“Ah, paling yang datang orang-orang itu aja. Paling cuma yang
dulu OSIS. Paling cuma ini.. cuma itu..” Hei.. hei.. pesimis banget. Mungkin nyatanya
besok begitu (duh.. semoga jangan) tapi seenggaknya enggak usah bilang “paling
yang dateng cuma” dong. Hargailah panitia yang susah-payah ngadain reuni. Enggak
gampang mengumpulkan pecahan yang terserak. Bisa ngumpul lagi kayak dulu, utuh,
agak susah. Kesibukan sekarang beda-beda, tapi bukan berarti mustahil buat
ngumpul lagi. Asal mau mengagendakan jauh-jauh hari. Biasanya reuni direncanain
emang dari kapan tau ‘kan? Apalagi reuni akbar. Enggak mungkin diadain dadakan
macam tahu bulat yang digoreng dadakan.
Aku excited banget dateng reuni. Entah itu sesama angkatan
atau lintas angkatan, begitu ada waktu buat nostalgia, ya dimanfaatin dong. Jangan
disia-siain. Kangen-kangenan sama teman dari masa lalu, memutar kembali momen
yang dulu pernah dilakuin bareng. Dulu masih anak ingusan, sekarang jadi orang.
Rasanya sedikit enggak percaya lihat perubahan-perubahan yang terjadi. Ada senang,
ada juga rasa enggak percaya. Bukan rasa enggak suka loh. No.. no..
Setiap orang beda-beda menyikapi reuni. Seperti Indonesia
yang bhineka tunggal ika, reaksi orang tentang sesuatu juga berbeda-beda (yang
harapannya tetap jadi satu). Ada yang excited sama kayak aku, ada juga yang
justru menganggap enggak penting. Apa? Reuni dianggap jadi sesuatu yang enggak
penting? Momen ngumpul lagi dengan teman-teman dari masa lalu disia-siakan gitu
aja? Duh.. sayang banget. Sedih juga sama orang yang mengganggap reuni itu
sesuatu yang membuang waktu.
Reuni itu ibarat perekat yang menyatukan kembali
potongan-potongan. Memutus silaturahim bukan sikap yang baik ‘kan? Bahkan dalam
Islam juga dijelaskan tentang memutus silaturahim (yang pastinya enggak
dianjurkan buat dilakukan). Aku bersyukur enggak punya drama yang bikin susah
lupa sama teman-teman lama. Drama.. ya ada, pernahlah, tapi enggak sampai yang
terlalu gimanaaa. Ya drama yang wajar. Namanya juga interaksi, pastilah sometimes ada
drama. Mungkin buat orang yang pernah drama dengan teman lama dan sampai
sekarang enggak bisa melupakan drama itu, reuni dianggap sesuatu yang enggak
perlu. “Buat apa ketemu si A.. Buat apa ketemu si B.. bla bla bla..” Sedrama
apa ya sampai mengakar begitu? Buat orang yang merasakannya sendiri, pasti
bukan sesuatu yang gampang dilupakan. Perasaan manusia itu seperti kertas. Sekali
kita meremasnya, enggak bakal balik lagi kayak semula.
Klise, datang reuni siapa tau ketemu jodoh. Iya, ini klise. Reuni ya
ketemu teman-teman yang jauh. Kalo nanti ada yang berjodoh, ya emang seperti
itu jalannya. Dipertemukan dengan jodoh di pertemuan kesekian setelah sekian
lama. Intinya kangen-kangenan. Buat Generasi 90-an, reuni emang bukan cuma sekedar
kangen-kangenan tapi bisa juga jadi ajang ketemuan sama yang pernah indah di masa
lalu. Bisa juga jadi koneksi buat bisnis. Inilah masa-masanya pertemanan bukan sekedar pertemanan (seenggaknya pertemanan di dunia dewasa seperti itu, walau enggak semuanya begitu).
Datang ke reuni harus siap-siap menghadapi perubahan. Teman yang
dulu pecicilan, sekarang kalem. Teman yang dulu kalem, sekarang berangasan
(dalam arti positif ya). Teman yang dulu kurus, sekarang gendutan. Nah.. ini. Per-ubah-an.
Apa yang harus aku tampilkan saat reuni? Perut atletis dan otot-otot yang
terpahat indah? Ah, halu banget. Lama enggak ketemu pasti bakal pangling, pasti
bakal merasakan perubahannya. “Kamu sekarang ini ya.. Kamu sekarang itu ya..”
Aku pernah nge-skip reuni karena merasa yang datang
orang-orang itu aja. Orang-orang yang dulu ada di luar lingkaranku. Dipikir sekarang,
bodoh sekali sikap waktu itu. Kenapa hanya gegara itu menyia-nyiakan kesempatan
ketemuan dengan teman lama yang entah kapan bisa ketemuan lagi?
Ya.. enggak bisa disalahin juga orang yang menganggap reuni
itu enggak penting. Inget loh harus bhineka tunggal ika. Jangan sampai gegara
hal sepele begini, perbedaan kayak gini, jadi ribut-ribut, memecah persatuan.
Persiapan sebelum reuni? Mandi, pakai outfit terbaik dan
bikin kita nyaman, harus wangi, jangan bau asap dapur, dan jangan berpikir
negatif duluan sebelum dijalanin. Greget juga sama orang yang enggak dateng reuni
bukan karena enggak ada waktu, tapi karena merasa enggak ada yang dikenal pas
reunian. Kadang reuni satu angkatan aja bisa kayak gini nasibnya, apalagi reuni
lintas angkatan. Aku tetep excited datang ke reuni lintas angkatan. Bisa kenalan sama
kakak-kakak dan adik-adik yang masanya berbeda. Bukan berarti langsung sok
akrab. Bisa-bisa ada yang ilfeel duluan.
Kenalan, mendekat ke lintas angkatan, senatural mungkin. Wajar-wajar
aja. Misal, ada momen berbaur, bisa jadi karena games, jangan pilih cuma sama
orang-orang yang dikenal (karena satu angkatan) tapi cobalah sama orang lain
(yang berbeda angkatan itu). Mungkin awalnya awkward, tapi kalo udah ada
interaksi, awkward pelan-pelan ngilang. Buktikan sendiri. Dinding kekakuan
tercipta justru karena enggak ada interaksi. Masing-masing memilih berinteraksi
dengan diri-sendiri. Menerka orang ini seperti itu, menerka orang itu seperti
ini. Gimana bisa runtuh dinding kekakuan kalo terus begitu? Kalo enggak ada
keinginan dari diri-sendiri?
Enggak cukup dengan kita bilang Simsalabim.
Kita ini bukan hidup di negeri dongeng.
Jogja, 14.10.2017
Komentar
Posting Komentar