DUNIA YANG KECIL

Kalau mau menutup mata, aku bisa saja merasa damai di dunia kecilku. Tanpa beban, menjalani sesuatu yang aku suka, dan bebas. Pernah ada masanya, aku pengen cepat pulang. Pergi sebentar dari duniaku yang lain dan kembali ke rumah. Momen yang sangat menyenangkan. Bahkan untuk kembali ke duniaku yang lain itu rasanya berat sekali.


Kangen juga sama masa-masa ini. Benar-benar sebahagia itu bisa pulang ke rumah dan enggak pengen pergi cepat-cepat. Dulu, saat tanggung jawab belum seperti sekarang. Bukan berarti sekarang lebih berat, tapi buatku setiap tanggung jawab di masa apapun, punya porsinya sendiri. Aku enggak bisa bilang tanggung jawab dulu lebih ringan dan tanggung jawab sekarang lebih berat. Sama-sama dinikmatilah.


Sekarang aku lebih menikmati duniaku yang lain. Dunia kecilku. Dunia yang naif bisa dibilang, karena aku di sini merasa semua baik-baik saja. Pasti selalu ada hal baik, tapi enggak semuanya sempurna tanpa cela. Ada pertanyaan-pertanyaan yang membuatku sadar, dunia kecilku sebenarnya hanyalah sesuatu yang fana. Ya iyalah. Mana ada yang kekal kecuali Tuhan?


Aku dan dunia kecilku. Tempat di mana aku bisa merasa tanpa beban dan lepas. Seenggaknya aku masih bisa merasakan perasaan ini. Aku tahu suatu hari akan meninggalkan dunia kecilku. Entah kapan, tapi pasti ada masanya. Yang kulakukan sekarang adalah menikmati apa yang masih bisa aku nikmati.


Jogja, 5 November 2021

DIAM DI SUDUT RUANG

Apa kabar laptop merahku? Sejak keluar dari tempat servis, dan belum menyelesaikan masalah sama sekali, aku masih mendiamkan laptop merahku di pojokan. Entah kapan aku akan kembali ke tempat servis. Sebaiknya segera karena semakin lama diabaikan mungkin semakin parah sakitnya.

Laptop merahku adalah laptop keduaku. Aku beli mungkin sekitar empat tahun lalu di sentra elektronik terbesar di Jogja. Sebelumnya aku punya notebook hitam. Pertama kali yang aku punya. Menemaniku sejak pertama menjadi mahasiswa. Setelah tiga atau empat tahun, aku melepas notebook hitamku dan menggantinya dengan laptop merah.

Waktu tahu harga servis laptop merahku enggak semurah yang aku bayangin, sempat terpikirkan beli laptop baru. Harganya juga sama. Setelah aku cek, ternyata beda. Laptop baru masih lebih mahal. Biaya servis buat laptop merahku enggak sebanyak itu, tapi tetap saja butuh effort lebih.

Laptop merahku masih diam di sudut ruang. Tertutup di antara lembaran kertas, map plastik, dan majalah yang baru sampai kemarin. Sabar ya. Mungkin harus menunggu lebih lama lagi.

Jogja, 1 November 2021

KEINDAHAN DALAM SEBUAH LAYAR

Hidup enggak seindah drama Korea bisa jadi ada benarnya. Kita bisa menikmati keindahan-keindahan yang ditampilkan drama Korea, drama Thailand juga. Coba pikir, mana ada cewek yang enggak tertarik sama CEO ganteng yang diam-diam naksir dia? Diperebutkan dua cowok ideal, satu polisi, satunya lagi CEO. Terlalu indah bukan? Pilihan yang sepertinya jauh dari realita.


Bukan berarti enggak ada, tapi realita emang enggak seindah drama Korea. Namanya drama, pasti ada enek-eneknya juga sama plot yang dibikin, tapi drama kehidupan lebih bikin enek lagi. Enggak melulu ngerasain yang enek-enek sih. Ada enaknya juga kok. Namanya juga hidup.


Aku tadinya enggak ngikutin drama Korea. Tau yang lagi rame, tapi enggak ngikutin. Nonton drama Korea sejujurnya bikin capek ngikutin alurnya. Genre yang ringan dan manis lebih aku suka. Salah satunya, Strong Girl Do Boong-soon. Oh tidaaak... aku menyebut judul drama Korea. Apakah aku akan menjadi K-Drama Lover? Sepertinya enggak gitu juga. Strong Girl Do Boong-soon emang drama favoritku, tapi drama-drama yang lain, nanti dulu deh.


Bukan berarti anti, tapi lebih ke menahan diri. Aku enggak mau keindahan-keindahan yang ditampilkan membuatku meleyot. Tolooong... aku tidak bisa, Ahn Min Hyuk. Ah, aku menyebut salah satu karakter di Strong Girl Do Boong-soon.


Aku jadi paham kenapa ada fan fiction. Efek meleyot itu bisa bikin kita, iya kita, jadi pengen berimajinasi lebih luas lagi. Fan fiction salah satunya. Aku emang sengaja membatasi diri. Aku harus ingat dunia nyata. Keindahan drama Korea, drama Thailand, silakan dinikmati, tapi tetaplah berpijak di bumi. Jangan terbang terlalu tinggi.


Kita berhak buat bersenang-senang. Berhak menikmati keindahan. Asal jangan sampai terhanyut. (Masih) ada realita di depan sana. Kesenangan dan keindahan masih bisa kita nikmati kok.


(Jogja, 13 September 2021)

ANGKA DELAPAN

Bulan ini bulan delapan. Angka yang bisa dibilang favoritku. Sesuatu yang menurutku penting, kalo diminta masukin angka, bakal aku masukin angka delapan, salah satunya.


Bukannya fanatik sama delapan, apalagi percaya sama mitos yang bikin hoki bla bla bla. Suka angka delapan, karena aku lahir di bulan delapan. Jadi merasa spesial aja angka yang satu ini buatku.


Delapan. Filosofinya sambung menyambung menjadi satu~ itulah Indonesia~ eh, maksudnya sambung menyambung tanpa putus. Apa ya istilahnya? Ada kok, tapi aku lupa. Enggak ada hubungannya juga aku suka angka delapan sama filosofi ini, tapi karena maknanya bagus, bolehlah... boleh... boleh...


Momen khusus yang berhubungan sama angka delapan, enggak ada mungkin, kecuali pas aku lahir. Eh, tapi disambung-sambungin, siaranku juga berhubungan sama angka delapan.


Nomor jalan, angka delapan. Eh, cuma itu doang ternyata setelah aku pikir-pikir. Siaran yang relate sama angka delapan yang lain, di luar nama jalan, apa ya?


Tepat hari ini, angka delapan menjadi milikku. Waktu berjalan cepat, terdengar klise, tapi aku mencoba mengingat apa yang aku rasa di tanggal yang sama, tahun-tahun sebelumnya. Jadi pengen balik ke masa itu. Bukan mengulang, tapi kangen aja masa-masa sebelum angka delapan datang.


Bakal ada apa aja di angka delapan tahun ini? Pasti harapan yang baik dan doa biar harapan baiknya bisa terkabul. Agak takut juga sejujurnya, karena... angka tujuh udah resmi aku lambaikan tangan. Waktu terus berjalan. Cepat tanpa disadari. Walau ada rasa takut ngadepinnya, tapi enggak bisa enggak dihadapi. Harus! Hidup terus berjalan.


Selamat datang, angka delapan.


Jogja, 16 Agustus 2021

ORANG-ORANG BILANG

Katanya ngegame mulu bisa bikin bego. Buat pelajar, nilai bisa turun, enggak konsentrasi belajar. Bisa jadi nilai turun kalo enggak diimbangi. Harus seimbang main game sama belajar. Begitu juga buat pekerja a.k.a yang bukan pelajar lagi. Harus seimbang antara game sama kerjaan. Bisa, kerja jadi berantakan kalo ngegame enggak tau aturan. Pernah aku baca lowongan kerja yang syaratnya enggak main game tertentu. Nah... kalo enggak seimbang emang bisa bikin berantakan.


Game bikin bego? Enggak juga. Game juga bisa melatih kerja sama tim. Ada yang bisa diambil positifnya dari main game. Bisa melatih menerima kekalahan dengan hati yang lapang. Melatih mengatur strategi. Enggak bikin bego juga. Kalo ngegame mulu sih, bukannya jadi bego, tapi jadi berantakan, entah itu buat pelajar atau pekerja.


Aku kenal game mulai dari... gimbot. Ah, ya! Buat "orang kota", mainnya gameboy, tapi waktu itu aku kenalnya gimbot, versi murahnya gameboy. Permainannya kurang lebih samalah. Ada Tetris, ada permainan tembak-tembakan pesawat, yang grafisnya kotak-kotak, beneran disusun dari kotak ya, bukan animasi 3D yang burik terus jadi kotak-kotak.


SMP, aku kenal sama Playstation. Bisa dibilang suka banget aku sama PS. Tiap Kamis, Jumat, Sabtu, Minggu aku pasti ke rental PS. Bayar Rp2000/jam buat PS 1, Rp3000/jam buat PS 2. Kalo enggak salah. Walau suka banget, tapi aku masih bisa mengendalikan ya dipikir-pikir. Main PS cuma Kamis-Minggu. Itu juga sejam. Enggak adiktif sampai berjam-jam dan tiap hari ke rental PS. Kalo punya sendiri sih, beda ya. Paling kena omelan Mamah. Bisa jadi kalo punya PS, malah jadi susah ngendaliinnya. Apalagi aku masih SMP waktu itu.


Main PS cuma pas SMP kelas 8 kalo enggak salah. Apa kelas 7 ya? Selain itu, aku enggak main PS lagi. Pernah disamperin Mamah di rental PS gara-gara aku main PS terus. Padahal cuma Kamis-Minggu dan sejam doang. PS dianggap sesuatu yang menyesatkan. Bikin bego dan bla... bla... bla... Aku waktu itu bete banget sampai mau nangis kayaknya gara-gara disamperin. Sejak saat itu aku enggak main PS lagi. Hidup berjalan normal tanpa main game. Aku juga bukan yang gamer banget.


Pas SMA, game yang aku mainin game di hape. Download banyak banget di Zedge, kalo enggak salah namanya. Bukan smartphone ya. Waktu aku SMA, smartphone belum menjamur. Masih jadi kepunyaan kalangan terbatas dan eksklusif. Aku main game buat Nokia... seri berapa gitu. Express Music tapi lupa serinya. Game yang aku download lumayan banyak. Paling aku ingat game Inspector Gadget. Game yang disuka banget sama adikku yang cowok. Waktu itu, adikku antusias banget kalo main game di hapeku.


Setelah aku punya smartphone, masuk masa kuliah, enggak bikin aku download banyak game. Pernah main Pou, peliharaan virtual. Mirip Tamagochi, walau aku belum pernah main. Waktu itu aku masih menjalani hari-hari tanpa (harus) ngegame. Kenal Mobile Legends Bang Bang juga enggak bikin aku langsung latah pengen main. Waktu pertama rilis, banyaaak... banget yang main. Aku bukan salah satunya. Kebiasaan, kalo ada yang lagi rame, aku enggak tertarik ikut meramaikan. Biasa aja. Kalem. Merasa ogah juga sih ikut-ikutan nyemplung sama yang lagi rame.


Aku sempat bilang, apa menariknya MLBB? Karakter gamenya kecil-kecil gitu. Waktu itu emang aku ngelihatnya gitu. Pengalaman game yang aku mainin pas masih suka ke rental PS, ada Digimon Rumble Arena, One Piece Grand Battle, sampai Mortal Kombat yang karakternya jelas kelihatan lebih gede dari karakter di MLBB. Apalagi aku belum pernah main moba a.k.a multiplayer online battle arena. Sempat aku ikutan main MLBB, cuma first impressionku enggak sebagus itu. Ini game apa sih? Aku hapus.


Aku lupa berapa lama setelahnya, aku download MLBB (lagi) dan... jadi sesuka itu. Sampai sekarang, udah total berapa tahun aku main MLBB. Sekarang, hari-hariku diwarnai MLBB. Sehari main bisa sampai enam atau tujuh kali dengan jeda waktu sekitar dua-tiga jam atau lebih. Aku enggak main terus-terusan. Misal, sekarang main, satu kali match, abis itu berhenti. Main lagi nanti dua jam kemudian, tiga jam, bahkan bisa lebih, tergantung aku lagi siaran apa enggak dan juga ada aktivitas lain apa enggak.


Selain MLBB, aku juga main AOV, Lokapala, walau sejarang itu, Pokemon Go, Marvel Super War, dan Ragnarok: Next Generation. Paling sering aku main MLBB. Pernah main AOV mulu, MLBB benar-benar aku kesampingkan banget. Itu juga karena aku beli Codex. Musti naikin level Codex dengan rajin main biar skin Codex yang aku pengen, bisa aku dapetin.


Aku suka main game, tapi sebatas suka aja. Bukan yang suka banget sampai adiktif, kepikirannya game mulu. Aku masih bisa mengendalikan diri. Aku juga enggak merasa jadi gamer. Aku cuma main game yang aku suka dengan karakter yang aku suka juga. Dibilang jago main game, enggak juga. Standar bisa main. Bukan kayak pro player yang sat-set-sat-set jago banget. Sekedar bersenang-senang aja.


Jogja, 6 Agustus 2021

RUMAH UNTUK PULANG

Sejak SMA, aku udah ngerasain betapa menyenangkannya pulang. Tiap Sabtu, aku semangat banget. Antusias karena hari itu aku pulang. Aku udah jadi anak kost sejak SMA. Makanya, pulang jadi aktivitas yang menyenangkan. Setelah enam hari enggak merasakan nyamannya rumah, begitu waktunya pulang, bahagianya bukan main.


Aku pulang tiap Sabtu. Naik angkot. Masih memakai seragam Pramuka. Aku lupa-lupa ingat gimana perasaanku pas udah sampai rumah. Yang aku ingat betul, perasaan bisa pulang tiap Sabtu. Perasaan yang menyenangkan. Memasuki masa kuliah, pulang jadi sesuatu yang sangat berharga. Enggak kayak waktu SMA, bisa pulang tiap Sabtu. Jadi anak kuliah, lebih jauh dari rumah, Kebumen-Jogja cuma tiga jam sih, membuatku enggak bisa tiap akhir pekan pulang.


Merasa capek di jalan, walau sebenarnya aku ingin. Sebelum aku bawa motor sendiri, aku pulang naik bus. Pernah juga naik kereta. Perjalanan pulang naik bus butuh waktu lebih lama karena aku bukan naik bus patas, tapi bus biasa yang ada waktunya berhenti nunggu penumpang. Istilahnya "ngetem". Lebih cepat naik kereta, tapi jarak stasiun sama jalur angkot lumayan jauh. Ada ojek, becak, tapi aku enggak memanfaatkannya. Maaf.


Tahun pertama, kedua, ketiga kuliah, pulang selalu jadi momen spesial. Sekarang pun masih sama, tapi sejak aku jadi penyiar radio, pulang enggak bisa sesuka hatiku. Bisa, aku mengagendakan pulang sebulan sekali, tapi jelas harus izin siaran. Libur siaranku sejak pertama jadi penyiar sampai sekarang, enggak pernah lama. Kalo cuma sehari dan aku memutuskan pulang, capek di jalan dong.


Aku ingat waktu Ramadan, momen pulang sangat aku tunggu-tunggu. Sebelum jadi penyiar radio, aku sengaja pulang di pertengahan bulan Ramadan, karena pengen aja. Biar berasa cepat Lebaran. Aku juga jadi ngerasain sensasi mudik. Aku enggak perlu repot pesan tiket kereta karena aku pulang naik motor sendiri. Rasanya selalu menyenangkan pulang di momen mudik.


Sekarang, tiap aku pulang, harus bersiap puasa hape, media sosial, game. Sinyal internet di rumahku enggak bisa diandalkan. Aku harus ke jalan besar dulu, sekitar 100 meter dari rumah biar dapat sinyal. Walau begitu, tetap aja pulang selalu terasa menyenangkan. Ada yang bilang, "Enggak pulang rindu, tapi pulang juga malu." Aku enggak ngerasain ini.


Alhamdulillah aku selalu merasa menyenangkan waktu pulang. Walau sekarang, aku harus siap dengan tanya "kapan nikah". Enggak terlalu diburu-buru karena aku cowok. Seputar ini doang yang bikin momen pulang sedikiiit... menyebalkan, tapi rasa menyenangkannya lebih gede.


Sekarang aku sepertinya homesick. Rindu rumah. Rindu Mamah. Rindu Hamdy. Rindu Aya. Rindu keluarga.


Jogja, 5 Agustus 2021

DI BALIK PINTU

Satu sore, aku melihat ada sepatu cewek di depan kamar sebelah. Pintunya tertutup. Hening. Oh, mungkin tidur. Mungkin ini... mungkin itu... Cukup. Bukan urusanku. Ya... aku tahu memang bukan urusanku. Buat aku yang masih hijau, apa yang aku lihat sore itu membuatku berpikir ke arah yang... yah... tahu 'kan?


Bisa jadi enggak melakukan apa-apa. Bukan seperti yang aku pikirkan. Hei, cukup sampai di sini. Bukan urusanmu 'kan? Orang yang berpacaran selain makan bareng di warung seberang jalan, ngapain aja sih? Setiap orang beda-beda. Enggak jarang, ada sisi yang orang-orang bilang sange. Padahal normal seorang cowok merasakannya ke cewek. Begitu juga sebaliknya. Seharusnya dikendalikan sih, tapi saat rasa ini begitu menguasai, biasanya enggak terpikirkan hal yang lain. Hanya ada dia di depan mata. Seperti harimau jantan melihat betinanya.


Aku benar-benar masih hijau. Makanya aku bertanya. Ada milyaran orang yang berpacaran dan ada milyaran hal yang dilakukan. Ada yang menjadikan seks sebagai rutinitas setiap malam. Ada yang menjadikan hubungan sebagai support system. Ada yang... Banyak. Enggak bisa dibilang cuma A, B, C, dan seterusnya.


Pernah di satu malam, hampir tengah malam, tepat di rumah sebelah, aku melihat ada yang lagi berciuman. Pernah juga aku melihat, di satu tempat makan, dua sejoli sedang bermesraan. Hal kayak gini buat yang berpacaran bukan lagi sesuatu yang asing. Ada enggak yang berpacaran, tapi belum pernah ciuman? Berhubungan seks mungkin masih bisa ditahan. Ada! Kata siapa enggak ada? Milyaran manusia yang berpacaran. Macamnya tentu beragam.


Ada juga yang bilang, pacaran setelah menikah. Biasanya, orang-orang yang menjaga diri yang enggak berpacaran. Orang-orang yang taat. Enggak semua. Ingat, ada milyaran ya. Enggak semuanya yang pacaran setelah menikah karena pertahanan ketaatan. Semakin dewasa, semakin bertambah usia, makna pacaran bukan lagi tentang makan berdua, saling menggenggam tangan mesra, ciuman, bahkan hubungan seks, tapi lebih ke arah yang serius. Enggak ada lagi main-main. Bukannya pengen cepat-cepat atau enggak tahan, tapi enggak mau buang-buang waktu buat hubungan yang enggak serius.


Ingat, ada milyaran orang yang berpacaran. Kedewasaan belum tentu melihat pacaran dengan pandangan yang sama. Aku penasaran dengan yang ada dibalik pintu di kamar sebelah. Apa yang sedang mereka lakukan? Memang bukan urusanku, tapi rasa penasaran membuatku berpikir banyak hal.


Hei, cukup!


(Jogja, 4 Agustus 2021)

SAAT LAPAK-LAPAK ITU MASIH ADA

Kangen banget sama majalah-majalah, tabloid, dan teman-temannya yang masih hangat di lapak-lapak majalah. Aku sangat antusias karena ini. Paling bikin happy jelas majalah favoritku. Dari SD sampai kuliah, selalu ada yang jadi favorit. Rasanya bahagia banget lihat majalah favorit tergantung dengan manis di lapak majalah.


Waktu SD, majalah favoritku adalah Majalah Bobo. Belinya di satu toko di Pasar Petanahan. Bukan lapak majalah, tapi toko yang menjual kebutuhan sehari-hari, bukan kebutuhan pokok macam beras, sayur, dan kawan-kawan. Lebih ke toko grosir kali ya. Yah... semacam itu. Tiap Kamis, bahagia banget lihat Majalah Bobo edisi terbaru tergantung di sana. Aku enggak segampang bilang sama Mamah minta dibeliin Majalah Bobo. Aku harus nabung dulu dari uang yang minta sama Mamah. Aku juga nabung dari hasil mijitin Mamah yang dikasih Rp500.


Mamah enggak support aku buat beli Majalah Bobo. Katanya enggak penting. Padahal penting, karena sekarang aku jadi sadar, literasi sejak kecil itu perlu banget. Aku beli Majalah Bobo selalu sendiri. Naik sepeda. Enggak jarang, aku ngumpetin Majalah Bobo yang baru aku beli. Aku enggak mau Mamah berkomentar bla... bla... bla...


Aku pernah dapat bonus tempat pensil, pulpen, pin dari Majalah Bobo. Satu yang paling aku ingat, bonus jam tangan Bobo terpaksa aku skip gara-gara enggak dibeliin sama Mamah. Ku menangis~ Masa SMP beda lagi. Aku enggak sesering itu beli Majalah Bobo, yang sekarang justru aku pertanyakan, kenapa? Aku beralih ke Tabloid Gaul. Aku ingat banget pas kelas 9, aku mampir ke Pasar Petanahan dulu, kali ini tokonya beda, buat beli Tabloid Gaul. Terus aku balik lagi ke sekolah karena ada les persiapan UN. Naik angkot!


Benar-benar seniat itu. Apa yang bikin aku suka sama Tabloid Gaul? Suka aja. Aku bisa baca macam-macam di sini, yang berhubungan sama dunia hiburan, tapi bukan gosip ya. Aku pernah ikutan kuis Tabloid Gaul yang hadiahnya hape total Rp10 juta. Waktu itu hape harga segini, satu hapenya mungkin sekitar Rp2 jutaan, total ada lima hape kalo enggak salah, apa enam ya? Nokia seri berapa gitu, tapi yang OS Symbian. Mewah banget hape ini waktu itu. Sayangnya aku enggak pernah beruntung. Ikutan kuisnya lewat pos. Ngirim kupon dimasukin ke amplop.


Pernah juga ikutan kuis spesial ulang tahun Tabloid Gaul. Aku ngincer banget hadiah jam tangan. Eh, aku dapetnya paket kosmetik dari Inez kalo enggak salah. Yah... not bad. Bisa dipake Mamah. Aku suka Tabloid Gaul sebelum berubah jadi tabloid K-Pop. Masuk SMA, favoritku Majalah Story. Tiap tanggal 25, semangat banget aku ke lapak majalah di Jalan Pemuda. Naik sepeda. Lapak di sini lengkap banget. Ada banyak majalah, tabloid, koran, surga banget buatku.


Majalah Story yang membakar semangatku jadi penulis. Tiap abis baca Story, aku jadi pengen nulis cerpen. Ada ratusan cerpen yang aku buat. Aku enggak punya laptop loh. Aku tulis di buku, terus aku ketik di rental komputer. Iya, dulu aku melakukan ini dan bisa menulis ratusan cerpen. Aku salut sama diri-sendiri waktu itu. Beberapa cerpen aku kirim ke Majalah Story. Pernah juga aku kirim ke Tabloid Gaul. Yang bikin bahagia pake banget, kalo cerpen yang dikirim berhasil lolos, Majalah Story bakal telepon penulisnya buat dikabarin. Aku bahagiaaa... banget waktu dapat telepon dari Majalah Story. Ada beberapa cerpenku yang dimuat, mulai dari Cerpen Anak Sekolah, Cerpen Duet, dan Cerpen Horror, aku lupa nama rubriknya. Cerpenku di Tabloid Gaul juga pernah dimuat. Fee dari Majalah Story 150K. Dari Tabloid Gaul, entah aku enggak ingat detailnya. Waktu itu yang penting cerpenku dimuat. Ditransfer ke bank bukan ya? Aku enggak ingat waktu SMA punya rekening bank.


Aku masih tetap setia sama Majalah Story sampai masuk masa kuliah. Lapak majalahnya kali ini dekat kampus. Seberang rel kereta. Di sini juga lumayan lengkap majalah sama tabloid. Ada juga versi bekasnya. Bapak yang jaga lapak majalah sampai hafal sama aku yang tiap tanggal 25 datang beli Majalah Story. Apa kabar si Bapak ya? Lapak majalahnya sekarang sudah berganti sama tempat makan.


Semakin bertambah tahun, majalah dan tabloid mulai pamit. Tabloid Gaul, Majalah Story, dua favoritku juga ikutan pamit. Majalah Hai, Kawanku, tabloid ini, itu, menyusul bilang pamit. Sekarang, cuma ada beberapa yang bertahan, enggak sebanyak waktu itu, salah satunya Majalah Bobo. Buat dapat edisi terbaru dari yang masih bertahan, kecuali koran, justru susah banget. Gramedia enggak menyediakan. Terus harus beli di mana? Lapak majalah sudah banyak yang pamit, sama kayak majalah yang juga mengucap selamat tinggal. Beli koran pun sekarang kayaknya enggak bisa di lapak majalah, lapaknya aja udah enggak ada. Harus langganan langsung dari majalah/korannya. Tiap terbit dikirim ke rumah. Mungkin ini satu-satunya cara mempertahankan yang masih bertahan.


Sekarang apa majalah favoritku? Sejujurnya aku bingung. Apa ya? Semua yang jadi favorit sekarang cuma tinggal kenangan.


(Jogja, 3 Agustus 2021)

TETAPLAH DEKAT

Penting banget tetap mendekatkan yang dekat. Jangan sampai yang dekat jadi jauh. Apalagi yang enggak dekat jadi makin jauh. Ini yang aku jaga dengan adik-adikku. Aku enggak mau ada jarak di antara kami. Aku enggak mau status kakak-adik hanyalah tentang hubungan sedarah. Aku ingin tetap dekat, jadi teman ngobrol, dan kalau ada masalah, enggak lari ke mana-mana, tapi datang ke kakak atau adik, satu sama lain. Saling membutuhkan. Saling menyayangi walau enggak terlihat.


Aku pernah marahan sama adikku yang cewek. Waktu itu aku merasa dia jutek banget. Aku pengen ngobrol sama adikku. Tiap aku ajak ngomong, jawabannya berasa jutek. Lama-lama aku kesal juga. Tumpahlah kekesalanku. Adikku nangis. Aku marah. Dipikir-pikir lagi, aku terlalu kekanakan waktu itu. Seharusnya aku yang memahami. Bukan aku yang minta dipahami. Secara teori, harusnya saling, bukan cuma salah satu, tapi nyatanya aku merasa aku yang harus memahami. Aku juga enggak apa-apa melakukan ini.


Aku sama adikku marahan. Perang dingin. Alhamdulillah enggak lama. Enggak berhari-hari, berminggu-minggu, karena pasti akan sangat awkward nantinya. Mungkin saja hubungan kami enggak bisa lagi sama. Aku enggak mau ini terjadi. Hari itu juga, setelah aku menumpahkan kekesalan, aku minta maaf sama adikku. Responnya terkesan ogah-ogahan, tapi aku lega karena sudah minta maaf. Alhamdulillah hubungan kami setelah itu baik-baik saja. Aku juga merasa adikku jadi enggak sejutek itu. Mungkin pola pikirku, sudut pandangku yang berubah.


Aku juga pernah perang dingin sama adikku yang cowok. Penyebab pastinya aku enggak tahu, tapi kata adikku yang cewek, gara-gara Mamah bilang ke adikku yang cowok buat ngomong yang baik-baik sama aku. Akar permasalahannya karena beda pendapat. Aku enggak secara langsung ngomong beda pendapat sama adikku, tapi lewat chat karena kami berjauhan. Setelah itu, chatku enggak dibalas. Dibaca pun enggak. Aku yang harus mengalah. Aku mau melakukan ini. Memang harus ada yang menjadi air. Aku enggak mau masalah ini jadi semakin lama mengendap.


Aku minta maaf. Aku bilang jujur, aku sedih kalau hubungan kami jadi jauh. Aku enggak masalah dengan perbedaan pendapat. Di sini aku belajar banget buat menghargai setiap pandangan di antara kami. Enggak bisa aku memaksakan sama, sekali pun pandangan adikku keliru. Aku harus cari cara lain yang enggak menjauhkan hubungan kami. Setelah aku bilang jujur, lewat chat, adikku membalas chatku. Kami mulai ngobrol kayak biasanya. Aku bersyukur banget. Enggak aku bahas tentang pandangan kami yang berbeda. Biarlah berlalu. Kalau nanti ada cara untuk meluruskan, alhamdulillah.


Aku enggak mau menjadi jauh dengan adik-adikku. Aku enggak mau berjarak dengan keluargaku. Sekarang ada jarak dengan salah satu keluarga. Permasalahannya sangat kompleks. Imbasnya ke semua. Hubungan kami seolah putus. Memang sudah putus sepertinya. Pernah aku dan Mamah mencoba kembali menyambungkan. Mamah sebenarnya enggak sepakat. Biarlah yang ruwet tetap menjadi ruwet, tapi aku enggak mau. Saat itu Lebaran. Kami datang untuk memperbaiki hubungan. Mengatasi benang kusut yang sudah terlalu kusut. Sayangnya, aku sama Mamah enggak dikasih kesempatan. Bahkan sekedar bertemu pun enggak.


Salah satu keluarga yang lain bersedia bertemu, tapi selalu yang dibicarakan adalah masalah yang terjadi. Dikorek terus-terusan. Siapa yang enggak muak? Aku sama Mamah sudah berusaha tulus meminta maaf. Sumber masalahnya bukan aku, tapi karena sangat kompleks, aku juga harus meminta maaf, sekalian ngajakin Mamah. Harus ada yang memulai.


Benang kusut itu masih ada. Mungkin sekarang sudah putus. Aku enggak tahu gimana caranya meluruskan kembali tali hubungan ini. Aku enggak mau kejadian ini terjadi sama aku dan adik-adikku, dan juga keluargaku yang lain. Aku harus menjaga hubungan ini tetap menjadi baik. Aku tahu, pasti ada masalah seiring berjalannya waktu. Pasti ada perubahan.


Aku harus terus menjaganya.


(Jogja, 2 Agustus 2021)

MEREKA YANG MENJADI TEMAN

Selama aku menjalani isolasi mandiri, teman yang selalu ada di setiap waktu adalah film dan serial. Hiburan ini menjadi andalanku meningkatkan imunitas, karena katanya dengan happy, menikmati film, imun juga akan naik. Netflix dan Disney Plus jadi andalanku. Dua layanan streaming yang setiap bulan aku selalu berlangganan.


Mulai dari Netflix. Sejak masuk masa isoman, aku nonton beberapa film dan serial. Pertama, yang paling aku ingat, Ponyo, sebuah film anime dari Studio Gibli. Sama kayak film Studio Gibli lain, Ponyo juga ngasih jalan cerita yang enggak diduga. Menceritakan tentang Ponyo, ikan, atau sejenis ikan, yang ingin menjadi manusia. Fantasi banget film ini dan aku suka. Lanjut, Aruna dan Lidahnya. Film yang waktu masih promo, aku pengen banget nonton, tapi enggak kesampaian. Menceritakan Aruna yang doyang kulineran dan ditugaskan ke suatu daerah di Jawa Timur dan Indonesia Timur, aku lupa nama kotanya, untuk menyelidiki kasus virus flu burung yang menyerang manusia. Di sini, Aruna mendapat konflik romansa, yang tentu saja selalu ada kuliner dan membuatku ingin makan. Padahal waktu aku nonton film ini, indera pengecapku masih abnormal. Sepanjang film, highlight makanan memang jadi hal yang menarik banget. Mulai dari nasi goreng, martabak, nasi rawon, banyak deh. Sesuai sama judul "...dan Lidahnya". Kuliner memang jadi pembungkus film ini, walau garis besar ceritanya bukan tentang itu.


Dua film yang berhasil aku selesaikan di Netflix. Lainnya masih belum selesai. Ada Food Wars, Kakegurui, Sonic Boom, Saint Seiya: Knight of The Zodiac, 18 Again, Too Hot To Handle, Never Have I Ever. Entah kapan aku bakal lanjut nonton. Too Hot To Handle memang sudah lama aku tonton yang belum juga selesai sampai sekarang. Lainnya aku tonton di masa isoman kemarin. 18 Again tadinya aku mau nikmatin di iQIYI gara-gara ada iklannya di Youtube. Ini juga alasan aku subscribe iQIYI. Aku cari-cari, kok 18 Again enggak ada? Aku masih belum tahu judulnya. Cuma ngandelin posternya yang terpampang. Enggak aku temukan sampai sekarang di iQIYI. Aku cari di Google, eh... ada di Netflix. Jadilah aku nonton di Netflix. Malah aku nonton Digimon Adventure di iQIYI. Sempat nonton Sailor Moon juga, tapi karena serial yang pertama, aku masih biasa aja. Aku lebih antusias sama Sailor Moon Super S.


"Teman" di Disney Plus ada Dumbo. Film yang juga waktu itu pengeeen... banget aku tonton di bioskop, tapi sayangnya skip. Aku lupa kenapa aku melewatkan film ini. Aku tonton di Disney Plus dengan dubbing Bahasa Indonesia. Sengaja aku pilih dubbing ini karena... suka aja. Menceritakan tentang Dumbo, gajah yang bisa terbang dan menjadi bagian dari sirkus, yang berjuang bertemu kembali dengan ibunya. Aku juga nonton Finding Dory. Film yang bikin aku gemas karena Dory yang sangat pelupa. Cerita bisa berputar-putar dan bikin aku gemas, tapi bagus filmnya. Aku jadi ngebayangin pas film ini rilis. Bioskop yang ramai. Ah, aku jadi kangen. Gara-gara nonton film Dumbo, aku jadi penasaran sama versi animasinya yang masuk kategori Disney Classic. Aku penasaran jalan ceritanya sama apa enggak. Aku belum nonton sampai selesai, bahkan baru nonton di awal. Entah kenapa buffering mulu. Jadi belum lanjut aku tonton. Duck Tales, salah satu Disney Classic, juga sempat aku tonton, tapi, lagi-lagi, buffering mulu. Enggak tahu kenapa. Nonton Dumbo sama Finding Dory padahal lancar-lancar aja. Apa karena film dan serial lama?


Selain Netflix dan Disney Plus, aku subscribe Goplay, tergiur karena jadi benefit pake Go Food mulu, satu-satunya aksesku buat beli makan. Harga subscribe jadi murah banget, 10K. Sayangnya, setelah aku subscribe butuh loading dulu, aku jadi subscribe Goplay dua kali. Di sini aku nonton Gossip Girl Indonesia yang pemainnya cakep-cakep. Belum selesai aku tonton. Baru dua apa tiga episode gitu. Alasan lain subscribe Goplay karena pengen nonton Valkyrie48. Penasaran! Aku pikir formatnya dibikin per episode gitu yang bisa ditonton kapan pun, tinggal pilih episodenya. Ternyata live streaming. Ada beberapa episode yang jadi pilihan buat ditonton, tapi enggak lengkap dan cuma segitu doang. JKT48 ada konten berjudul "Gemesh" di Goplay, tapi yang bikin aku tertarik banget memang kontennya Valkyrie48.


Aku nonton satu film indie di Goplay, judulnya Ani dan Waktu yang Mundur. Dua kali aku nonton, dua kali belum kelar. Yang pertama, aku ketiduran. Yang kedua, aku ngantuk. Jadilah belum selesai aku tonton. Koleksi film di Goplay enggak sebanyak itu. Terbatas banget malah. Oh iya, aku juga nonton film Cokelat Stroberi, film yang rilis tahun 2005-an. Nostalgia juga sama film ini karena pernak-pernik di tahun 2005-an. Antara 2005 sampai 2007. Aku kelar nonton film yang ada cerita gaynya ini.


iQIYI aku subscribe karena 18 Again yang waktu itu aku belum tahu judulnya. Selain Digimon Adventure, aku enggak nonton yang lain. Banyak pilihan malah jadi enggak antusias. Kayaknya cukup bulan pertama aku langganan iQIYI. WeTV aku subscribe karena Imperfect The Series. Iklannya sering banget muncul di Youtube. Kelihatannya serial yang kocak dan memang betul demikian. Kocak banget. Aku belum selesai nonton serial ini. Berhenti di episode yang ada Tik Tok. Merasa enggak sekocak episode lain aja di episode ini.


Aku juga nonton series yang dibintangi Prilly Latuconsina. Iklannya, lagi-lagi, ada di Youtube. Penasaran banget sama potongan adegan Prilly bikin nasi goreng teri, tapi karena enggak ada ikan teri, jadinya nasi goreng garam. Yang penting asin. Aku belum selesai nonton. Bahkan episode nasi goreng teri belum aku tonton juga. Judulnya I Love You Silly.


Mereka inilah yang jadi temanku dalam menjalani masa isoman. Oh iya, aku hampir lupa. Aku juga nonton Words Bubble Up Like Soda Pop. Film anime Netflix yang nuansanya beda banget. Film ini akan mengingatkanku sama masa isoman. Film yang menceritakan, gimana rasanya kata-kata suka keluar kayak gelembung-gelembung soda pop. Terus berbuih tanpa henti. Fokus cerita enggak cuma tentang ini, tapi ada juga perjuangan mencari piringan hitam yang hilang. Piringan hitam penuh kenangan milik seorang pria tua.


Dukungan dari teman-teman Rakosa FM dan Widoro juga aku dapatkan. Teman-teman Rakosa ngirimin aku makanan. Banyak banget. Untuk urusan logistik, alhamdulillah sangat terbantu. Dukungan lain, tentu saja datang dari film dan serial berbagai platform streaming yang jadi bagian cerita dari masa isomanku.


Terima kasih sudah menjadi teman.


(Jogja, 1 Agustus 2021)

MUNGKIN NANTI ADA SAATNYA

Bisa jadi ada benarnya. Kita hanya menunggu giliran. Na'udzubillah... jangan sampai terjadi beneran, tapi pernah terpikir begitu enggak? Kita menghadapi pandemi sudah setahun lebih. Dua tahun bahkan. Kebiasaan baru yang sekarang jadi kewajiban. Rasanya insecure banget aktivitas di luar enggak pakai masker. Yah... aku juga tahu, ada beberapa orang yang masa bodoh tentang ini.


Menjaga, berhati-hati, tentu kita lakukan di masa pandemi. Ibarat tupai yang pandai melompat, suatu saat pasti jatuh juga. Itulah yang terjadi padaku. Hari ke-13 di bulan Juli jadi hari pertama aku mengenal kata "isolasi mandiri". Sebelumnya, lebih tepatnya Jumat, aku mulai merasa ada gejala batuk. Tenggorokan rasanya agak gatal. Sabtu, aku batuk. Segera aku beli obat batuk di minimarket seberang jalan itu. Berharap batuk segera hilang. Minggu, aku mulai merasa indera penciumanku enggak sensitif. Aku masih berpikir positif. Enggak, bukan, bukan itu. Belum sepenuhnya penciumanku hilang, tapi beberapa aroma harus benar-benar aku cium banget. Senin, indera perasaku yang enggak sensitif. Sate ayam, nasi goreng, kwetiau, kenapa enggak seenak biasanya? Ditambah lagi rasanya aku capek... banget. Waktu siaran, pengen aku cepetin dan langsung rebahan. Selasa pagi, 13 Juli, aku baca-baca di internet. Salah satu tanda positif Covid adalah gampang merasa lelah. Deg! Aku juga ngerasain.


Sejak hari itu, setelah aku lapor ke Puskesmas Depok 3, aku mengatakan selamat datang buat isolasi mandiri. Empat belas hari aku di kamar aja. Semua aktivitas di luar otomatis berhenti. Dunia luar untuk sementara tertutup bagiku. Aku bersyukur bisa isoman di kost. Teman sebelahku juga bernasib sama denganku. Kami isoman bersama. Kamar di lantai atas dikhususkan buat isoman. Satu penghuni pindah ke kamar di lantai bawah.


Hari pertama isoman, aku masih baik-baik saja. Anggap yang aku lakukan adalah liburan. Aku bisa nonton film sepuasnya di Netflix dan Disney Plus. Aku bisa pesan makanan enak sesukaku. Katanya, saat isoman harus banyak makan enak. Nyatanya, aku justru merasa ditampar sama itu semua. Hari kedua, entah ketiga, atau keempat, dan seterusnya, aku merasa enggak baik-baik saja. Jalan ke toilet membuatku ngos-ngosan. Mandi membuatku ngos-ngosan. Bersyukurnya, aku enggak ada gejala berat. Alhamdulillah, terima kasih Ya Allah, Engkau melindungiku. Gejala yang aku rasain, ngos-ngosan saat bergerak, jalan ke toilet, jalan ngambil Go Food pakai ember yang dikasih tali, mandi. Gejala kedua, batuk dan yang ketiga demam. Alhamdulillah bukan demam tinggi. Puskesmas Depok 3, melalui Bu Ella, mengirim obat: vitamin C, obat batuk, obat nyeri/demam.


Aku yang susah nelen pil, harus berjuang tanpa digerus. Aku mencobanya. Ada kapsul yang harus aku telan. Enggak mungkin digerus. Hari pertama, kedua, mungkin ketiga, aku masih bisa nelen obat kayak orang-orang, walau aku butuh usaha lebih. Aku harus kumur-kumur sampai obatnya pelan-pelan larut dan tertelan. Ini bukan cara minum obat yang menyenangkan. Entah gara-gara minum obat pakai cara ini apa bukan, di hari ke sekian, saat tengah hari, aku merasakan sesuatu yang berbeda. Keringat mengucur deras. Aku seperti demam. Pikiranku kacau. Semua yang aku dengar terasa serba cepat. Aku takut. Aku telepon Mamah. Aku minta ditenangkan. Pelan... berhasil.


Rasa aneh ini bukan cuma hari itu aku rasakan, tapi di satu subuh, aku merasakannya lagi. Pikiranku kacau kayak lagi demam. Semuanya terdengar begitu cepat. Keringat enggak berhenti mengalir. Aku telepon Mamah. Sama kayak tengah hari itu, pelan aku berhasil tenang. Puncaknya, alhamdulillah setelah ini aku enggak ngerasain lagi, saat tengah malam, pikiran kacau ala demam aku rasain lagi. Aku telepon Mamah lewat Aya. Enggak ada jawaban. Tengah malam. Aku memaklumi. Pikiran kacau semakin menguasaiku. Semua terasa serba cepat membuatku panik dan... takut. Apa yang harus aku lakukan? Aku ambil Al Qur'an. Aku peluk. Aku minta tolong sama Allah. Apa yang terjadi denganku? Aku buka lembaran Al Qur'an dan membacanya. Ketenangan mulai aku rasakan. Aku bernafas lega. Setelah membaca satu lembar ayat, aku kembali tenang.


Banyak yang aku rasakan selama 14 hari isoman. Tidur enggak nyenyak, makan enggak enak, padahal harus banyak makan, dan sederet rasa yang membuatku merasa enggak nyaman. Aku masih beruntung enggak ada gejala berat. Hari demi hari aku lewati. Film-film di Netflix, Disney Plus, iQIYI, WeTV, Goplay, jadi teman isomanku. Demi mengisi hari, aku tambah langganan streaming.


Hari ini aku bersyukur. Empat belas hari sudah aku jalani. Masa isolasi mandiri sudah selesai. Gejala yang sebelumnya aku rasakan sudah hilang. Aku merasa belum 100% tapi kabar baiknya, kondisiku sekarang aman buat kembali beraktivitas. Aku sudah bisa keluar rumah. Aku sudah kembali bersiaran. Aku sangat bersyukur bisa melewati semuanya, dengan cinta kasih Allah. Aku berharap dan berdoa, jangan sampai rasa enggak enak itu kembali aku rasakan. Jangan. Na'udzubillah...


Tetap jaga diri. Tetap kuatkan protokol kesehatan. Pakai maskermu. Pakai masker kita.


(Jogja, 31 Juli 2021)

IZINKAN UNTUK BERTANYA KAPAN

Kata "kapan" bisa jadi sangat sensitif buat yang belum mencapai sesuatu. Banyak "kapan" yang selalu ditanyakan, bahkan terlalu banyak yang enggak perlu sebenarnya. Enggak ada yang salah dengan kata "kapan". Kalo emang perlu dijawab, jawab aja sesantai dan sesimpel mungkin.


"Kapan" akan selalu ada di mana pun. Kamu mungkin sudah paham, kapan kata "kapan" ini akan muncul. Bisa jadi emang sangat menyebalkan. Wajar kok kalo kamu merasa sebal. Enggak jarang kata "kapan" itu emang keluar di waktu yang enggak tepat.


"Kapan" bisa jadi pengingat. Walau ada yang bilang, kita enggak ada hak menanyakan "kapan" ke orang lain, tapi selama pertanyaan ini muncul dengan porsi yang tepat, justru bisa jadi pengingat. "Kapan" yang berlebihan ini justru sering banget dikeluarkan. Mempertanyakan sekaligus menganggap sebelah mata usaha seseorang. Sekarang belum mencapai sesuatu, bukan karena enggak ada usaha. Buat yang sudah meraihnya, tugas selanjutnya adalah mengunci kata-kata yang akan mengikuti kata "kapan". Cukup sampai di sini aja. Enggak perlu menambahkan dengan ini dan itu seolah yang belum mendapatkan karena kurang berusaha.


"Kapan" akan terus mengikuti kehidupan kita. "Kapan" yang menyebalkan juga pasti mengikuti di belakangnya. Enggak perlu menyalahkan. Biar waktu yang akan menunjukkan.


(Jogja, 11 April 2021)

KAKAK

Jadi seorang kakak buat dua adik, harusnya jadi tanggung jawab yang besar. Harus dipikirin banget gimana bisa memenuhi kebutuhan adik-adik. Harus jadi sosok kakak yang bisa diandalkan. Aku bukan enggak masuk kriteria ini, tapi caraku bersikap sebagai seorang kakak terasa berbeda.


Aku pernah baca tweet tentang seorang kakak yang sangat bisa diandalkan oleh adiknya. Aku emang hanya melihat mereka dari luar, tapi membandingkanku dengan dia, perbedaannya sangat terasa. Kedewasaan benar-benar memainkan peranan penting di sini. Bukan cuma tentang usia, tapi juga pola pikir. Aku masih belajar banget buat menjadi dewasa dalam arti yang sebenarnya.


Aku pernah ada momen meyakinkan adikku buat lebih percaya keluarga daripada omongan orang lain. Waktu itu ada satu masalah keluarga yang menuntutku untuk bersikap dewasa. Sempat aku berpikir ini bukan urusanku, tapi aku tahu enggak boleh egois. Kalo aku terus-terusan berlari, masalah yang ada enggak akan pernah selesai.


Waktu itu aku merasa jadi sosok kakak yang bersikap dewasa. Aku sama adik jarang banget ngobrol dari hati ke hati, tapi waktu itu, mungkin buat pertama kali, aku dan adik benar-benar bicara sedalam itu. Sisi positif dari masalah yang sedang kami hadapi.


Dulu aku pengen punya kakak. Aku melihat adik-adikku sebagai individu sama kayak aku ngelihat teman seumuran. Bukan pandangan penuh tanggung jawab seorang kakak yang harus ini dan itu buat adiknya. Sampai sekarang aku juga masih merasakannya. Bukan, bukan aku enggak bertanggung jawab, tapi sosok ideal seorang kakak dalam diriku masih mengintip malu-malu. Atau emang beginilah caraku bersikap sebagai kakak?


Jadi seorang kakak juga belajar jadi psikolog. Belajar memahami apa yang dirasakan adik. Belajar mengerti dari setiap permasalahannya. Kalo seorang kakak enggak peduli, rasanya jahat sekali. Aku juga berusaha memahami adik-adikku, yang lagi ada di masa remaja. Aku beneran kayak psikolog yang harus peka dengan situasi dan kondisi. Harus paham dengan perasaan yang enggak terkatakan. Apalagi dua adikku punya sifat yang berbeda. Aku harus tahu cara menghadapi dua sifat mereka. Belajar sendiri. Meraba-raba memahami.


Aku bisa berkaca sama pengalamanku yang pernah menjadi remaja, walau rasa ini pastilah enggak sempurna sama. Seenggaknya aku masih tahu jalan apa yang harus aku ambil.


(Jogja, 9 April 2021)

MENABUNG ITU MUDAH BUKAN?

Mamah berkali-kali ngingetin aku buat menabung. Apalagi aku sekarang bukan lagi anak remaja. Sudah seharusnya emang punya tabungan. Lebih bagus lagi, sejak anak remaja udah rajin menabung dan di usiaku yang sekarang, masih muda juga kok, tinggal memetik hasilnya.


Aku udah jadi penyiar radio sejak 2015. Kalo aku sejak pertama kali jadi penyiar radio rajin menabung tiap gajian, sekarang nominalnya sangat-sangat lumayan. Enggak perlu lagi pinjam-pinjam uang kalo kehabisan uang saku sebelum gajian. Asal, tabungannya ini enggak aku pake sampai sekarang. Tetap utuh tersimpan di rekening. Aku ngebayangin nominalnya udah merasa luar biasa.


Keinginan buat menabung jelas ada. Setiap orang pasti kalo ditanya begini akan menjawab sama. Udah mengalokasikan tabungan tiap gajian, tapi di tengah jalan dipake lagi. Bukan buat kebutuhan yang maha mendesak, tapi kebutuhan yang sebenarnya bisa diatur-atur biar enggak menyusahkan diri-sendiri. Salut banget sama orang yang komitmen buat nabung.


Aku pernah baca, ada orang Jepang yang selalu menabung dan enggak pernah dipake selama 16 tahun. Pengeluaran tiap hari enggak lebih dari Rp20 ribu. Makan sehari-hari selalu pake udon. Setelah menabung sekian lama itu, di usia 30-an tahun, dia pensiun dan tiap bulan dapat penghasilan Rp55 jutaan dari penyewaan properti miliknya. Nabung selama 16 tahun, pengeluaran per harinya enggak lebih dari Rp20 ribu, bisa beli tiga apartemen. Dibilang ekstrim, iya. Dibilang bersakit-sakit dahulu, bersenang-senang kemudian, juga iya. Dia juga enggak pernah beli baju baru dan lebih memilih baju dari sumbangan orang.


Kalo mau menerapkan cara kayak gini, gimana? Tiap orang punya caranya sendiri, tapi buatku enggak perlu seekstrim itu juga. Bukannya enggak mungkin, tapi berasa kayak menyiksa diri-sendiri. Nantinya emang akan ada hasil yang dipetik, tapi waktu juga enggak akan pernah kembali. Enggak akan pernah bisa dibeli berapapun uang yang kamu punya. Oke, sekarang setiap bulan punya pendapatan Rp55 juta, tapi waktu yang udah dilewatkan dengan hemat yang terlalu ekstrim itu enggak akan bisa kembali lagi. Bisa aja ada momen saat itu dia pengen sesuatu, tapi harus merelakan demi komitmen pengeluaran sehari enggak lebih dari Rp20 ribu. Menabung tapi tetap menikmati hidup. Bisa? Bisa aja. Gimana caranya?


Setiap gajian, selalu sisihkan 20% buat ditabung. Komitmen setiap bulan. Jangan bulan ini 20%, bulan depannya 10%, terus bulan depannya 5%. Harus konsisten. Selanjutnya 30% buat gaya hidup, kebutuhan sehari-hari ya, bukan sekedar gaya-gayaan, dan 50% buat keperluan lain, misal bayar tagihan. 30% buat kebutuhan sehari-hari itu diatur banget biar enggak melebihi budget yang ada. Syukur-syukur kalo ada sisanya yang bisa buat tambahan 30% di bulan berikutnya. Kenapa enggak ditabung? Cukup yang 20% aja konsisten tiap bulan. Beneran konsisten ya. Gampang bukan?


Yah... berteori emang enggak sesusah prakteknya. Bisa jadi teori yang kita pelajari, berbeda dari yang kita lakukan. Bukan berarti teori itu enggak penting, tapi dengan teori, kita jadi tahu langkah apa yang harus dilakukan. Tahu ke mana harus melangkah biar enggak salah arah. Perkara nanti teori enggak 100% sejalan sama prakteknya, hadapi aja. Asal masih bisa menjalankan komitmen, khususnya dalam menabung.


Bentuk tabungannya bukan cuma rekening, tapi bisa juga investasi, misal emas. Tiap tahun permintaan emang enggak pernah turun. Harganya cenderung bertahan di atas, enggak yang meluncur bebas dari lantai 20.


Ayo, mau mulai kapan menabung?


(Jogja, 8 April 2021)

MERANGKAI MIMPI

Ngelihat pencapaianku sekarang, ada rasa enggak nyangka udah sejauh ini. Aku pernah punya mimpi jadi penyiar radio. Mimpi yang aku rangkai sejak kenal Rasida FM, radio kampusku. Sebelumnya aku enggak ada keinginan bahkan mimpi jadi penyiar radio. Rasida FM yang membuatku punya mimpi baru. Aku masih ingat waktu SMA aku hanya ingin jadi penulis. Ingin jadi jurnalis. Ini juga alasan terbesarku memilih jurusan di kampus.

Sebelum aku jadi penyiar radio, lumayan sering, hampir setiap hari, pulang ke kost malam-malam. Menuju tengah malam. Waktu itu aku pernah bilang sama diri-sendiri, "Semoga nanti aku pulang malam karena siaran." Semesta mendukung. 2015 adalah lembar pertama ceritaku sebagai penyiar radio.

Perjuangan buat bisa siaran, bukan di radio kampus, lumayan juga. Semangatku waktu itu aku akuin benar-benar keren. Aku lupa-lupa ingat radio pertama yang aku coba peruntungannya. Kayaknya Eltira FM, yang sekarang jadi Smart FM. Pernah juga ikut seleksi di Radio Q, Unisi FM, Star Jogja, Geronimo juga sebagai salah dua the best radio in town, menurut versiku. Waktu di Eltira FM, kayaknya aku enggak dipanggil. Cuma sampai sebatas masukin berkas. Nah, di Radio Q sama Unisi FM, aku sempat ikut tahap selanjutnya. Oh iya, satu lagi yang aku lupa sebutin, i Radio. Sama, aku ikut tahap selanjutnya juga di sini. Kayaknya Retjobuntung juga pernah aku coba, tapi lagi-lagi cuma sampai di tahap masukin berkas.

Waktu seleksi di Unisi FM, aku dan beberapa kandidat lain lagi ada di tahap ujian tulis. Jawabanku waktu itu terlalu enggak realistis. Aku bilang, dengerin Unisi terus setiap hari. Iya, aku emang dengerin, mulai dari Morning Sunrise bareng Zamal Faris dan Rima Rimbow sampe program setelahnya, yang aku lupa namanya, bareng Alifah Farhana. Dengerin karena ada maunya. Dengerin buat belajar gimana style siaran Unisi FM. Aku gagal di tahap ini. Pindah ke Radio Q, aku ikutan tahap rekaman suara. Kalo enggak salah belum nyampe ujian tulis. Entah ada apa enggak, tapi aku lagi-lagi gagal di sini. Seleksi di i Radio aku ikutan ujian tulis sama wawancara. Masuk sesi yang ini, aku ada di satu ruangan. Udah ada cewek, bukan yang muda banget, bukan juga yang ibu-ibu banget. Pertanyaannya lebih ke lifestyle. Sempat juga aku diminta nyebutin merk mobil yang cara baca dan tulisannya beda. Di sini sebenarnya kunci dari wawancaranya. Akan ketahuan seberapa jauh pengetahuan umum yang aku punya.

Setelah melewati berbagai seleksi yang semuanya gagal, Februari 2015, Mas Ari, kakak tingkat di kampus dan juga senior di Rasida FM, ngasih tau aku ada radio yang lagi nyari penyiar. Namanya Radio Widoro di Malioboro. Belum pernah aku dengar namanya. Aku tetap coba aja karena keinginan terbesarku, mimpiku yang paling bikin aku semangat adalah siaran radio. Aku datang ke Radio Widoro dengan perasaan asing. Aku baru tahu ada radio namanya Widoro. Enggak sefamilier Geronimo, Swaragama, Unisi, dan radio-radio yang selama ini jadi favoritku. Jalanku di sini mulai terbuka. Setelah melewati dua tahapan, aku resmi siaran di Radio Widoro. November 2015, aku juga siaran di Rakosa FM. Sampai sekarang.

Ada panjang ceritanya. Tentang perjuangan meraih mimpiku. Tentang perasaan waktu itu. Ada banyak yang pengen aku ceritakan.

(Jogja, 7 April 2021)

KEMBALI KE RUMAH

Lega. Ini yang aku rasakan sekarang. Lega bisa kembali ke rumah. Lega bisa cerita-cerita lagi di sini. Terakhir aku datang di 2019. Tepat saat aku ulang tahun. 2020 bahkan aku enggak ke sini sama sekali. Padahal di tahun itu ada banyak cerita yang bisa dibagikan. Tahun yang mengubah hidup semua orang. Tahun yang mengubah kebiasaan kita.


Sekarang aku kembali. Berawal dari geser-geser status Facebook yang udah lamaaa... banget aku tinggalin. Eh, aku pernah ya promoin blog di Facebook? Iya, aku ingat pernah posting pake hashtag "hey my blog" tapi aku benar-benar lupa sama status ini. Terakhir aku promoin blog di Facebook pake gambar. Dan cuma judul blognya. Setelah aku ingat pernah promoin blog sendiri, semenarik itu, aku sampai enggak nyangka pernah melakukannya, aku jadi termotivasi ingin kembali ke sini. Kembali bercerita.


Aku baca-baca lagi ceritaku di 2017 itu. Lagi-lagi aku enggak nyangka pernah cerita dengan format... bukan sekedar curhatan. Ada info yang aku berikan. Aku cantumkan sumbernya. Ceritaku bukan sekedar gundah gulana isi hati, tapi ada isi yang bisa aku bagi-bagi. Lagi, aku hanya ingat di 2018 pernah komitmen satu hari satu cerita. Demi komitmen ini, aku pernah pinjam komputer di Perpustakaan Kota Jogja. Waktu itu aku harus cerita lewat komputer. Pokoknya harus di komputer. Pernah juga nulis ceritanya di warnet. Ada beberapa kali aku ke warnet demi memperjuangkan komitmen satu hari satu cerita. Sekarang salah satu, eh... bukan tapi salah dua, warnetnya udah enggak ada.


Gara-gara tercambuk motivasi dari cerita-cerita di sini di 2017, aku pengen komitmen lagi. Aku harus kembali. Mungkin satu hari satu cerita lagi. Apapun itu, aku ingin kembali. Aku ingin pulang. Baru sampai di pintu masuk, aku lupa kuncinya. Aku lupa emailnya. Ya Tuhan... apa email blogku? Aku coba dua email, gagal. Aku coba satu email lagi, tapi passwordnya salah terus. Aku hampir menyerah. Hampir merelakan. Enggak, aku enggak boleh nyerah. Udah banyak ceritaku di sini. Aku enggak mau ninggalin dan ngelupain gitu aja. Aku bisa bikin blog baru, tapi ceritanya jelas beda. Aku ingin tetap di sini. Banyak bercerita lagi juga di sini.


Sekarang aku di sini. Makasih, Google, udah kasih tahu aku cara biar bisa kembali ke sini.


Selamat datang kembali di rumah.


(Jogja, 6 April 2021)