MENJADI KEPOMPONG

Nggak melihat dunia luar sekian hari. Nggak bersentuhan dengan gadget. Aku merasakannya dengan sabar iya. Ada nggak sabar-sabarnya juga tapi dikuat-kuatkan hati. Kalo cuma nggak sabar mungkin malah jadi makin lama proses yang aku jalani. Berasa kayak kepompong. Ulat menjadi kepompong untuk bermetamorfosis menjadi kupu-kupu. Aku menjadi "kempompong" untuk apa? Untuk jadi orang yang lebih baik lagi. Menjadi versi terbaik diriku yang aku bisa. Klise ya? Nggak.

Semua ini dimulai suatu siang, sehari sebelum Lebaran. Beberapa hari sebelumnya aku udah merasa not feeling well. Buat makan bahkan minum ada rasa pahit-pahitnya. Tipis tapi aku tahu sedang nggak baik-baik saja. Siang itu aku ngerasa lemaaas... banget. Benar-benar beda banget kondisi badannya.

Perpaduan demam sepertinya. Aku merasa pusing tapi bukan sakit kepala yang bikin nyut-nyutan, rasanya enek gimana, sangat-sangat nggak enak. Aku masih tetap puasa waktu itu. Nggak ada niatan ngebatalin. Sekitar jam 2 siang aku masih ingat betapa nggak enaknya kondisi badanku.

Malam sebelumnya juga sudah aku rasain. Pas lagi siaran pula. Aku banyak tidur. Dalam arti tidur karena kondisi badan yang nggak baik. Bukan karena ngantuk. Berantakan sekali. Siangnya ditambah rasa enek nggak jelas.

Setelah itu aku nggak tahu yang terjadi. Orang-orang baik berdatangan. Terima kasih, Ibu Kost, Bapak Kost, Mas Deni, Mas Bayu, Mas Krishna, Mas Tris, kakaknya Ibu, dan orang-orang baik yang memberikan pertolongan pertama padaku. Ambulans ada tiga di depan kost, kata Mas Tris. Bapak, Mas Deni, iya Mas Deni dari Star FM, Mas Bayu, kakaknya Ibu, orang-orang di gereja, berhati-hati memapahku dari lantai dua menuju ambulans.

Mas Tris bilang, aku sempat dibawa ke RS Akademi UGM tapi bed penuh. Ibu pun berinisiatif membawaku ke RS Sardjito. Aku pingsan tapi masih bisa berontak. Kalo Ibu nggak ngecek aku di kamar, Ya Allah... apa yang akan terjadi padaku? Terima kasih, Ya Allah, aku dipertemukan, didekatkan, dikelilingi orang-orang baik.

Sore itu aku sepertinya udah dalam kondisi pingsan. Lampu depan kamarku belum nyala jadi semacam tanda untuk penyelamatanku. Sudah waktunya berbuka puasa. Ibu meminta Bapak mengecek aku di kamar. Nggak biasanya aku begini, kata Ibu. Terungkaplah apa yang terjadi padaku. Entah udah berapa lama. Kepanikan itu pun dimulai. Bapak mencoba menghubungi seseorang di hapeku. Ada grup keluarga. Waktu itu katanya kakaknya Ibu yang ngechat di grup keluargaku tentang kondisiku yang tumbang. Sepertinya pas udah di RS. Lebih bikin panik lagi waktu Bapak berusaha mencari bantuan di hapeku. Mencari di chat/kontak yang bisa dihubungi untuk membantu. Mas Deni salah satunya. Mas Bayu. Mas Krishna. Mas Tris. Orang-orang baik berdatangan. Ambulans juga datang. Bahkan sampai tiga.

Saat aku sadar, mataku terbuka di sebuah ruangan pesakitan. Selama 9 hari aku bed rest di ruangan ini. Ruangan HCU apalah namanya. Awal-awal aku dirawat rasanya seperti linglung. Mau ngomong terbata-bata. Seperti macet kata-kata. Mas Krishna datang menjenguk bahkan sempat nggak aku kenali. Aku nggak banyak ngomong karena kata-kata seolah tersumbat. Aku sadar betul ini.

Teman-teman di Star datang menjenguk. Mbak Iham, Mas Tris, Geng Cemara walau nggak bisa masuk, tetangga di rumah: Bibi Roh, Yayu Las, Bibi Gotri, dan yang lainnya. Aku bersyukur untuk ini. Banyak orang baik di dekatku. Alhamdulillah.

Selama di Ruang HCU, aku hanya melihat pemandangan di ruangan ini saja. Aku sempat merasa sangat nggak enak di suatu malam, entah malam apa siang. Sensasi seperti demam. Kayak ada halusinasi yang bikin tidur sama sekali nggak nyenyak. Aku juga ingat merasakan apa ya bilangnya? Aku teriak tapi bukan yang 'aaa'. Mekeh-mekeh, bahasaku. Efek dari entahlah aku nggak tahu lagi demam apa nggak di momen itu.

Selama di Ruang HCU pula aku menahan pup. Masih bisa tertahan. Sekitar 9 hari aku nggak mengeluarkan pup. Pip iya. Udah dipasang kateter. Bukan karena nggak bisa pup tapi aku nggak bisa bergerak bebas. Infus bahkan tangan dan kakiku sempat diikat karena kata perawat, aku sempat nyopot-nyopotin alat di badanku.

Pas aku bilang pengen pup, perawat bilang pup aja langsung. Udah pake pampers. Mamah juga bilang begitu. Tentu saja aku nggak bisa. Sakit ini membuatku jadi merasakan pakai pampers dewasa. Alat-alat yang dipake di tubuhku nggak mengganggu kecuali kateter. Satu sisi pip bisa nggak ke mana-mana tapi nggak bisa sebebas itu. Apalagi pas kebelet pipnya banget. Nggak enak! Pake kateter itu nggak enak banget. Membantu tapi nggak enak.

Intensif perawatan di Ruang HCU benar-benar dikerjakan dengan serius. Makanan datang beberapa kali. Aku merasa kayak bukan cuma di jam makan tapi sepertinya emang jam makan deh. Aku di sana rasanya berasa nggak tau waktu. Aku kira pagi, subuh, ternyata sore. Jam dindingnya juga kadang bikin aku bingung.
 
Nggak ada yang bisa dilihat kecuali yang ada di ruangan. Mereka yang sakit. Alat-alat penunjang kesembuhan, pemantau detak jantung dan semacamnya. Aku ingat ada pasien namanya Rafli. Namanya mengingatkanku sama serial Upin Ipin karena bagiku namanya terdengar Melayu sekali. Rafli kelahiran 2003. Nggak tahu sakit apa. Aku juga nggak kenal. Hanya dengar apa yang dibicarakan perawat dan keluarga pasien, sepertinya.
 
Hari terakhir aku di Ruang HCU, mataku sempat bertemu mata dengan Rafli. Perawat yang ngasih tahu yang mana Rafli. Oooh... dia yang namanya Rafli. Berkumis. Perawakannya khas sekali. Cuma sekali bertatap sekilas, aku meninggalkan Ruang HCU menuju Bangsal Anggrek.
 
Tahu rasanya nggak bisa keluar dari ruangan yang selama 9 hari kita di sana terus tanpa bisa melihat keluar? Aku merasa ada kelegaan bisa lihat dunia luar lagi walau masih di area RS. Ini suasana di luar! Senang bisa lihat orang lalu-lalang. Kendaraan lewat dari kejauhan. Udara segar. Ada rasa senang sendiri saat aku menuju Bangsal Anggrek.
 
Dua hari. Satu hari setengah deng aku di Bangsal Anggrek. Aku bisa melihat area luar lewat jendela walau celah kecil tapi bikin aku nggak kebingungan waktu. Jamnya juga jadi terbaca jelas. Oh, sekarang sore, malam, pagi. Ada di Bangsal Anggrek tentu nggak sendiri. Ada pasien lain yang pulangnya lebih dulu. Bikin aku mengiri. Ada pasien berusia 28 tahun yang terkena auto imun. Bed rest cuma ditemani pacarnya. Itu juga nggak jagain sepanjang waktu karena bekerja. Pasien cowok ini sempat diajak ngobrol sama Mamah.
 
Aku juga sempat dengar dia waktu menelan sakit. Efek dari auto imun. Dokter menyarankan untuk lebih banyak minum nggak cuma air putih tapi air kelapa juga. Pasien lain ada yang jarak pandangnya kabur. Sempat ditanya-tanya sama perawat mengenai daya ingat si pasien. Sekarang hari apa, majuin hari dimulai Selasa, mundurin hari dimulai Rabu.
 
Malam pertama di Bangsal Anggrek aku mengalami entah apa namanya. Perasaan satu menit mengalami ketenangan, satu menit yang lain mengalami acak-kadut. Sepanjang malam aku mengalami rasa ini. Nggak bisa aku jelaskan apa namanya karena aku juga nggak tahu.
 
Paginya aku merasa sangat tenang. Hari itu aku ada pemeriksaan MRI setelah kemarin batal karena aku nggak bisa. Sedekat itu alatnya. Fobia tempat sempit mendadak muncul. Waktu ditanya perawat masalah apa nggak sama tempat sempit, aku bilang nggak karena aku kira celahnya lebih tinggi. Nggak serendah itu sampai mau nempel di mukaku.
 
Hari aku MRI kedua kalinya, yang pertama gagal, aku dibius biar tidur. Benar! Tahu-tahu aku udah MRI. Aku merasa belum masuk ke mesin MRI tapi udah keluar ruangan. Berarti pas masuk tabung alatnya aku udah dibikin tidur.
 
Bisa pulang, bisa merasakan hip-hip hura dunia luar, bisa bergerak bebas, sungguh tak ternilai harganya. Jaga kesehatan karena sangat-sangat penting. Tanpa sehat kita bisa apa? Sehat-sehat terus ya.[]
 
Jogja, 26 April 2024

(MERASA) TERJEBAK

Ada orang yang merasa terjebak dengan pilihannya sendiri. Ada juga yang merasa terjebak dengan dirinya sendiri yang sudah diciptakan Tuhan dengan versi terbaik. Kenapa merasa terjebak? Merasa nggak yakin mungkin. Padahal kalo dilakuin sebaik mungkin nggak bakal ada perasaan sia-sia dan sejenisnya.

Emang sih kadang susah menerima sesuatu yang bisa jadi nggak ada masalah dengan diri kita. Perkara karena nggak yakin jadinya malah merasa yang dilakuin nggak maksimal. Makanya harus merasa 100% dengan apa yang lagi dilakuin. Satu hal yang mungkin nggak segampang itu dilakuin.

Apalagi kalo belum apa-apa udah minder duluan gara-gara pikiran sendiri/omongan orang. Kadang ada omongan orang mengubah apa yang kita yakini 'kan? Kayak jadi goyah dan nggak yakin. Walau omongan orang nggak ada salahnya juga kita dengerin tapi nggak melulu 'kan? Kalo tiap omongan orang kita perhatiin kayaknya bakal susah majunya.

Ada porsinya sendiri. Yuk semangat menjalani apa pun yang terbaik untuk kita. Semoga nggak ada keraguan-raguan lagi ya.

Jogja, 18 April 2024