Langsung ke konten utama

WARNET

Namanya juga desa dan kota. Jelas berbeda. Ada kelebihan, ada kekurangan. Semua yang ada di dunia ini enggak ada yang sempurna. Adanya kelebihan doang, misal. Enggak ada cacat. Mustahil ada yang begitu di dunia ini. Hidup di desa itu enaknya, enggak merasa serba macet. Rasanya tuh tenang. Polusi enggak sebanyak di kota. Hidup berasa lebih sederhana dan enggak ada tuh yang cuek sama sekitar (ada juga yang cuek, tapi enggak banyak). Enaknya hidup di kota, bisa dibilang semuanya ada. Mau sesuatu, enggak perlu jauh-jauh. Beberapa hal (banyak sih) justru sangat dimudahkan dengan akses yang enggak menyulitkan (enggak perlu makan jarak berpuluh kilometer).
Salah satu yang kelihatan sangat berbeda di desa dan kota, warnet. Mulai dari tampilan, pelayanan, fasilitas, sampai penggunanya juga beda. Aku kasih contoh warnet di Jakal KM 5, Jogja dan warnet di Desa Grogol Penatus, Kebumen. Pertama, tampilan. Warnet di desa enggak terlalu bagus tampilan fisiknya. Bukan berarti jelek. Ya.. biasa aja. Besar banget juga enggak, kecil juga enggak. Standarlah. Not bad. Warnet di kota, tampilan fisiknya bagus. Hommy banget. Ber-AC, enggak berasa panas (ya iyalah wong ada AC nyala). Bangunannya luas. Bersih juga. So good.
Kedua, pelayanan. Warnet di kota benar-benar menyambut penggunanya. Ramah ala-ala pegawai minimarket, lengkap sama salam dewi (kata temanku, salam dewi itu salam dengan menangkupkan kedua telapak tangan di depan dada). Warnet di desa enggak perlu petatah-petitih macam itu. Pengguna datang, nanya ada yang kosong apa enggak, udah. Kalo ada yang kosong, langsung masuk bilik, enggak ada yang kosong, ya pergi. Petugas warnet enggak bilang bilik kosong ada di nomor sekian. Cukup menjawab "ada" atau "penuh". Pengguna warnet bakal cari bilik yang kosong sendiri. Enggak jarang juga petugas warnet justru sibuk sama komputernya (jangan harap ada salam dewi). Menurutku ini hebatnya warnet di desa. Walau pelayanan terkesan apa adanya dan enggak petatah-petitih ala teller bank, tapi rasanya biasa aja tuh. Coba pelayanan kayak gini ada di warnet kota. Bisa jadi cukup sekali datang ke sana.
Next, fasilitas. Komputer-komputer di warnet desa, lumayan juga. Enggak banyak yang pake komputer model tabung. Kebanyakan justru pake komputer LCD. Enggak sebagus komputer LCD di warnet kota, tapi not bad. Seenggaknya komputer di warnet desa enggak bikin KZL. Jumlah komputer juga lebih sedikit di warnet desa (ya.. karena bangunan yang standar itu). Koleksi film juga enggak ada. Enggak bisa copy-copy film dengan happy. Download? Yah.. salah satu cara yang bisa dilakukan (tapi koneksi juga enggak bisa dibilang kenceng kalo buat download begitu). Kalo pengen ngemil, dua warnet di dua tempat berbeda ini sama-sama menyediakan cemilan, tapi warnet di desa enggak nyediain macam-macam. Kalo mau ngemil yang enggak disediain warnet di desa, coba bilang ke petugasnya. Kalo dibeliin sama petugas, berarti tempat beli cemilan enggak jauh. Masih bisa dijangkau dengan berjalan sekian menit. Contoh real-nya, pernah aku rasain sendiri. Waktu itu aku pengen minuman dingin, tapi yang ada di rak (bukan pendingin ya) cuma Teh Gelas. Aku tanya minuman lain ada apa enggak, Mas Petugas bilang, ada es kopi, es Milo. Pesan minuman enggak ter-display di warnet, ternyata bisa. Asal.. ya itu tadi, jaraknya masih terjangkau.
Nah.. ngomongin pengguna warnet, karena beda wilayah dan kebiasaan, pengguna juga sangat berbeda. Enggak ada tuh anak SD, SMP, datang rame-rame bergerombol di warnet kota. Kayak begini tuh biasanya di warung game online, bukan (sekedar) warnet. Kebanyakan pengguna warnet di desa juga memanfaatkan akses internet cuma buat having fun di medsos. Just it. Enggak ada copy-copy film, searching bahan tugas (sebenarnya ada juga yang kayak gini, tapi enggak banyak), bahkan pacaran di warnet. Apa? Pacaran di warnet? Yap! Aku pernah lihat beberapa pengguna warnet di kota, justru asyik berpacaran. Entah si cewek asyik bersandar di bahu si cowok atau lebih dari itu, bilik yang tinggi dan pintu yang tertutup, bikin privacy mereka lebih terjaga. Asal enggak bikin huru-hara, mau pacaran kek, peluk-pelukan, bahkan bikin anak (ups!), kecil kemungkinan ada orang lain yang tau (kecuali kalo ada kamera yang diam-diam mencyduk mereka). Jarang banget lihat (apa belum pernah ya?) cowok-cewek mesra-mesraan di dalam bilik warnet desa. Bukan tempat yang nyaman buat begitu-begitu, mungkin.
Mana yang lebih baik? Bukan cari penilaian baik dan buruk kok, tapi cuma sharing perbedaan warnet di desa dan kota, based on a true story.
Sharing ini bukan sok-sok nyinyir sama warnet di desa karena secara fasilitas, pelayanan, semuanya (dianggap) so last year ya.
Jogja, 26.10.2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta...

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato...

DI BELAKANG (ADA) ANGKA DUA

Bisa dibilang aku mampir ke sini cuma di momen seperti hari ini. 16 Agustus. Ada momen spesial apa sih di 16 Agustus? Kata Sal Priadi, "...serta mulia, panjang umurnya." Hari lahir. Tahun ini aku melewati hari lahir ke-32. Wow! Ti-ga pu-luh du-a. Sama-sama di belakang ada angka dua tapi beda rasanya ya waktu hari lahir ke-22 dan hari ini. Waktu 22 tahun aku nggak merasa ada tekanan. Kayak berlalu gitu aja. Aku ingat hari lahir ke-22-ku terjadi setahun setelah KKN di Kulonprogo. Pengingatnya adalah waktu KKN aku pernah ditanya ulang tahun ke berapa. Aku jawab, "Bioskop." Twenty one alias 21. Apakah hari lahir kali ini aku merasa tertekan? Ada rasa yang membuatku khawatir tapi let it flow aja. Nggak mau jadi overthinking . Apa yang terjadi nantinya ya dihadapi dengan riang gembira lengkap dengan gedebak-gedebuk nya. Masa ulang tahun nggak ada apa-apa? Nggak mengharapkan juga sih. Nggak mengharuskan juga tapi kalo ada ya aku nikmati dan berterima kasih. Kode banget ni...