(MASIH) BELUM



Ternyata satu tahun belum menjadi rentang waktu yang cukup untuk mengenal dan memahami. Semacam sedih karena kebersamaan selama ini dimaknai seperti apa? Saya pikir kami sudah saling mengenal, ah.. apa hanya perasaan saya? Kami memang saling mengenal tapi tidak saling memahami. Benarkah begitu? Apa saya nggak memahami juga? Saya rasa nggak sepenuhnya begitu.

Semua ini berawal dari kesalahan yang saya buat. Ya, saya sadar akan kesalahan itu, tapi semua itu terjadi bukan karena saya sejahat dan setega yang dipikirkan. Ya Rabb.. jika saya sejahat dan setega itu, hukum saya. Waktu itu, saya sempurna lupa, bukan sengaja nggak memberitahu. Sama sekali bukan.

Siaran di dua tempat memang terkadang bikin hectic, apalagi saat jadwal bertabrakan. Biasanya saat seperti ini solusinya adalah bertukar jam siaran. Jauh-jauh hari saya sudah meminta tolong kepada seorang teman untuk bertukar jam siaran. Minggu pertama saya catat. Minggu kedua ternyata saya lupa mencatatnya. Alhasil saya lupa.

Hari itu, saat saya sempurna lupa, saya juga merasa aneh. Kenapa saya nggak minta tukar siaran padahal jadwal saya bertabrakan di dua radio? Hal yang membuat saya sempurna lupa, siaran di radio B jadi libur karena ditukar di hari lain, jadinya saya bisa siaran di radio A. Ini yang membuat saya sempurna lupa. Jika saja waktu itu jadwal di radio B nggak ditukar di hari lain dan benar-benar bertabrakan dengan jadwal radio A, saya pasti bakal mengingat atau paling nggak teringatkan dengan janji bertukar siaran jauh-jauh hari itu.

Saya salah dalam hal ini, tapi teman saya justru juga sengaja membuat kesalahan yang menyusahkan dirinya sendiri dan akhirnya mencipta sakit di hatinya. Waktu itu, saya dengan keadaan sempurna lupa tentang janji bertukar siaran jauh hari, datang ke radio A untuk bersiaran. Teman saya yang seharusnya menggantikan saya juga sudah datang. Saya yang memang benar-benar lupa, langsung bertanya saat bertemu dengan teman itu, “Loh, kok masih di sini?”

Waktu itu memang paginya ada pertemuan. Siangnya ada pawai yang membuat akses menuju radio A ada yang ditutup. Saya pikir dia masih stay karena hal itu. Teman saya nggak bilang apa-apa, bahkan saat saya bertanya seperti itu. Barulah saat teman saya pulang, datang sebuah pesan singkat, “Gus, kita jadi bertukar nggak?”

Saya bingung. Bertukar apa? Teman saya mengingatkan tentang janji bertukar siaran jauh hari itu. Seketika saya ingat dan baru menyadari. Saya lupa! Teman saya hanya bilang, “Kalau nggak jadi bertukar, bilang ya.” Hanya itu yang teman saya katakan. Saya langsung meminta maaf atas kelalaian yang saya lakukan. Ini memang kesalahan saya. Saya benar-benar merasa nggak enak.

Hari berikutnya saat saya bertemu dengannya, sikap teman saya biasa saja. Nggak ada yang berubah. Sama, seperti biasanya. Hati orang siapa yang tahu? Ternyata dibalik sikap biasa-biasa itu tersimpan sakit hati. Saya nggak menyadarinya. Saya pikir masalah kemarin sudah selesai. Kita sudah sama dewasa. Saya pikir permintaan maaf secara langsung via pesan singkat saat teman saya mengingatkan janji yang terlupakan, sudah cukup dan semua selesai. All clear. Ternyata dugaan saya salah. Teman saya masih menyimpan sakit hati karena sikap saya. Hanya saja dia memilih diam dan menceritakannya kepada orang lain yang memang dekat dengannya.

Saya sedih. Kenapa dia diam saja? Kenapa saat kejadian itu, saat seharusnya dia bersiaran dan saya datang, kenapa nggak langsung menanyakan dan semacam mengingatkan bahwa kami bertukar siaran? Apa susahnya bilang langsung begitu dan bukannya lewat pesan singkat setelah teman saya justru pulang dengan menelan kekecewaan yang teramat sangat? Ini yang membuat saya sedih juga greget dengan sikap orang Jawa yang lebih suka memendam.

Saat saya salah, tolong langsung diingatkan. Apalagi jika kesalahan saya membawa-bawa orang lain juga. Sakit hati itu tercipta karena sikap teman saya juga. Kenapa nggak langsung mengatakan saat itu juga? Saya benar-benar lupa dengan janji bertukar siaran jauh-jauh hari. Saya nggak ingat. Kenapa teman saya menanyakan saat dia sudah pulang dan melalui pesan singkat? Kenapa?

Saya memang salah, tapi yang perlu diingat saya nggak sejahat dan setega itu. Jika memang nggak jadi bertukar siaran, saya pasti bilang. Apa kamu mengerti, Teman?

Satu tahun ternyata belum membuatmu mengenal saya. Satu tahun mungkinkah belum membuat saya mengenalmu? Saya nggak merasa seperti itu. Saya merasa ada kedekatan denganmu. Walau saya nggak memahamimu luar dan dalam, tapi seenggaknya saya merasa ada kedekatan denganmu, tapi... ternyata kamu belum bisa memahami selama satu tahun kita mengenal. Maaf... saya nggak menyalahkan siapapun, saya hanya berusaha introspeksi diri.

Kejadian ini membuat saya mencatat penting: saat janji telah diucapkan, segeralah dicatat karena manusia adalah tempatnya lupa.

Buat teman yang hatinya sakit karena kejadian itu, maaf. Saya benar-benar meminta maaf. Saya nggak sejahat dan setega itu, nggak bilang kalau nggak jadi tukar siaran. Saya nggak akan pernah melakukan itu. Na’udzubillah... Semoga kamu memang mengerti.

Satu hal lagi, ini catatan buat siapapun, jika ada ganjalan di hati, katakan saja, apalagi berhubungan dengan seseorang yang kita kenal, sudah berteman satu tahunan, jika memang masih wajar dikatakan saat itu, katakanlah. Tolong jangan memendam hal yang sebenarnya sepele jika memang kita tipikal orang yang suka memendam perasaan.[]

Jogja, 16.03.2016
*untuk teman saya, saya benar-benar meminta maaf dan semoga kita bisa lebih mengenal dan memahami

JUAL DIRI

Katanya, penulis (baru bisa dibilang penulis) harus punya buku. Kalau belum punya buku, bukan penulis. Ini semacam label. Orang tahunya, ya penulis punya buku. Walau dia menulis di mana-mana, dimuat (di berbagai) media, tapi belum punya buku (sendiri, bukan keroyokan), bukan penulis namanya. Terus apa dong?

Saya setuju penulis memang harus punya buku, tapi saya risih dengan label 'bukan penulis kalau belum punya buku'. Oke, bikin buku gampang (gampang susah). Terbiasa menulis, pasti bisalah bikin buku. Setelah jadi buku, lalu apa? Menerbitkannya. Oke, diterbitkan. Setelah itu? Sudah, 'cuma' sampai diterbitkan? Nggak pengen gitu jadi mega best seller macam Andrea Hirata, Asma Nadia, JK Rowling, Stephanie Meyer? Ya, pengen sih.. Nah.. ini 'akar'nya. Akar apa? Akar-nya Dee? (jangan ngaco!)

Membuat buku, menerbitkannya, gampang (bukan berarti menggampangkan loh). Nah.. perkara selanjutnya, gimana biar buku yang telah terbit bisa jadi mega best seller (baca: terjual)? Selain gencar promosi, branding penulis juga penting. Branding? Apaan tuh? Semacam kerupuk ya? (hei, please!)

Kenal (paling nggak tahulah) Andrea Hirata, Asma Nadia, JK Rowling, Stephanie Meyer? Siapa mereka? Apa buku-buku mereka? Laskar Pelangi, Assalamu'alaikum Beijing, Harry Potter, Twilight. Bagus Adisatya kenal (tahu) nggak? Oo.. Bagus Adisatya.. Cowok ganteng itu 'kan? (ini cuma pendapat pribadi, bukan narsis :D) Inilah pentingnya branding a.k.a 'citra diri' (bisa dibilang 'jual diri'). Maksudnya, sesuatu yang bisa 'dijual' dari kita.

Branding Andrea Hirata, Asma Nadia, sudah oke. Mereka punya 'nama'. Bikin buku (selain sangat dimudahkan karena branding yang asoy) & jadi mega best seller sangat mungkin buat mereka. Terus kita juga nggak, begitu?
Bisa! Kita bisa bikin buku & jadi mega best seller. Branding diri-sendiri lebih digencarin. Saya sekarang nggak terpikirkan bikin buku. Kalau ada yang nanya, apa project buku saya, jawabannya saya nggak tahu. Saya jelas pengen banget punya buku, diterbitkan, buku berjajar di Gramedia (penting ya sebut merk?), tapi apa cuma sebatas itu? Saya juga pengen buku saya dibeli, dibaca, dinikmati, dan kemudian banyak yang minta tandatangan (jangan diseriusin, kidding kok).

Saya sekarang fokus menulis untuk media massa. Menulis cerpen lebih tepatnya. Kenapa nggak semua jenis tulisan? Katanya penulis? Saya bukan tipikal maruk (baca: serakah) (alibi!) tapi saya memilih fokus. Saya pengen orang mengenal Bagus Adisatya sebagai cerpenis Kompas, cerpenis Republika, cerpenis KR (amiiin! *khusuk*). Saya nggak mengharapkan orang mengenal Bagus Adisatya yang mirip Aliando. Bukan, bukan itu. Saya hanya ingin, sekarang ini (dalam rangka proses branding diri), orang mengenal Bagus Adisatya sebagai penulis cerpen Kompas, penulis cerpen Republika, penulis cerpen media ini.. media itu.. dan banyak.

Setelah 'gelar' itu saya dapatkan, so.. apa yang harus saya lakukan? Terjun ke dunia keartisan? Jadi kembarannya Aliando? You know-lah...

Nah, ingat ya: branding itu.. penting! ^_^

Jogja, 14.03.2016
*cerita selepas Klub Senin Ceria di taman rumput Balairung Utara UGM yang membahas outline buku dan nananinanya

BELAJAR MEMAHAMI

Hidup itu belajar. Belajar buat memahami diri-sendiri dan orang lain, salah satunya. Kita hidup nggak sendirian. Saling memahami jelas penting banget. Nggak bisa setiap orang harus punya karakter yang kita pengen. Aku pengen dia nggak begitu, aku pengen dia nggak begini. Jelas nggak bisa mengubah karakter seseorang sesuai dengan keinginan kita. Kalau ada yang nggak sesuai, itulah bagian dari hidup.

Sayangnya, terkadang kita sudah berusaha memahami tapi orang lain yang nggak melakukan hal sama. Pengennya dipahami tapi nggak mau memahami. Mungkin sudah sama-sama memahami, tapi nggak tersampaikan. Berusaha mengerti karakter orang lain walau kadang rasanya menyebalkan. Iya, menyebalkan, karena semakin dimengerti kok semakin entah rasanya?

Ah, begitulah. Campur-aduk rasanya karena berusaha memahami setiap karakter. Ingat, kita nggak hidup sendiri.

Jogja, 13.03.2016