Langsung ke konten utama

CERITA TENTANG PULANG

Jogjaaa! Wuaaah... rasanya bersyukur banget (masih) bisa balik ke sini lagi. Banyak yang pernah tinggal di Jogja dan baper pengen balik ke sini lagi. Aku juga begitu, suatu hari nanti. Sekarang aku masih bolak-balik Kebumen - Jogja karena masih ada kepentingan; kuliah (baca: skripsi) dan siaran. Kalo hari itu datang, hari aku harus meninggalkan Jogja, rasanya gimana ya? Sedih? Enggak rela? Apa aku akan kembali ke kampung halaman? Berkarya dan menjadi hits di kandang sendiri? Aku tau, suatu hari nanti aku akan meninggalkan Jogja.
Kayak gini masih urusan nanti. Sekarang nikmati dulu masa-masa berkarya di Jogja. Suatu hari nanti aku pasti akan merindukan semua tentang Jogja. Sepenggal kisah hidupku ada di daerah istimewa ini. Kenapa bukan di Bandung? Surabaya? Atau daerah lain di Indonesia? Pernah kepikiran begitu juga. Kenapa pilih Jogja? Dulu, setelah lulus SMA, kepikirannya emang kuliah di Jogja. Bukan di Bandung, Surabaya, bolehlah naik dengan percuma... Orangtua juga lebih support aku lanjut study di Jogja. Pernah mau ke Semarang, tapi enggak dapet restu dari orangtua. Katanya kejauhan. Baru inget aku, dulu orangtua enggak ngizinin aku kuliah di Semarang. Takdirku memang ada di Jogja. Menuliskan sebagian cerita hidupku di sini. Apa aku akan bertemu masa depanku juga di sini?
Bolak-balik Kebumen – Jogja entah udah berapa kali. Sekarang ini, lebih tepatnya saat jadi penyiar radio, intensitas balik ke Kebumen enggak sebanyak dulu. Pulang Jumat, balik ke Jogja Senin pagi, dulu bisa. Sekarang, bisa juga, tapi musti izin siaran ini, siaran itu. Pertama balik ke Kebumen naik bus sampai bawa motor sendiri, enggak terhitung jumlahnya (memang enggak pernah ada niatan ngitung). Dulu, ongkos bus sekitar 15K. Itu juga bus tanpa AC yang kursinya banyak yang koyak, lama ngetem alias nunggu penumpang di pinggir jalan sama terminal, ada kemungkinan bakal berdiri sepanjang perjalanan (derita, enggak kebagian kursi). Ada juga bus yang tetap menaikkan penumpang walau kursi udah terisi penuh. Asal masih ada space buat berdiri, enggak desak-desakan ala sayuran di atas mobil pick up, masih lanjut terima penumpang. Kalo enggak salah ingat, aku pernah enggak kebagian tempat duduk. Lumayan lama sebelum akhirnya dapet tempat duduk. Itu juga, kalo enggak salah, baru bisa duduk pas udah nyampe Sokka Baru. Udah nyampe deket rumah, baru dapet tempat duduk.
Naik kereta dan Prameks juga pernah, tapi awal-awal masih di Jogja dan belum bawa motor sendiri. Enggak pernah naik bus atau kereta apalagi Prameks, ya.. setelah bawa motor sendiri. Masih ingat juga pertama kali balik ke Jogja naik motor sendiri. Ngandelin banget papan nama jalan. Sekarang juga masih begitu buat memastikan enggak salah jalan, tapi enggak sengandelin dulu. Namanya juga yang pertama.
Jalanan juga banyak yang berubah. Enggak berubah yang drastis banget, tapi terasa. Dulu, jalan di Purworejo, enggak ngerti nama jalannya, tapi jalan ini ke arah Jogja tanpa melewati Kota Kutoarjo apa Kota Purworejo gitu (rada lupa, enggak pernah ngemat-ngematke a.k.a enggak memperhatikan banget), nah.. dulu jalan ini sempat ruuusak parah. Banyak lubang, banyak jebakan Batman (apalagi pas musim hujan, banyak genangan air di jalan), enggak enak banget. Mendekati Lebaran, waktu itu mungkin 2011 akhir apa udah masuk 2012, ya pokoknya sekitar tahun itu, jalan rusak ini baru diperbaiki. Biasalah ya, jelang Lebarang pasti jalan di mana-mana, terutama jalan buat jalur mudik, dibagusin.
Jalan di Kebumen mendekati Purworejo, bisa dibilang perbatasan juga, tapi jalur selatan, juga pernah rusak yang lebih parah. Banyak lubang, jalan enggak rata, banyak kerikil manja, enggak enak, enggak rekomen lewat jalan ini. Sekarang, alhamdulillah, muluuus banget kayak paha supermodel. Saking mulusnya bisa-bisa ngantuk loh lewat jalan ini karena enggak ada lampu merah, enggak rame, lewat sawah-sawah, areal pedesaan gitu, lurus terus pula. Enggak belok kanan, kiri, serong, enggak ada. Pernah juga jalan di Purworejo, apa perbatasan Kebumen – Purworejo, banjir. Sungai meluap atau apa gitu. Aku lupa waktu itu pas mau pulang apa enggak, tapi ada teman yang terpaksa enggak jadi balik ke Kebumen gegara banjir ini. Padahal udah setengah jalan, tapi apa boleh buat. Rasanya pasti pengen cakar-cakar tembok tuh.
Waktu itu pernah balik sore, gegara siangnya hujan gerimis, rada mager, mampirlah ke Radio Rasida, radio fakultasku. Mager, tapi pengen pulang. Naik bus ogah. Pengennya diboncengin tapi enggak ada yang bisa ditebengin. Sorenya masih gerimis juga. Waktu itu gegara siangnya hujan apa bukan ya? Mampir ke Radio Rasida dulu emang iya. Ah, ya sudahlah. Pengen pulang pake banget, gerimis sore-sore enggak jadi masalah. Tetep gaspol. Gerimis masih awet sampe Krapyak kalo enggak salah, tapi setelah itu, di Jalan Bantul kayaknya, gerimis berubah jadi hujan. Makin deras.. makin deras. Baru aku rasain waktu itu, betapa kepayahannya, enggak enaknya, naik motor lebih tepatnya balik ke Kebumen saat hujan deras, sore pula. Pas maghrib, aku berhenti di pom bensin Jalan Bantul. Bajuku basah walau jas hujan stand by melindungi.
Selesai sholat, hujan enggak begitu deras, aku langsung lanjut perjalanan. Eh.. enggak lama, berubah jadi deras lagi. Creepy-nya lagi, listrik mati. Satu-satunya penerang cuma lampu Beat-ku. Aku berusaha menguatkan diri. Ayo.. semangat!
Paling berkesan (dan enggak mau kayak gini lagi) waktu lewat sawah-sawah di Kulonprogo. Panjaaang banget. Aku lewat jalur selatan tapi bukan arah Jalan Daendels. Mana berani lewat jalan itu malam-malam? Sepi. Bukan takut pocong, kuntilanak, dan sebangsanya tapi takut begal, pemerkosaan (ngawur!). Takut dihadang manusia yang lebih menyeramkan dari pocong dan kawan-kawan. Areal persawahan ini sungguh menyiksa. Hujan deras. Listrik mati. Aku enggak bisa lihat jalan dengan jelas. Nano-nano rasanya. Aku masih tetap menguatkan diri. Ayo.. jalan terus!
Satu tragedi terjadi padaku. Waktu kecepatan Beat-ku standar, enggak terlalu cepat, enggak terlalu lambat, tanpa aku sadari, ada batang pohon yang tumpang di tengah jalan. Ranting ding, bukan batang. Lumayan gede. Aku tetap gas Beat-ku sampai akhirnya... ckiiit... enggak pake ‘brak’ kok karena aku enggak jatuh. Beat-ku oleng, tapi enggak sampe jatuh. Entah gimana caranya, tapi aku bisa lewat ranting itu. Ya, aku bisa melewati ranting itu. Beat-ku emang oleng parah. Spion Beat kalo enggak salah patah. Sebelah sandalku hilang. Setelah tragedi itu, aku masih bersyukur karena masih diberi keselamatan. Waktu itu aku merasa Allah sangat menyayangiku.
Selain aku, ada orang lain, naik motor juga, entah waktu itu jatuh oleng juga apa enggak, tapi kami tanpa disuruh langsung menyingkirkan ranting yang lumayan gede itu dari tengah jalan. Bahaya. Gegara tragedi ini juga, aku memutuskan buat menunda perjalanan. Aku harus berhenti di pom bensin. Aku akan lanjutkan perjalanan besok pagi. Tragedi ini mungkin semacam peringatan bagiku buat enggak lanjut perjalanan.
Sebelum berhenti di pom bensin, aku masih melewati areal persawahan yang gelap. Kalo listrik enggak mati, masih ada penerang jalan, paling enggak dari rumah penduduk. Waktu itu aku di jalan sendirian. Enggak ada kendaraan lain. Enggak papasan sama orang lain. Benar-benar sendiri. Sunyi. Senyap. Hujan deras pula. Lengkap sudah! Merasa beruntung dan lega waktu aku lihat ada mobil jauh di depanku. Aku segera mendekati mobil itu. Aku terus membuntuti. Seenggaknya aku ada teman di jalan. Begitu mobil berbelok atau enggak searah lagi sama aku, kecewa rasanya. Yah.. sendiri lagi.
Aku berhenti di pom bensin Wates. Entah namanya apa. Enggak pernah memperhatikan banget nama pom bensin ini. Aku langsung ke mushola. Hujan masih turun. Enggak terlalu deras, tapi enggak bisa dibilang gerimis juga. Aku memutuskan bermalam di pom bensin. Besok pagi aku akan lanjutkan perjalanan. Aku SMS Mamah, malam itu aku nginep di rumah teman. Besok pagi baru lanjut pulang. Aku sengaja enggak bilang yang sebenarnya karena enggak mau bikin Mamah khawatir. Seenggaknya dengan aku bilang nginep di rumah teman, Mamah bisa lega hatinya.
Ada beberapa orang yang juga ngiup, nunggu hujan reda, di mushola. Waktu itu aku enggak berpikir macam-macam. Aku duduk di mushola, buka baju (enggak ding), buka buku, aku bawa novel waktu itu, judulnya... rada lupa-lupa ingat, novel terjemahan. Aku sama sekali enggak berpikir ada maling atau sejenisnya. Aku berusaha tidur, tapi enggak bisa. Sempat tidur sebentar, tapi bangun lagi. Waktu itu aku taruh smartphone di sampingku. Headphone masih terpasang. Musik mengalun di telingaku.
Smartphone low batt, langsung aku charger. Ada colokan di mushola. Tanpa berpikir panjang, aku charger smartphone-ku. Aku enggak berpikir macam-macam. Mushola ini aman. Menunggu baterai smartphone penuh, aku baca novel sampai akhirnya... bluk! Aku tertidur. Paginya, waktu aku mau ngambil smartphone, aku kaget. Loh? Smartphone-ku mana? Kok charger-nya doang? Posisi charger udah enggak ada di colokan, tapi ada di atas tasku. Waktu itu aku taruh tas di bawah smartphone yang lagi aku charger. Ada satu hape, terlihat seperti Blackberry tipe apa gitu, tapi tipe yang lumayan. Aku harus nanya sama pemilik Blackberry itu. Dia pasti tau di mana smartphone-ku. Colokan yang sebelumnya aku pake buat charger-ku, dipake charger Blackberry itu.
Selesai sholat subuh, aku menunggu pemilik Blackberry itu. Aku tanya ke beberapa orang yang sama nginep di mushola, tapi jawabannya mengecewakan. Mereka engga ada yang tau pemilik Blackberry itu. Mushola sepi. Aku agak sedikit enggak nyesek kalo smartphone-ku ditukar Blackberry tipe yang lumayan itu.
Ternyata... bukan Blackberry, tapi smartphone rakitan China, entah apa namanya, rada lupa. Layarnya ada yang retak kalo enggak salah inget. Begitu aku aktifkan layar, harus masukin password. Aku langsung mangkel, semangkel-mangkelnya.
“Udah sering kejadian kayak gitu, Mas, di mushola pom bensin sini. Hape yang lagi dipegang sama orang yang lagi tidur aja bisa hilang, Mas,” kata petugas pom bensin. Aku mangkel, merutuk si maling, semoga mencret, semoga ini, semoga itu, jelek-jeleklah pokoknya. Mau gimana lagi? Smartphone-ku hilang. Nasi udah jadi bubur. Aku merutuk segreget apa juga, smartphone-ku enggak bakal balik lagi. Aku bawa smartphone rakitan China itu. Aku bawa, aku serahin ke Polisi.
Aku enggak mau bawa smartphone itu. Mungkin lain cerita kalo smartphone yang ditinggalin maling itu Blackberry tipe yang aku bayangin. Bersyukur juga sebenarnya ditukar smartphone ecek-ecek. Ada hikmah yang bisa aku ambil. Nyesek kehilangan smartphone, iya, tapi... ya sudahlah. Pembelajaran buat diri-sendiri.
Ngomongin perjalanan bolak-balik Kebumen – Jogja emang enggak ada habisnya. Selalu ada kesan, selalu ada cerita, yang suatu hari nanti bisa aku kenang.
Jogja, 29.10.2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta...

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato...

DI BELAKANG (ADA) ANGKA DUA

Bisa dibilang aku mampir ke sini cuma di momen seperti hari ini. 16 Agustus. Ada momen spesial apa sih di 16 Agustus? Kata Sal Priadi, "...serta mulia, panjang umurnya." Hari lahir. Tahun ini aku melewati hari lahir ke-32. Wow! Ti-ga pu-luh du-a. Sama-sama di belakang ada angka dua tapi beda rasanya ya waktu hari lahir ke-22 dan hari ini. Waktu 22 tahun aku nggak merasa ada tekanan. Kayak berlalu gitu aja. Aku ingat hari lahir ke-22-ku terjadi setahun setelah KKN di Kulonprogo. Pengingatnya adalah waktu KKN aku pernah ditanya ulang tahun ke berapa. Aku jawab, "Bioskop." Twenty one alias 21. Apakah hari lahir kali ini aku merasa tertekan? Ada rasa yang membuatku khawatir tapi let it flow aja. Nggak mau jadi overthinking . Apa yang terjadi nantinya ya dihadapi dengan riang gembira lengkap dengan gedebak-gedebuk nya. Masa ulang tahun nggak ada apa-apa? Nggak mengharapkan juga sih. Nggak mengharuskan juga tapi kalo ada ya aku nikmati dan berterima kasih. Kode banget ni...