Langsung ke konten utama

INDONESIA DAN MALAYSIA

Rasanya geli sekaligus greget kalo ada war antara (yang merasa membela) Indonesia dan (yang merasa membela) Malaysia. Apalagi kalo ada pertandingan, semisal sepakbola, antara Indonesia dan Malaysia. Pasti banyak tuh yang ribut ono-ini. Belum lagi tentang pencaplokan budaya dan kawan-kawan. Enggak ada habisnya.
Mereka, yang war itu, enggak paham atau pura-pura lupa, Indonesia dan Malaysia masih satu rumpun. Ada kemiripan, wajar. Enggak usah saling merendahkan. Bangga jadi Indonesia buat orang Indonesia dan bangga jadi Malaysia buat orang Malaysia, sah-sah saja, tapi jangan merendahkan yang lain. Masing-masing punya kehebatan dan keunggulan. Kekurangan, jelas ada. Jangan jadikan kekurangan sebagai bahan war bahkan dijadikan pemicu perpecahan. Sungguh enggak bermutu. Manfaatnya apa? Merasa membela Indonesia? Merasa membela Malaysia? Memperkeruh hubungan, iya.
Indonesia dan Malaysia punya sejarah yang sama. Kata dream.co.id, dulu Malaysia banyak belajar dari Indonesia. Dulu sekali, setengah abad yang lalu. Lama banget ya? Waktu itu banyak guru dari Indonesia yang dikirim ke Malaysia. Pemuda-pemuda negeri jiran dulu juga banyak yang belajar di Indonesia. Sekarang? Malaysia maju pesat, terutama pendidikan. Indonesia masih ada di bawahnya.
Kata Cendekiawan Muslim dari Universiti Teknologi Malaysia, Wan Mohd Nor Wan Daud, (pendidikan) Malaysia bisa lebih maju dari Indonesia karena pemimpin yang peduli (pada pendidikan). Pemimpin Indonesia juga peduli (pendidikan), cuma Dewi Fortuna sekarang lagi ada di pihak Malaysia. Mengembalikan (pendidikan) Indonesia kayak dulu yang lebih unggul dari Malaysia? Bisa. Caranya? Mari kita pikirkan bersama.
Salah satu cara yang dilakukan Indonesia buat memajukan pendidikan dengan anggaran 20 persen APBN a.k.a Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara khusus buat pendidikan. Masih ingat program pemerintah "Wajib Belajar Sembilan Tahun"? Program ini juga jadi salah satu cara Indonesia buat kemajuan pendidikan. Sekarang bukan lagi "Wajib Belajar Sembilan Tahun" tapi "Wajib Belajar 12 Tahun". Bukannya merendahkan, sekarang kalo cuma lulus SMP, gimana? Paling enggak, lulusan SMA. Seharusnya sampai jadi sarjana, tapi Indonesia masih belum bisa kayak Kanada yang menggratiskan pendidikan bahkan sampai strata tiga. Kata seorang teman, pendidikan di Kanada memang terjamin, tapi pajak yang harus dibayarkan warga negaranya sangat-sangat besar dan ajaibnya (yeah.. ini ajaib) warga negara sana patuh bayar pajak. Inilah yang bikin pendidikan di Kanada more-more better dari Indonesia.
Yuk bersikap smart dengan mencintai perbedaan yang sama. Indonesia dan Malaysia memang berbeda, tapi punya kesamaan karena kita satu rumpun. Indah banget 'kan kalo Indonesia dan Malaysia, terutama orang-orang yang suka war tentang Indonesia dan Malaysia, bisa saling support dan enggak saling merendahkan?
Kalo ada pencaplokan dan lain sebagainya, kita selidiki dulu, cek dan ricek dulu. Jangan asal serang mengatasnamakan pembelaan. Bukannya solutif, justru nambah masalah. Kayak adik dan kakak. Kakak bersikap keliru, adik mengingatkan dan meluruskan (dengan cara yang baik). Begitu juga sebaliknya.
Jogja, 07.12.2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan