STATUS


Wisuda. Coba ya wisuda sarjana bisa kayak wisuda SMA yang serempak. Lihat teman seangkatan kuliah (akhirnya) wisuda, uuh.. pengen. Aku kapan? Pertanyaan klise mahasiswa semester akhir. Senang ya jadi sarjana. Apalagi yang bisa lulus tepat waktu di waktu yang tepat. Pendapat orang emang beda-beda. Lulus cepat (tepat waktu) jelas bagus & jadi teladan (musti dicontoh itu). Lulus "nggak cepat" (alibinya lulus di waktu yang tepat :D) juga bukan berarti buruk. Yah.. ada positif & negatif dari keduanya.

Lulus, jadi sarjana, tapi akhirnya justru bingung mau ngapain, ini nih yang jadi masalah. Tapi sebagian yang lain, belum lulus udah kerja (biasanya mereka ini bukan tipikal mahasiswa kupu-kupu). (Mungkin) mahasiswa adalah zona nyaman. Belum dibebani beban yang terlalu membebani. Lulus itu harus! Jangan kelamaan. Apalagi kalau alasan nggak lulus itu karena diri-sendiri yang nggak giat a.k.a malas. Beuuuh... alasan macam apa itu? Kalau emang udah masanya, ya segera dikerjakan.

Ada yang bilang, lulus itu (jadi sarjana) membuka peluang lebih besar untuk berbagai kesempatan. Lulus, jadi sarjana, melepas status jadi mahasiswa & nggak terikat. Jadi feel so free mau ngelakuin apa pun.

Jadi mahasiswa itu tujuan akhirnya "kerja"? Sebagian orang (banyak malah) yang berpandangan begitu. Ada juga yang bilang, kuliah itu jangan diniatin buat cari kerja tapi sebagai kesempatan buat menyerap ilmu sebanyak-banyaknya. Kalau cuma mikirin cari kerja nantinya, yang ada (bisa) asal lulus. Nggak peduli ilmunya. Yang penting dapat gelar sarjana. Ada tambahan di belakang nama. Serasa jadi orang hebat dengan penambahan gelar itu.

Bagi sarjana muda, jangan bingung-bingung mau ngapain setelahnya. Masa depan masih misteri. Tuhan telah menyiapkan serangkain rencana baik untuk umat-Nya. Tapi, bersama dengan rencana baik itu, tentu ada "sesuatu" yang bisa saja membuat tersandung, lalu jatuh & terluka.

Selamat buat sarjana muda. Semoga bukan sekedar gelar di belakang sebuah nama.

Jogja, 28 Maret 2015

CITA DAN CITA

"Apa cita-citamu?"
"Aku pengen jadi pilot!"

Aku masih ingat banget saat jelang TK dulu, aku jawab dengan semangat ingin jadi pilot saat ditanya cita-cita. Aku sekarang lupa kenapa dulu pengen jadi pilot. Bukan dokter, guru, insinyur atau apapun itu. Lama-lama cita-cita jadi pilot itu samar-samar lalu hilang. Aku punya cita-cita lagi. Hmm.. kapan ya tepatnya? Saat SD - SMP, kayaknya aku lupa dengan cita-cita. Saat SMA, aku punya cita-cita jadi wartawan. Berawal dari aku suka nulis, muncul keinginan jadi wartawan.

Aku memilih Komunikasi dan Penyiaran Islam (KPI) pun karena ada Konsentrasi Jurnalistik. Tanpa ragu, aku memilih KPI ini sebagai studiku selepas SMA. Sekarang saat ditanya cita-cita, aku mikir lama. Apa ya cita-citaku? Apa cita-cita hanya pantas untuk anak kecil?

Dipikir, kayaknya iya. Jarang ada orang dewasa (seenggaknya bukan lagi anak kecil) yang menjawab dengan riang cita-citanya. Ah ya, bukan lagi istilahnya "cita-cita" tapi "keinginan". Bahasa ketika kecil dulu dengan bahasa dewasa sekarang, berbeda. Istilah "cita-cita" kok kayak identik dengan anak-anak ya? (Apa cuma perasaanku?)

Kalau aku ditanya keinginan (a.k.a cita-cita :D), aku akan jawab dengan lantang aku pengen jadi penyiar radio, penulis, dan pemilik rumah makan dengan desain interior unik, sesuai mimpiku. Tapi saat ditanya "cita-cita", aku bingung jawabnya. Mungkin karena "cita-cita" harus selalu seputar pilot, dokter, guru, insinyur dan teman-temannya.

Bisa jadi...

Jogja, 27 Maret 2015

WAWANCARA

Deg-degan rasanya saat interview calon Penyiar Radio Q FM. Takut salah sikap, salah ini.. salah itu.. Tapi, aku nyaman kok. Not bad. Jawab seperlunya. Bilang nggak tau kalo emang nggak tau. Sebelum interview, nunggu dulu selama sekian menit. Selama menunggu itu, ada dua yang aku kenal (tau namanya). Asep dari Hubungan Internasional UMY dan Faizul dari Teknik Lingkungan Hidup UII. Lainnya, belum kenalan. Kebanyakan sibuk dengan gadget. Pengen ngajak kenalan cewek yang duduk di sebelahku, tapi bingung mau memulainya. Ya udah, akhirnya diam. Semuanya juga gitu.

Aku sempat ngobrol sama Faizal (duh.. Faizal apa Faizul ya?). Obrolannya nggak jauh-jauh dari kampus. Dia juga nanya ke aku sering siaran/ nggak. Aku bilang, aku ikut rakom kampus. Bukan sering, tapi pernah. Yah.. obrolan basa-basi gitu. Ngobrolnya nggak lama. Setelah itu kembali melakukan aksi diam. Bingung juga mau ngobrolin apa. Baru aja kenal juga.

Saat giliranku interview, aku merasa yakin dan percaya diri. Masuk ke ruangan, ngucap salam, dan aku langsung duduk. "Jangan duduk dulu," kata Mas interviewer (istilah penanya dalam wawancara apa ya?). Jleb! Oh my God! Refleks, aku bilang sorry, tapi si Mas langsung mencairkan suasana dengan bilang nggak apa-apa sambil ketawa. Fiuhh.. apa ini termasuk "kesalahan"? Bagian dari manner? Haduuuh.. Semoga nggak jadi masalah. Dipikir, emang jangan duduk dulu sebelum dipersilakan duduk. Pelajaran berharga buatku.

Saat interview itu, si Mas lihat gerak tanganku saat aku bicara. Apa ada yang salah? Aku pun nggak gerak-gerakin tangan lagi. Cari aman ajalah (entah cari aman dari apa). Aku ditanya seputar Radio Q, aku "masuk"/ nggak dengan segmentasi Radio Q, selera musik, ya.. seputar itu. Waktu ditanya musik paling tua yang aku tau, aku jawab Koes Plus yang ternyata... ketuaan. Ha ha ha... Sebenarnya aku nggak begitu tau lagu-lagu lama. Saat ditanya lagu lama yang lebih muda dari Koes Plus, aku jawab Nia Daniaty. Hanya itu yang terlintas dari pikiranku (dengan Gelas Gelas Kaca-nya). Musik barat lama, aku jawab Air Supply. Lagunya pernah aku dengerin saat siaran di Radio Widoro dan bagus. Slow-slow menenangkan gimana... gitu. Selain Air Supply, aku mikir.. Siapa ya? Nggak terlintas satu nama pun dibenakku.

Si Mas bilang logatku kayak logat Sunda. Iya 'kah? Padahal aku asli Kebumen sing terkenal Ngapake. Aku emang lahir di Tanah Sunda, Bandung. Sempat tinggal di Bandung juga tapi cuma sampai umur 5 tahun. Setelah itu, menetap dan tumbuh besar di Kebumen (FYI, orangtuaku asli Kebumen). Aku emang nggak pernah ngomong Bahasa Jawa di Jogja. Udah jadi kebiasaan sejak awal kuliah di Jogja 2011 lalu. Walau ngomong sama orang yang ngerti Bahasa Jawa, aku lebih nyaman berbahasa Indonesia. Bukannya sok/ gimana, ini lebih tentang kenyamanan. Lagi pula, Bahasa Jawa Jogja dan Bahasa Jawa Ngapak daerahku beda. Jadi aku cari aman aja (kali ini benar-benar cari aman :D).

Kelar interview, tahap selanjutnya take vocal. Aku disuruh bikin naskah, tapi berdasarkan contoh yang diputer Radio Q. Aku pikir "cuma" contoh naskahnya gitu, ternyata saat take vocal, pake backsound (bumper atau apa ya namanya?) Radio Q. Oke, aku bisa melewatinya. Take vocal, opening aja (tanpa content dan closing yang udah aku bikin). Waktu aku take vocal, 'kan pake headset. Nggak terlalu jelas. Jadi aku berusaha ngepas-ngepasin gitu. Kurang perfect, tapi not bad. Aku nggak "nabrak" backsound-nya, tetap selaras (aku rasa), walau di akhir rasanya "gantung". It's ok.. it's ok..

Selain take vocal opening, aku juga diminta baca adlibs. Lancar.. Aku ngerasa nyaman bawainnya, tenang dan nggak grogi.

Sama seperti saat tes tulis beberapa hari lalu, waktu aku pamit, salam dulu ke si Mbak (semacam resepsionis gitu), lalu si Mbak bilang, "Makasih ya. Nanti dikabarin lagi." Aku jawab oke sambil lalu.

Semoga aku diterima Radio Q. Amiiin. Oh ya, ada dua orang calon penyiar yang sebelumnya ikutan oprec penyiar Radio Q. Cewek yang duduk di sebelahku dan cowok di sebelahnya. Pantesan si cewek itu ngajak kenalan cowok di sebelahnya (bukan aku). Ternyata si cewek ngerasa kayak pernah kenal si cowok. Setelah itu, aku nggak ngelihat si cewek kenalan dengan yang lain. Sempat minder juga. Jangan-jangan mereka... Ah, tetap percaya diri. Semoga hasilnya indah. Amiiin.

Jogja, 17 Maret 2015

BUKAN BERLARI

Sejak kapan ya aku pengen jadi penyiar radio? Ini bukan keinginanku dari kecil. Dulu, aku sama sekali nggak ada keinginan buat jadi penyiar radio. Aku masih ingat waktu itu rasanya bete saat dengerin radio, penyiarnya yang masuk. Aku pengennya lagu-lagu, SMS-ku dibacain, lagu request-ku diputerin (mungkin ini kali ya keinginan mereka yang nggak tertarik jadi penyiar radio).

Nunggu SMS dibacain penyiar radio itu rasanya excited banget. Berharap SMS-ku dibacain. Sayangnya, SMS-ku justru seing nggak dibacain. Padahal aku udah SMS seawal mungkin, tapi tetep aja... nggak dibacain.

Lama-lama, muncul keinginan baru: jadi penyiar radio. Nah, ini bermulanya sejak kapan, agak lupa-lupa ingat. Bisa jadi keinginan yang muncul begitu aja atau karena Rasida FM. Aku cenderung ke opsi kedua.

Dulu, awal kuliah, aku sempat ikut oprec Suka TV. Latah ikutan lebih tepatnya. Saat di kelas, Bu Evi bilang, Suka TV lagi oprec, teman-temanku (dan juga aku) berbondong-bondong daftar. Saat akan workshop (bagian dari rangkaian oprec juga), aku nggak ikut. Di hari yang sama, aku harus memilih: workshop Suka TV atau workshop JCM? Aku memilih workshop JCM. Aku sama sekali nggak patah hati dengan keputusanku karena aku belum ditolak tapi mengundurkan diri (beda 'kan rasanya? ;D).

Setelah itu, barulah aku ikut oprec Rasida FM. Excited banget rasanya. Aku benar-benar dari hati memilih Rasida FM. Bukan pelarian. Kelihatan kok orang yang menjadikan sesuatu sebagai pelarian. Nggak totalitas karena hanya separuh jiwa atau bahkan nggak ada separuhnya.

Jogja, 10 Maret 2015

HARI TERAKHIR

Perjuangan yang luar biasa. Tepat di hari terakhir open recruitment Radio Q Jogja, sederet "cobaan" datang. Pertama, file sampel suaraku yang aku rekam pake hape, tipenya 3gp, bukan MP3. Padahal persyaratan sampel suaranya dalam format MP3. Aku minta tolong rental komputer buat ganti tipe 3gp itu ke MP3. Nggak bisa! File-nya nggak kebaca. Padahal aplikasi buat ngubah ke tipe MP3 ada.

Kedua, foto yang mau aku cetak, entah kenapa nggak bisa dimasukin ke Corel Draw buat dicetak. Si Bapak dan si Mas rental komputer bahkan sampai ganti komputer 4 kali demi nyetak fotoku itu. Di komputer ke-4, akhirnya fotoku berhasil dimasukin ke Corel Draw. Itu juga setelah fotoku di-copypaste ke dalam folder lain. Entahlah kenapa daritadi nggak bisa masuk ke Corel Draw.

Ketiga, saat aku sampai Radio Q di Jl. Kaliurang KM 7, sepi. Radio Q nggak kelihatan kayak studio radio. Ada di tengah perumahan, bukan di pinggir jalan besar. Memang ada papan nama Radio Q gede banget di jalan kecil tepat di pingir jalan raya besar, jalan yang mengarah ke Studio Radio Q, yang membuatku seenggaknya nggak salah alamat. Aku agak merasa aneh. Kok gerbangnya ditutup? Terkunci pula. Masuknya lewat mana? Aku pun bingung. Ternyata ada pemberitahuan di selembar kertas yang ngasih tau Radio Q udah pindah ke Jl. Monjalo 161. Oke, aku harus segera ke Radio Q di jalan yang tertera di kertas itu. Hari terakhir pengumpulan berkas, Coy! Walau langit mendung, aku nggak patah arang.

That's right! Hujan turun di tengah perjalananku ke Jl. Monjali 161. Nggak jadi masalah. Aku 'kan bawa jas hujan. Aku nyari Jl. Monjali 161 ibaratnya kayak meraba-raba gitu. Nggak begitu ngerti rute tepatnya. Samar-samar gitu. Akhirnya... ketemu juga Radio Q di Jl. Monjali 161.

Jalannya udah ketemu, tapi... di mana Radio Q? Aku nyari-nyari plangnya, nothing. Tepatnya belum ketemu. Bahkan aku sampai masuk ke jalan kecil gitu di pinggir Jl. Monjali 161. Kali aja Radio Q ada di perumahan. Ketemu juga tulisan Radio Q di sebuah gedung mirip ruko. Ada di pinggir jalan besar. Mana pintu masuknya? Kok sepi? Aku bingung lagi. Di tempat itu ada beberapa orang. Aku nanya ke salah satu dari mereka.

Mereka sama denganku! Mega, Nanda, Asep dan Ardi. Gedung di Jl. Monjali 161 hanya office. Gedung siarannya tetap di Jl. Kaliurang KM 7. Mereka juga udah nyampe di Jl. Kaliurang KM 7, sepi, ke Jl. Monjali 161. Aku pun bareng sama mereka ke Radio Q (di Jl. Kaliurang KM 7). Alhamdulillah... ada teman. Saat sampai di Gedung Studio Radio Q, kelihatan "hidup" karena ada orangnya. Saat aku lihat lantai 2, memang terlihat ada kehidupan.

Fiuuh... akhirnya.. berkas lamaran penyiarku masuk juga, tepat di hari terakhir pengumpulan berkas. Hujan masih deras. Aku nggak langsung pulang. Mega, Nanda, Asep dan Ardi juga nunggu hujan, seenggaknya agak redaan. Aku mencoba lebih mengenal mereka. Keempatnya kuliah di UMY Angkatan 2013. Ada yang dari Hubungan Internasional, ada yang dari.. dari.. Apa ya mereka bilang? Kayaknya satu fakultas (Fisipol) tapi beda prodi. UMY punya radio komunitas. Namanya Ikom Radio. Mereka, kecuali Nanda gabung di rakom itu. Frekuensinya sama kayak Rasida FM, 107.7.

Ngobrol basa-basi, setelah itu mereka "hanya" sibuk dengan sesama mereka sendiri. Waktu ngobrol, aku yang lebih banyak nanya. Feedback-nya jadi kurang gitu. Obrolan jadi tersendat-sendat.

Perjuangan nganterin berkas lamaran penyiar ke Radio Q ini semoga berbuah manis. Amiiin.

Jogja, 7 Maret 2015

HANYA SEBENTAR

Umur manusia memang nggak ada yang tahu batasnya, kecuali Allah SWT. Ada yang menikmati hidup mendekati ratusan tahun (mungkin sampai merasa bosan), ada juga yang hanya diizinkan puluhan tahun atau bahkan bisa kurang dari itu. Kematian adalah rahasia Ilahi. Hanya Allah yang tahu garis kematian manusia.

Jika kita tahu kapan ajal datang, apa yang akan kita lakukan? Kejahatan pasti nggak akan ada karena setiap orang tengah berlomba menyiapkan bekal menuju kematiannya. Manusia memang nggak dianugerahi Allah untuk mengetahui kapan nafas terakhirnya berhembus. Mati segan, hidup pun nggak mau. Hidup, artinya terus tumbuh, semakin bertambah usia dan siapa pun pasti akan mengalami masa tua. Bersyukurlah mereka yang bisa merasakan masa tua. Setiap masa pasti ada enak dan nggak. Namanya juga hidup di dunia. Bukan di Surga.

Aku masih belum percaya salah satu teman kosku di DeHa, kos pertamaku di Jogja, meninggal, yang katanya gara-gara diabetes dan serangan jantung. Aku masih ingat banget kebersamaanku dengannya, walau hanya sekilas. Ya, aku hanya mengenal namanya. Tahu sosoknya. Hanya sebatas itu. Aku nggak tahu dia punya riwayat diabetes. Sepanjang aku mengenalnya, satu kos dengannya, nggak ada tanda-tanda atau dia cerita atau apapun itu, dia terkena diabetes. Atau.. dia terkena diabetes akhir-akhir ini?

Dia pribadi yang tegas, tapi juga bisa konyol. Dia juga orang yang kritis. Dia aktif di organisasi mahasiswa. Dia punya pemikirannya sendiri. Hanya itu yang aku tahu.

Dan sekarang... dia telah pulang dan nggak akan kembali. Usianya masih di angka 20-an. Dia baru meraih gelar sarjana di tahun 2013.

Selamat jalan Kawan... Kami akan menyusulmu. Nanti. Suatu saat. Entah kapan. Masih menjadi rahasia Sang Kuasa.

Jogja...

LITTLE THING

Bahagia itu memang sederhana. Nggak ribet kok kalo mau bahagia. Bahkan dari hal paling kecil sekali pun, kita bisa bahagia. Nggak percaya? ;) Kalimat "bahagia itu sederhana" terdengar klise ya. Banyak orang bijak (dan juga orang "sok" bijak :D) yang mengatakan itu. Walau klise, bukan kalimat yang "waw", tapi memang iya kok, bahagia itu sederhana. Contohnya, beuuh.. banyak banget dalam kehidupan kita sehari-hari.

Saat bahagiaku salah satunya adalah ketika aku berhasil menahan godaan. Eits, jangan mikir yang aneh-aneh dulu. "Godaan" itu maksudnya keinginanku membeli sesuatu (finansial banget). Ya.. begitulah. Aku cukup sering "lapar mata" saat membeli... makanan. Iya, makanan, bukan baju, sepatu, atau shopping. Aku bukan tipikal yang mewajibkan "shopping" (yang artinya biasa aja). Pasti kamu bilang, "Makan? Cocok banget sama badannya." :3 Oke, baiklah, aku memang "sedikit" lebar, tapi apa orang yang badannya "sedikit" lebar kayak aku, nggak boleh makan? :D

Bisa dibilang lapar mata juga. Pernah aku udah makan, saat ada teman yang ngajak makan bareng, aku iyain. Padahal udah makan lho. Bagiku bukan udah makan/ belum, tapi kebersamaan dengan teman itu yang penting. Cukup sering juga aku pengen ngemil. Belilah snack di minimarket. Habisnya? Mending buat makan sehari-hari deh.

Nah, itu salah satu hal kecil yang bisa bikin aku bahagia, berhasil melawan godaan. :) Bahagiaaa banget rasanya. Awal dari bahagia, bersyukur. Kalo kita banyak bersyukur, sesedikit apapun yang kita punya, tetap bisa membuat kita bahagia. Bahagia itu memang sederhana 'kan? Nggak usah "mempersulit" kalo ingin bahagia ya. :)

Jogja, 5 Maret 2015

SEMACAM YANG PERTAMA

Salah satu mimpiku adalah menjadi penyiar radio. Setelah mengikuti seleksi penyiar radio di sana-sini (sayangnya belum berjodoh), akhirnya.. alhamdulillah aku berjodoh dengan Radio Widoro, sebuah radio komunitas di UPT Malioboro, Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta. Setelah aku dinyatakan lolos seleksi, malamnya (atau besok malamnya, agak-agak lupa) aku diminta datang ke Radio Widoro. Siaran tandem bareng Mbak Yuni.

Rasanya deg-degaaan banget. Tetap aja ini kali pertama aku open mic sebagai penyiar radio (kerja). Waktu itu siarannya jam 19.30-22.30. Mbak Yuni banyak bercerita kepadaku. Cerita tentang kehidupannya, Radio Widoro dari tahun ke tahun, dan obrolan kami (yang didominasi oleh Mbak Yuni) sanggup bertahan dari opening siaran sampai closing di jam 22.30.

Aku pikir kedatanganku malam itu "benar-benar" tandem. Ternyata bukan. Menurutku bukan tandem. Waktu opening pertama, Mbak Yuni sama sekali nggak menyebut namaku atau merasakan "kehadiranku" di siaran malam itu. Aku pikir siaran tandem-nya bakal sama kayak di Rasida. Untungnya Mbak Yuni baiiik banget. Ramah dan cerewet. Iya, cerewet karena stok ceritanya kayak nggak habis-habis. Adaaa aja hal yang bisa dijadikan bahan obrolan sama Mbak Yuni.

Aku sempat open mic sendirian waktu itu. Mbak Yuni ngasih aku kesempatan. Baiknya lagi, saat aku akan open mic, Mbak Yuni sengaja pergi. Beli makanan di angkringan. He he he... Mbak Yuni ngertiin perasaanku banget. Masih baru, open mic yang pertama, kalo ada orang dari pihak radio di dekatku, rasanya kayak diawasi dan kemungkinan besar aku nggak bakal maksimal.

Open mic-ku yang pertama, trouble! Tombol mic di mixer kurang aku naikin, jadi suaraku nggak terdengar jelas. Kecil samar-samar gitu. Mbak Yuni yang ngasih tahu aku setelah beli makanan di angkringan. Rasanya... maluuu banget. Ya Tuhan... human error di open mic yang pertama. Tepok jidat banget. Aku udah bilang 'kan Mbak Yuni itu baik? Nah.. saat aku "salah" itu, Mbak Yuni nggak ngomel-ngomel, tapi bilang "nggak apa-apa" sambil tersenyum.

Fiuuuh.. untungnya Mbak Yuni nggak "seseram" yang aku kira setelah aku ngelakuin kesalahan itu. He he he... :D Banyak cerita malam itu. Mbak Yuni yang lebih banyak cerita. Dan aku jadi pendengar yang baik. Mbak Yuni juga bilang, kalo ada teguran dari Rekan Komunitas Malioboro (sebutan pendengar Radio Widoro) tentang siaran penyiar Radio Widoro, jangan diambil pusing. Tetap siaran aja. Walau terkesan santai, tapi nggak bisa sembarangan dengan siaran asal-asalan. Maju/ nggak, tergantung dari usaha penyiarnya. Kalo mau maju pasti akan ada progres dari hari ke hari, nggak stagnan.

Jogja, 5 Maret 2015

MIMPIKU...

Sebulan berlalu sejak aku resmi menjadi penyiar radio (yang sesungguhnya). Alhamdulillah... Berawal dari tawaran seorang kakak tingkat di kampus, skenario indah dari Tuhan pun berjalan untukku. Aku masih ingat banget, waktu itu di minggu ke-4 Januari 2015. Kakak tingkatku itu bilang, ada radio yang lagi nyari penyiar. Kebetulan penyiar radio di radio yang tengah mencari penyiar itu (blush! x_x) teman Kakak tingkatku. Setelah aku memberikan nomor kontakku ke Kakak tingkatku itu, katanya aku nanti bakal ditelepon sama radio dan nggak lama lagi aku akan langsung siaran.

Aku pun menunggu dengan sangat antusias. Sayangnya, saat radio itu nelpon aku, justru nggak aku angkat. Nggak tahu ada telepon masuk. Tahu begitu, aku langsung stand by terus pegang hape. Ke mana pun, aku bawa hapenya. Takutnya nelpon lagi dan nggak aku angkat. Lama nunggu... Lama... Nggak juga ada telepon masuk. Aku pun sempat galau. Jangan-jangan... Aku sempat berpikir yang nggak-nggak. Aku terus menunggu semalaman dan kebetulan hari itu aku akan kembali ke Jogja. Aku masih nunggu telepon berdering pagi harinya sebelum aku dalam perjalanan ke Jogja.

Nggak ada! Baiklah. Aku agak pasrah juga waktu itu. Kalau rezeki, pasti nggak akan ke mana-mana. Nah, saat dalam perjalanan ke Jogja, telepon berdering lagi... dari radio! Telepon kedua ini nggak aku angkat karena saat itu aku masih dalam perjalanan ke Jogja, naik motor, nggak tahu (lagi) ada telepon masuk. Pengen rasanya aku telepon balik. (T_T) Aku pun semakin galau dan berharap radio kembali nelpon untuk yang ke-3 kalinya (setelah 2x zonk).

Telpon ke-4, akhirnya.. aku angkat. Nggak zonk lagi. Terjadilah pembicaraan antara aku dengan seorang perempuan di seberang sana. Singkat. Memintaku datang ke Radio Widoro untuk sharing. Radio Widoro? Di mana itu? Katanya radio baru gitu. Aku hanya ber-ooo ria saat perempuan di seberang sana (namanya Yuni) menjelaskan alamat Radio Widoro, Jl. Malioboro 56, Yogyakarta. Mbak Yuni bilang radionya dekat Inna Garuda Hotel, dari patung votron (entah votron/ voltron) ke timur. Aku sebenarnya masih bertanya-tanya, di mana itu? Tapi aku iya-iya-in. Aku emang payah mengingat jalan yang hanya aku lalui sekali-dua kali.

Dag-dig-dug saat aku akan ke Radio Widoro. Ini kali pertama aku dipanggil radio dalam rangka... menuju ke arah serius. Optimis nggak lama lagi bakal siaran. :) Sharing dilaksanain siang, jam 12 atau 13, agak lupa aku. Aku pikir sekalian makan siang (tambah dag-dig-dug, apalagi mengingat nanti orang-orang dari Radio Widoro seperti apa). Aku pun udah nyiapin kalimat perkenalan. Nyari Radio Widoro agak susah untuk yang pertama kali. Setelah nanya sekali, akhirnya ketemu juga. Letaknya di Dinas Pariwisata.

Aku masuk.. menemui seorang perempuan, resepsionis aku pikir waktu itu. Setelah aku menjelaskan sekilas siapa aku, perempuan itu memanggil seseorang dari ruangan berpintu kaca yang sebelumnya aku lewati. Ruangan berpintu kaca itulah call box Radio Widoro. Paling ingat sosok Mbak Yuni waktu itu karena yang menyambutku dengan ramah, Mbak Yuni. Aku pun diajak ke sebuah ruangan dengan meja panjang, sebuah meja rapat. Sebelum sharing dimulai, aku disuruh nunggu beberapa saat. Nggak lama, tapi juga nggak sebentar. Demi mengisi kekosongan waktu, aku sempatkan membaca novel (seharusnya baca Al Qur'an T_T).

Setelah sekian menit, sharing pun dimulai antara aku dan Mbak Yuni. Ada juga satu perempuan lagi yang nantinya aku tahu namanya Erni. Sharing-nya lebih ke arah ngobrol. Nanya siapa aku, kuliah di mana, kesibukanku apa, dan nanya bisa siaran malam/ nggak. Aku oke-oke aja siaran malam. Nggak lama setelah sharing dimulai, datang seorang laki-laki yang usianya nggak jauh beda denganku. Dia kandidat calon penyiar juga. What? Aku ada saingan? Aku lupa siapa namanya, tapi dia lulusan Ilmu Komunikasi UIN Suka Angkatan 2010. Aku sempat ngobrol basa-basi sama dia.

Setelah ngobrol agak panjang dan lebar, Mbak Yuni menyuruh kami untuk membuat naskah siaran (opening, content, closing). Wah.. bikin naskah siaran, alhamdulillah aku nggak ada kendala. Kami dikasih waktu 15 menitan. Naskah selesai, kami taping suara. Aku taping suara yang kedua. Deg-degan juga walau kegiatan bersiaran udah nggak asing lagi bagiku (lebih deg-degan lagi saat siaran pertama di Radio Widoro). Taping selesai, kami masih berbasa-basi, saling mengenal lebih dalam. Aku pikir bakal ada makan siang, ternyata "cuma" dikasih permen Fox dan air mineral dalam kemasan (aku ra popo). Sebelum pulang, Mbak Yuni bilang nanti akan segera dihubungi siapa yang lolos, siapa yang nggak. Aku berdoa semoga aku yang lolos. Sangat berharap pokoknya.

Aku kembali menunggu... Besoknya, entah sehari setelahnya atau dua hari, telepon masuk memberitahukanku lolos seleksi Radio Widoro. Perasaanku buncah. Aku.. lolos seleksi penyiar radio. Sebentar lagi aku akan bersiaran di radio. Rasa syukur nggak terkira aku ucapkan berkali-kali kepada Allah. Alhamdulillah...

Begitulah "behind the scene"-ku sebagai penyiar Radio Widoro. I love this job. :)

Jogja, 5 Maret 2015