Langsung ke konten utama

Lilin ke-17


Antologi Seribu Tanda Cinta, Oktober 2012
LILIN KE-17
          Bagiku angka 17 sangatlah penting. 17 menandakan sebuah kedewasaan. Tiga bulan lagi usiaku tepat 17 tahun. Aku ingin merayakannya. Selama ini aku tidak pernah merayakan ulangtahun. Bukannya aku tidak mau, tapi karena tidak ada biaya untuk membuat sebuah perayaan di rumah. Bahkan Ayah dan Ibu tidak pernah mengucapkan selamat kepadaku saat aku ulangtahun. Aku berusaha memakluminya. Ayah dari pagi hingga sore berkutat di jalan dengan angkot milik Pak Damar. Ibu berjualan sayuran di pasar. Sementara mereka sibuk sepanjang hari, aku mengurus adikku, Farhan, yang duduk di kelas 5.
          Kali ini aku ingin agar ulangtahunku bisa dirayakan walau hanya sekali seumur hidup. Aku menimang-nimang celengan tanah liat berbentuk jago. Sepertinya belum cukup untuk mengadakan pesta ulangtahun. Setidaknya aku harus mengundang 29 teman sekelasku. Selain itu, tetangga-tetangga dan teman sepermainan juga harus aku undang. Aku perlu uang banyak untuk hal ini.

          “Eee… Rin, aku boleh ngomong sesuatu nggak ke kamu?”
          “Apa Put?”
          “Aku… aku… mau kerja di rumah kamu.” Terbersit dalam pikiranku untuk meminjam uang kepada Karina, anak seorang pemilik restoran di kelasku. Restoran Ayah Karina sudah tersebar di seluruh kota ini. Siapa yang tidak kenal Ayam Goreng Goyang Lidah? Namun justru kata-kata itu yang keluar dari lisanku.
          “Kerja?”
          “Ya… kerja apa saja.”
          “Aduh, aku nggak tahu Put, kamu harus kerja apa. Bunda sama sekali nggak menggunakan jasa asisten rumah tangga. Eee… maaf kalau itu memang kerja yang kamu maksud.”
          “Eee… di tempat Ayahmu ada lowongan nggak?”
          “Hmmm… nggak tahu juga. Nanti aku tanya Ayah deh. Kenapa Put? Kamu lagi butuh uang banyak? Aku bisa kok membantu.”
          “Nggak… nggak usah Rin. Aku… aku hanya ingin belajar saja. Belajar mencari uang sendiri.” Sejak masuk SMA aku memang sudah mencari uang sendiri. Ngajar TPA di sekitar rumah. Gajinya memang tidak banyak tapi cukup untuk uang saku. Walaupun begitu untuk biaya sekolah aku masih bergantung kepada orangtua. Tidak sepenuhnya. Aku berusaha membantu sebisaku. Gaji ngajar TPA aku sisihkan sedikit masuk ke celengan jago. Saat akan membayar sekolah, aku pecahkan celengan itu. Kali ini, untuk pesta ulangtahunku, tentu gaji ngajar TPA saja tidak cukup. Aku harus mencari tambahan lain yang nilainya lebih besar. Masih tiga bulan lagi. Aku yakin pasti bisa.
          Aku sengaja mampir ke toko kue sepulang sekolah. Aku ingin tahu berapa harga satu kue ulangtahun. Begitu memasuki toko, semerbak aroma yang menggugah perutku yang lapar, begitu menggoda. Ada banyak kue ulangtahun dengan hiasan yang cantik.
          “Ada yang bisa saya bantu?” seorang pelayan toko menghampiriku.
          “Eee… kue itu harganya berapa Mba?”
Aku sedikit terbelalak mendengar jawaban dari pelayan toko. Harganya setara dengan gaji mengajar TPA selama sebulan. Gabungan gajiku selama empat minggu.
          “Kalau yang ini?” aku menunjuk kue lain.
Aku keluar toko kue dengan tangan kosong. Tentu saja. Tujuanku kesini bukan untuk membeli kue. Aku hanya ingin memastikan harga satu buah kue ulangtahun. Semuanya tidak ada yang murah. Setidaknya bagi kantongku. Mungkin celengan jagoku saat ini cukup untuk membeli satu kue ulangtahun. Lalu bagaimana dengan yang lain? Aku perlu dekorasi, makanan-makanan, hiburan-hiburan. Mungkin ini pesta ulangtahunku yang pertama dan terakhir. Selanjutnya aku tidak perlu merasa penting untuk merayakannya. Angka 17 ini begitu penting bagiku.
***
          Akhirnya aku bisa kerja di restoran Ayah Karina. Menjadi pelayan sepulang sekolah hingga jam 6 sore. Ayah Karina memberikan kerja paruh waktu padaku. Aku memang sempat beberapa kali bertemu dengan beliau saat aku berkunjung ke rumah Karina. Syukurlah tidak mengganggu jadwalku mengajar TPA jam 6.30 sore hingga jam 7.30 malam.
          “Kamu kerja disini Put?” Rayhan, kakak kelasku yang selalu membuatku berdebar, mengejutkanku di restoran tempat kerjaku ini.
Aku mengangguk. Rasanya lidahku kelu saat berhadapan dengan Rayhan. Dia tahu namaku saja sudah begitu membahagiakan buatku. Berkat OSIS-lah Rayhan jadi mengenalku. Aku juga salah satu pengurus OSIS. Bukan pengurus inti. Aku lumayan sering datang menghadiri rapat OSIS. Walau aku merasa ada atau tidaknya aku dalam rapat sama sekali tidak berpengaruh. Aku merasa apa yang aku usulkan dalam OSIS tidak cemerlang. Selalu saja tidak mendapat respon yang baik. Maklum saja aku hanya bawahan di OSIS. Aku anggap ini sebagai pengalaman berorganisasi.
          “Pantas kamu akhir-akhir ini nggak datang ke rapat OSIS.”
Apa ini hanya perasaanku saja atau memang Rayhan memperhatikanku? Aku mencatat pesanan Rayhan dan teman-temannya. Sepertinya harapanku benar-benar semu saat melihat Melody ada diantara Rayhan dan teman-temannya. Melody, sang sekretaris OSIS. Terlihat selalu bersama Rayhan, sang ketua OSIS. Aku tidak begitu mengenal Melody. Hanya sekedar tahu nama saja. Sepertinya hubungan mereka berdua lebih dari sekedar teman organisasi.
***
“Ini Yah, tehnya.”
          “Makasih ya Put.”
Aku melihat gurat-gurat kelelahan dalam wajah Ayah. Seharian ini Ayah mengejar setoran. Ayah menyesap teh hangat manis buatanku pelan. Tiap Ayah baru pulang kerja, aku pasti membuatkan segelas teh hangat manis untuknya. Ibu datang dengan sepiring pisang goreng dan singkong rebus. Saat senja inilah Ayah bisa bersantai di rumah. Hampir tiap hari Ayah tidak ada waktu untuk memanjakan diri kecuali sepulang menarik angkot. Aku bangkit dari kursi dipan dan memijat bahu Ayah.
          “Kamu memang mengerti apa yang Ayah mau, Put.”
Aku memang belum bisa membantu Ayah banyak. Setidaknya apa yang aku lakukan ini sudah bisa membuat Ayah tersenyum. Hari ini gaji pertamaku sebagai pelayan di restoran Ayah Karina keluar. Walau hanya kerja paruh waktu, nominalnya lebih besar dari gaji mengajar TPA. Selama ini aku tidak menceritakan kepada Ayah dan Ibu mengenai hal ini. Tentang pesta ulangtahunku pun aku masih bungkam. Tidakkah ini terlalu mewah? Tidak! Ini mungkin hanya sekali seumur hidup. Angka 17 di usiaku sangat penting bagiku. Begitu kata hatiku yang lain. Namun aku selalu gamang saat akan mengatakan rencana pesta ulangtahunku kepada mereka.
          “Akhir-akhir ini banyak kejahatan yang terjadi di dalam angkot,” Ayah membuka pembicaraan.
          “Mulai besok Ayah akan mencari pekerjaan lain.”
          “Maksud Ayah apa?” tanyaku kaget.
Ibu yang sedang menjahit celana seragam Farhan yang robek mendadak menghentikan aktivitasnya.
          “Ayah sudah tidak menjadi sopir angkot lagi. Orang-orang marah dengan Ayah.”
          “Marah? Apa salah Ayah?”
          “Dua hari yang lalu kejahatan di angkot kembali terjadi. Bukan cuma Ayah saja yang menjadi sasaran amukan masyarakat. Beberapa teman Ayah juga bernasib sama. Pelakunya memang sudah tertangkap tapi kemarahan orang-orang masih belum reda. Mereka merusak angkot yang Ayah gunakan.”
Aku menutup mulutku sambil menahan nafas. Ibu terlihat sama kagetnya denganku.
          “Bagaimana bisa Yah? Padahal Ayah tidak melakukan perbuatan itu kan?” tanya Ibu.
          “Entahlah. Pak Damar memutuskan untuk memecat pegawainya. Salah satunya Ayah. Mobil angkot milik Pak Damar yang dibawa oleh Ayah hancur. Ayah dipecat sekaligus harus mengganti rugi.”
Aku ingin tidak percaya dengan apa yang Ayah katakan. Tidak mungkin! Ayah dipecat sebagai sopir angkot sekaligus harus mengganti rugi angkot yang rusak. Aku tidak habis pikir dengan jalan pikiran orang-orang yang menghakimi Ayah seperti ini. Padahal Ayah tidak berbuat apa-apa. Akal sehat mereka benar-benar mati.
          Aku duduk di teras rumah dengan pesta ulangtahun yang terus melayang-layang di otakku. Haruskah aku merayakannya? Angka 17 memang penting bagiku. Perayaan ini… aku begitu menginginkannya. Tapi…
          “Kak.”
Aku tidak sadar Farhan duduk di sampingku. Aku terlalu asyik melamun.
          “Ada apa Han?”
          “Ada buku paket dari sekolah yang harus dibayar.”
          “Berapa?”
Farhan menyebut nominalnya. Gaji pertamaku sebagai pelayan restoran lebih dari cukup untuk membayar harga buku paket Farhan. Aku mengambil dompet di kantong rokku. Mengangsurkan beberapa lembar puluhan ribu.
          “Makasih ya, Kak. Dengan begini uangku akan cukup untuk membayar buku sekolah.”
Aku menghela nafas. Pentingkah pesta ulangtahunku? Haruskah aku merayakannya? Aku pandangi uang di dalam dompetku. Gaji pertamaku. Aku ingat Ayah, Ibu, dan Farhan. Terkadang aku tidak menyangka Farhan bisa berpikir dewasa di usianya yang begitu belia. Sejak duduk di kelas 5, Farhan tidak pernah mengatakan biaya sekolah kepada Ayah dan Ibu. Katanya takut merepotkan mereka. Sekolah Farhan memang gratis tapi tiap kali ada buku paket penunjang pembelajaran, harus ada harga yang dibayarkan. Selama ini guru memang tidak mewajibkan untuk membelinya. Farhan rela hanya meminjam buku paket kepada temannya. Kelas 5 ini guru mewajibkan siswanya untuk membeli buku paket. Persiapan ujian nasional. Farhan bahkan pernah berjualan kue kepada teman-teman sekolahnya. Kue buatan Bu Siti yang memang setiap harinya berjualan kue di rumahnya. Tentu saja aku tahu dari salah satu teman sekelas Farhan yang kebetulan menjadi siswa TPA-ku.
          Usia 17 adalah kedewasaan. Sepertinya aku lupa dengan hal ini. Bukankah aku pernah berpikir seperti ini sebelumnya? Apakah pesta ulangtahun ini sebuah bentuk kedewasaan? Pesta ulangtahun dengan kue tart, dihadiri oleh teman-teman sekelas, dekorasi yang meriah, beragam makanan, aneka hiburan. Bukankah ini terdengar kekanak-kanakkan? Aku mendadak malu dengan diriku sendiri. Satu bulir air mata mengalir.
          Usia seseorang memang terus bertambah. Menjadi dewasa adalah pilihan. Tidak peduli itu 17, 20, 25. Aku memilih pendewasaan diri saat ini. Aku memilih saat angka 17 menghampiri hidupku. Berkurangnya kontrak hidupku seharusnya aku syukuri, bukan merencanakan sebuah pesta untuk merayakannya. Tidak ada salahnya dengan pesta ulangtahun, namun tidak salah juga jika tidak ingin merayakannya bukan? Bukannya tidak ingin, tapi aku harus melihat prioritas. Masih ada hal yang lebih penting daripada sekedar pesta ulangtahun.
-selesai-
Jogosimo, 30 Juli 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan