Langsung ke konten utama

MEDIA SOSIAL "LATAH"

(cdn.hellosehat.com)
Hidup yang selalu di-media sosial-kan ternyata melelahkan. Enggak bisa ya menikmatinya sendiri saja? Kenapa harus "berbagi" di dunia yang bisa jadi antah-berantah itu? Demi eksistensi, citra diri, atau memang adiktif? Saya bukan tipikal pengguna media sosial "latah" yang apa-apa (harus) posting. Bukan anti media sosial cuma kadar penggunaannya yang berbeda. Ada positifnya juga jadi pengguna media sosial non "latah". Apa-apa yang saya lakukan ya hanya saya yang menikmati.
Saya pernah mencoba merekam jejak di media sosial, Instagram tepatnya, dan baru beberapa kali rekaman ternyata melelahkan. Akhirnya saya cuma bertanya sama angin lewat, "Buat apa saya melakukan ini?" Pengguna media sosial memang berbeda. Enggak ada yang salah dan benar antara yang "latah" dan non "latah", asal ada filternya. Enggak semua hal harus di-media sosial-kan, bukan?
Buat mereka yang bekerja dengan media sosial, pasti penting berbagi segala aktivitas, tentunya yang dirasa "berkelas". Ada juga yang daily life tapi khusus buat pengguna media sosial yang populer. Kalau masih jelata, siap-siap dinyinyirin, ditubirin, dan di.. di.. yang lain. Populer dengan sesuatu yang positif, dengan karya, atau populer karena keisengan yang menjadi viral. Enggak sedikit yang jadi populer karena tipe yang kedua.
Apa yang kita tanam, itulah yang akan kita petik. Setiap orang punya pilihan jadi pengguna media sosial yang seperti apa. Asal masih sebatas "wajar", just for fun, lanjutkan! Apa yang kita posting bisa jadi hiburan buat orang lain. Enggak selalu kosong faedah. Cuma jangan sampai adiktif. Beda loh antara frekuensi yang banyak dan adiktif. Banyak posting di media sosial belum tentu jadi adiktif, tapi karena momennya pas, momennya bagus, sayang dilewatkan, why not? Kalau adiktif, salah satu cirinya merasa cemas kalau enggak melakukan. Nah... adiktif apa enggak nih?[]

Jogja, 21 Juni 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan