan. Siap?

Seorang teman pernah bilang, apapun kata-kata yang keluar dari mulut kita, harus siap resikonya. Mau komentar apapun silakan, asal siap dengan konsekuensinya. Kata-kata yang baik pasti akan ngasih efek yang sama baik. Begitu juga sebaliknya.

Buat yang suka asal berkata (nyinyir dsb, dkk), salah satunya lewat sosial media, sebaiknya memang belajar mengendalikan setiap kata-kata. Jangan sampai justru jadi boomerang buat diri-sendiri. Ada kok yang mengalami shock therapy karena kata-kata yang enggak dijaga. Paling sering terjadi adalah hukuman sosial. Hukuman pidana, bisa juga loh. Ngeri ‘kan? Makanya hati-hati berkata-kata.[]
Jogja, 25.10.2016

SATU TITIK



Apa jadinya ya kalau manusia enggak punya nafsu? Hmm.. Berarti enggak punya keinginan, mati rasa, hambar. Apa masih bisa dibilang hidup? Membayangkan hidup tanpa keinginan, tanpa rasa, uhh.. susah. Manusia memang diciptakan dengan sesuatu bernama nafsu.

Nafsu. Keinginan? Hasrat? Mendengar kata ‘nafsu’ pasti sebagian besar berpikir tentang seks, padahal nafsu enggak cuma sebatas keinginan seks. Ada nafsu makan, nafsu harta, nafsu.. apalagi ya? Nafsu makan paling familiar.

Kelemahan manusia adalah nafsu. Inilah yang dimanfaatkan iblis untuk menyesatkan manusia. Kalau manusia enggak punya nafsu, enggak punya hasrat apapun. Nafsu memang bisa jadi boomerang buat manusia. Nafsu juga bisa menguasai manusia, tanpa kendali. Pernah mendengar istilah ‘orang nafsu-an’? Merekalah yang benar-benar sudah dikuasai nafsu.

Gimana caranya kita menguasai nafsu, bukan nafsu yang menguasai kita? Jangan lupakan akal sehat. Selalu ingat Tuhan. Jelas ini menjadi solusi mengatasi nafsu yang meledak-ledak. Hanya dengan mengingat Tuhan, menahan nafsu bakal bisa dilakukan dengan mudah (enggak bisa dibilang mudah juga sih, tetap harus usaha maksimal).

Memang susah menahan nafsu. Banyak godaan. Ada yang bertahan, ada juga yang akhirnya menyerah. 

Apa kamu termasuk salah satu yang susah menahan nafsu? Punya tips mengatasi nafsu yang mulai ‘nakal’? Yuk sharing![]

Jogja, 23.10.2016 

SESUATU 'DI SINI'



Hai Mahasiswa!

‘Masih’ menjadi mahasiswa? Ooh.. mahasiswa pascasarjana? Apa? ‘Masih’ mahasiswa strata satu? Enggak terasa sudah masuk tahun ke-6 sebagai mahasiswa yang dimulai 2011. Telat lulus, iya. Nyesek juga sama kenyataan ini, tapi ini fakta Bro. Enggak bisa nolak. Kenapa belum lulus dan belum jadi sarjana? Banyak mengulang kelas ya? Sering bolos? Bukan! Atau aktivis ya? Biasanya aktivis ‘kan paling betah jadi mahasiswa. It’s absolutely not! Terus, apa?

Belum lulus karena belum mau lulus. Bukan takut menjalani kehidupan setelah melepas status mahasiswa (yakin deh pasti enggak sedikit yang merasa ‘takut’ begini ‘kan?), tapi karena kurang motivasi diri. Ah, bilang saja M-A-L-A-S. Kasarnya begitu sih.

Kalau enggak malas, ngapain menunda-nunda? Mau sampai kapan? Skripsi itu gampang loh. Enggak seberat tesis apalagi disertasi. Gampang tapi jangan cuma dipikir. Aksi! Action! Lakukan! Jadi, ceritera-nya lagi galau skripsi? Kok klasik?

Galau skripsi, bisa jadi, tapi bukan. Ini pilihan. Saat teman satu angkatan berlomba menyelesaikan tugas akhir, bukannya termotivasi, justru santai. Lainnya lari, ini jalan. Bukan, tapi duduk. Leyeh-leyeh kayak di pantai.

Jadi kapan dong mau lari mengejar skripsi? Masa mau menunda terus? Yakin masih kebal menghadapi pertanyaan ‘kapan lulus’? (pilih pertanyaan ‘kapan lulus’/ ‘kapan kawin’?) Jawabannya: entahlah. Ooh.. ayolah! Bergerak! Apa yang kamu takutkan? Sekali lagi jawabannya: entahlah. Nikmati saja fase sekarang. Fase yang justru dirindukan mereka yang dulu pernah mengalaminya. Bukan membela diri-sendiri atau alibi apalah-apalah, tapi hidup memang perlu dinikmati ‘kan? Enggak perlu spaneng. Hei, itu artinya kamu terlalu santai. Sangat santai. Apa perlu ‘dicambuk’ dulu biar tahu rasanya sakit? Ah, lebay.

Sudah terbayang jalan skripsi nanti bakal ‘krispi’ banget (ini saja lagi dikejar deadline orderan cerpen masih sempat-sempatnya nge-blog). Renyah, nyam-nyam deh pokoknya. Mindset. Enggak mau terpengaruh sama istilah yang bikin semakin enggak mau menikmati ‘krispi’-nya skripsi. Orang lain bilang skripsi itu bakal sering dibikin ‘patah hati’ sama dosen pembimbing atawa dosbim. Harus rela nunggu berjam-jam dosbim yang sibuknya, entah kenapa, luar biasa setelah beliau jadi dosbim (sejatinya beliau memang sibuk sih). Oke, itulah skripsi. Ayo jalan!

Banyak loh yang nanyain ‘kapan lulus’, ‘pakai teori apa’, ‘sampai bab berapa’, dll, dst. Masih punya stok jawaban yang bisa menyamarkan pertanyaan itu semua? Urat malunya masih ada? Apa sudah putus dari kapan tahu?

Sejujurnya, malu juga belum lulus di tahun ke-6. Kalau ditanya malu apa enggak, malulah, tapi bukan berarti menyesali. Ini pilihan kok. Setiap orang berhak memilih pilihannya, sekalipun orang lain melihat pilihannya sangat-sangat konyol. Hei, memangnya situ yang jalanin?

Yuk, mulai bercinta dengan skripsi. Serius! Beneran. Bukan cuma pemanis tulisan di blog loh. Ayo, mulai ya. Iya, sekarang. 1.. 2..[]
Jogja, 22.10.2016

INISIATIF



#Day_16

Memulai duluan itu jarang ada yang mau. Kebanyakan nunggu yang lain dulu baru memulai. Yah.. hanya sekedar ikut-ikutan, enggak berinisiatif duluan. Hmm.. enggak bisa digeneralisir juga, karena masih ada kok orang yang selalu punya inisiatif.

Ada juga tipikal yang seharusnya inisiatif tapi lagi-lagi enggak mau memulai dulu, tapi pakai ‘pancingan’ biar ada orang lain yang memulai, barulah tipe ini akan menunjukkan ke-inisiatif-annya. Biar orang-orang enggak melihatnya sebagai yang pertama, karena kadang jadi yang pertama itu justru dihindari.

Pertama bertanya, pertama datang saat janjian, pertama masuk kelas dan memilih bangku di depan dll, dll. Pertama bertanya saat ada diskusi kelas, jarang banget ada yang serentak jadi yang pertama dan membingungkan si penerima pertanyaan karena harus memilih satu diantara yang banyak. Pertanyaan pertama keluar biasanya setelah orang-orang mulai berbisik-bisik, bilang ‘kamu dulu-kamu dulu’ yang akhirnya bikin greget.

Pertama datang saat janjian? Pertama datang telat, iya, disusul telat yang lain. Jarang ada yang sudah ngumpul semua di jam yang dijanjikan. Pasti harus nunggu dia dan mereka. Sesuatu yang serba pertama ini bukan cuma sebatas bertanya di kelas, datang janjian, dan bla to the bla. Memulai berbuat baik, pertama menyapa, pertama memberi salam, pertama menghalalkanmu…

Jangan ragu buat jadi yang pertama. Ada kesempatan pertama, langsung ambil! Ada ide apa, langsung ekseksusi. Jangan nunggu nanti karena kita enggak tahu, ‘nanti’ itu ada atau enggak.[]

22.6.2016
#29HariMenulisCinta

PRIORITAS



#Day_15 

Mana yang akan didahulukan? Sesuatu yang lebih penting, jelas. Kadang ada juga lebih menomorsatukan yang sebenarnya enggak penting. Penting dan enggak penting versi siapa? Diri-sendiri atau orang lain? Pakai logika dan hati biar lebih ‘ngeh’ penting dan enggak penting versi siapa. Versi gue? Versi teman-teman gue?
 
Pilihan selalu ada, enggak cuma di lembar soal ujian. Pilihan itu kadang… rasanya sulit. Harus pilih yang mana? Lebih sulit lagi kalau pilihan-pilihan itu enggak ada yang dihilangkan, tapi harus dilakukan berdasarkan tingkat kepentinngannya, mana yang pertama, kedua, ketiga…

Antara prioritas dan keinginan memang berdampingan. Jelas-jelas paham mana yang pertama, tapi karena enggak sesuai keinginan akhirnya memilih yang seharusnya bisa dilakukan nanti. Beberapa hal memang bisa membuat kita terlena dan mengaburkan antara prioritas dan keinginan. Enggak ada salahnya menahan dulu keinginan dan menunaikan prioritas, daripada memilih pilihan yang enggak tepat dan jadi berantakan. Secara teori memang begitu, tapi prakteknya Gaes yang.. ya begitulah. Berjuang dong.

Batas dua hal ini sangat jelas, tapi banyak yang sengaja mengaburkan. Akhirnya bingung sendiri mau pilih mana yang akan didahulukan. Kebingungan yang dibuat sendiri. Diantara sekian yang berlabel ‘penting’ bahkan bisa diurutkan mana yang pertama, kedua, ketiga. Susah, tapi memang harus seperti itu. Kalau lembar soal harus dijawab yang paling mudah dulu, prioritas dipilih dari seberapa penting untuk dilakukan. Tarik nafas dulu biar enggak panik.

Memang harus benar-benar bijak, bukan hanya karena sekedar keinginan semu diri-sendiri.[]

21.6.2016
#29HariMenulisCinta