Menjadi Pejuang Subuh itu berat. Enggak semua orang (Muslim
tentunya) bisa melakukannya. Tantangannya banyak banget. Kalo mau dan yakin bisa,
pasti bisa. Sebenarnya bukan sesuatu yang susah juga, tapi justru melawan
diri-sendiri itu yang enggak jarang dibikin susah. Aku pernah menulis tentang ini sekitar sebulan
yang lalu. Aku merasa waktu itu benar-benar kehilangan waktu subuh. Sering
kehilangan. Gimana kalo aku dapat siaran pagi? Pasti bakal jadi masalah banget.
Mindset-ku waktu itu adalah enggak ketinggalan subuh demi melatih diri biar
siap kalo dapet siaran pagi. Bukan cuma karena alasan itu kok, tapi juga demi dapat subuh tepat waktu.
Akhir-akhir ini aku kembali mengulang kebiasaan buruk. Subuh
selalu pergi meninggalkanku saat aku masih terlena dalam lelap. Kesal. Marah. Kenapa bisa begini? Sebenarnya masih
ada sedikit kelegaan karena, walau subuh ketinggalan, tapi aku enggak ada siaran
pagi.
Hari kemarin, aku kena batunya. Aku mengulang kesalahan yang
sama: telat siaran saat ada narasumber datang. Kesalahan kali ini untungnya
masih dimaafkan. Aku telat 15 menit. Aku masih bersyukur jarak kost dan tempat
siaran, Rakosa FeMale, enggak jauh. Lima menit perjalanan. Bisa dibayangin kalo
aku masih kost di Krapyak? So scary! Telat siaran (pagi) aja scary-nya berasa. Telat subuh harusnya lebih berasa scary.
Apa karena kejadian itu aku memutuskan benar-benar
menjadi pejuang subuh? Ada atau enggak ada siaran pagi? Bukan semata karena
itu. Kalo alasanku karena siaran pagi, terlalu bodoh. Bukan cuma demi siaran pagi,
tapi demi subuh yang selalu aku biarkan pergi begitu saja. Sungguh sangat merugi
orang-orang yang ketinggalan subuh. Ada atau enggak ada siaran pagi, bangun
sebelum subuh wajib. Enggak ada prinsip: liburan saatnya bangun siang. Subuh ya
tetap sama. Enggak bakal mundur jadi siang juga saat libur.
Ada satu meme yang sangat menohok, “Ukhti.. Stok bujang
soleh telah menipis, karena shaf subuh di masjid hanya dipenuhi aki-aki, bukan
akhi-akhi..” Jleb! Faktanya memang begitu. Memang ada shaf subuh yang banyak
akhi, tapi enggak sedikit juga yang cuma ada aki-aki. Ke mana akhi-akhi? Terlalu
malas menggunakan usia muda dan badan bugarnya untuk menjadi pejuang subuh? Sesusah apa jadi pejuang subuh? Banyak godaan. Ngantuk, enggak bangun, udah
bangun tapi tepar lagi. Cuma diri-sendiri yang bisa mengalahkan godaan-godaan
itu. Pahala jadi pejuang subuh juga luar biasa. Istimewa dibanding pejuang
di empat waktu yang lain. Pahala pejuang subuh itu lebih utama. Bukan berarti
jadi pejuang di empat waktu yang lain, enggak dapat apa-apa. Tentu ada perhitungannya,
ada balasannya, nanti setelah masa di dunia ini selesai. Sekarang ditabung dulu
pahala jadi pejuang lima waktu (bukan cuma saat subuh).
Godaan (atau tantangan?) jadi pejuang subuh salah satunya adalah waktu
yang enggak selalu sama. Beberapa waktu kemarin, subuh hampir jam 04.30. Sekarang
sebelum jam 4 pagi. Harus melawan diri-sendiri bangun lebih pagi. Bukan masalah
juga melawan diri-sendiri, asal yakin, usaha keras tidak akan
mengkhianati. Justru jadi masalah kalo diri-sendiri enggak mau berusaha keras melawan. Manja! Alasannya inilah..
itulah.. banyak! Alasan tetap saja alasan. Sesuatu yang sering dijadikan
sebagai benteng untuk melindungi rasa malas.
Ada atau enggak ada siaran pagi, sesantai apapun waktu
pagi, sebagai Muslim, subuh tetaplah subuh. Selalu datang sebelum fajar
menyingsing. Satu waktu yang justru jadi musuh terberat yang harus ditaklukan. Buat
yang udah berhasil berkawan dengan subuh, bukan jadi perkara sulit menghadapi
kedatangan subuh. Seperti kita saat sudah berkawan (dengan orang lain) pasti
bukan sesuatu yang berat atau apalah itu saat kawan datang. Kalo udah jago,
jangan menganggap rendah usaha orang lain yang berusaha sejejar dengan mereka
yang udah jago itu. Kasih support. Setiap orang butuh proses.
Jogja, 19.10.2017
Komentar
Posting Komentar