Coba sesekali enggak usah mobilitas pake
kendaraan pribadi. Coba jalan kaki. Ya.. asal enggak ngorbanin waktu yang lain.
Jadi telat masuk kerja, misal. Ya.. enggak begitu juga. Gini deh, waktu enggak
ada banyak kegiatan, coba buat menikmati waktu dengan berjalan kaki. Pasti kamu
akan menemukan sesuatu yang biasanya enggak kamu lihat waktu naik kendaraan.
Aku pernah nyoba jalan kaki dari XXI Jalan
Sudirman ke UPT Malioboro. What? Beneran? Bukan mau gaya-gayaan, cuma waktu itu
karena enggak bawa motor, merasa nanggung naik Gojek, apalagi naik Trans Jogja,
aku memutuskan jalan kaki. Ah, deket, pikirku waktu itu. Emang enggak terlalu jauh,
tapi kalo setiap hari jalan kaki begini, maap-maap ye... makasih. Bukan karena
capek, tapi karena... yah... gimana ya? Masa jalan kaki ke mana-mana setiap
hari? Sesekali bolehlah.
Tepat seperti yang aku bilang di atas, aku
menemukan sesuatu yang biasanya enggak aku temui waktu naik kendaraan pribadi.
Aku baru ‘ngeh’ kantor redaksi Tribun Jogja ada di sebelah Gramedia Sudirman (hello.. baru 'ngeh' sekarang?). Aku tertarik beli burger rendang cuma lihat bilboard iklannya. Bukan cuma karena
ini aja yang aku temukan waktu jalan kaki, tapi aku merasakan sesuatu yang lain. Bukan menemukan harta karun atau apalah, tapi aku jadi lebih menikmati suasana.
Lebih bisa lihat detail sekeliling yang pastinya enggak bisa dilihat waktu naik
kendaraan pribadi.
Pernah ngebayangin pejalan kaki di Indonesia
kayak di Jepang? Di sana, banyak orang ke mana-mana lebih pilih jalan
kaki. Beda di sini, khususnya di Jogja, tempat aku tinggal sekarang. Jalan kaki
di antara banyak pengendara, rasanya sedikit aneh. Berasa jadi orang hilang,
yah.. something like that. Mungkin perasaanku doang. Bukannya mau ngebanding-bandingin, tapi
dipikir-pikir, pejalan kaki di Indonesia, terlebih kota besar, bisa dibilang sangat-sangat jarang. Apalagi pas jam sibuk. Ada yang jalan kaki, pake jas, rapi dengan dasi, berjalan tergesa lihat jam di tangan sesekali? Mungkin di Jepang, saat jam sibuk lihat orang tipe ini ada banyak.
Seorang teman pernah bilang, jangan terlalu
banyak jalan kaki karena efeknya bisa kena syaraf. Enggak langsung kena, tapi
ibarat gunung es, suatu saat pasti akan mencair. Katanya. Kebenarannya gimana? Mari
kita tanyakan ke dokter. Logikanya, terlalu berlebihan pasti efeknya enggak
baik. Orang Jepang yang banyak berjalan kaki dan (berdasarkan apa yang pernah
aku baca) kepemilikan kendaraan pribadi di sana enggak sebanyak di Indonesia,
bukan berarti mau berjalan kaki puluhan kilometer. Di sana akses kendaraan umum
(bus, kereta) enggak susah. Berjalan kaki beberapa menit, sampai di terminal/
stasiun. Setelah itu perjalanan dilanjut naik bus/ kereta. Efisiensi
waktu naik kendaraan umum di Jepang juga beda dengan efisiensi waktu naik
kendaraan umum di Indonesia. Kalo Indonesia enggak terkenal macet, pasti naik
kendaraan umum juga bakal sama efisiennya dengan naik kendaraan umum di Jepang.
Kita, iya kita, memang enggak terbiasa jalan
kaki. Kita terlalu dimanjakan dengan kuda besi. Kita terlalu manja buat mengandalkan
kaki kita sendiri. Apa sih manfaat jalan kaki? Salah satunya bisa menjaga
kesehatan. Anjurannya, dalam sehari paling enggak ada aktivitas jalan kaki
minimal 30 menit ‘kan? Dengan kita berjalan kaki dan enggak terlalu
mengandalkan kendaraan, anjuran itu sangat bisa kita lakukan. Kalo bekerja di
lantai 15, coba buat naik tangga. Wow banget, tapi sesekali kita mengandalkan
kaki kita sendiri, justru kebaikannya bakal balik ke kita juga.
Sekarang sangat jarang lihat ada pejalan
kaki di trotoar saat jam-jam sibuk. Ya.. karena mobilitas kita lebih banyak
mengandalkan kendaraan pribadi. Eh, jangan salah! Pejalan kaki banyak kok di
trotoar. Saat makan siang.
Emang trotoar buat pejalan kaki ya?
Jogja, 11.10.2017
Komentar
Posting Komentar