Film "The Gift" karya Hanung Bramantyo menurut saya adalah film yang "tenang". Nonton film ini enggak berasa capek ngikutin alur ceritanya, tapi justru makin penasaran. Ada sih scene yang kayaknya bakal ketebak tapi masih ragu, beneran enggak sih? Walau ternyata benar, tapi scene ini beda sama scene ketebak di film lain.
Sebelum nonton, film "The Gift" enggak masuk list "harus nonton" saya. Ada kesempatan nonton karena ada voucher, cuma bayar Rp10 ribu saja. Rezeki enggak boleh ditolak. Lagian yang bikin pengen nonton film ini, walau enggak masuk list "harus nonton" sebelumnya, karena sempat ramai di Twitter membahas film "The Gift" yang kata seorang dokter (yang juga selebtwit), prosedur donor kornea dari seseorang yang "sehat" (masih hidup dengan mata normal) adalah salah banget di dunia kedokteran. Seseorang yang normal enggak bisa dibikin cacat, apapun alasannya. Saya enggak tahu komentar dari dokter ini setelah nonton film "The Gift" atau belum, tapi setelah saya nonton filmnya, saya jadi paham.
Banyak warganet Twitter yang bilang film "The Gift" enggak riset, sutradaranya apa banget, membandingkan dengan drama Korea yang menurut mereka riset banget dan menang jauh dari film Indonesia (ya, serial dibandingin sama film). Dokter sekaligus selebtwit ini memang benar. Prosedur donor kornea dari seseorang yang masih hidup, seseorang yang punya mata normal adalah salah. Apa mungkin penonton kita yang terlalu drama? Penonton yang "cerdas" pasti paham kenapa prosedur donor kornea dari Tiana buat Harun tetap dilakukan walau salah besar dan melanggar hukum, melanggar sumpah seorang dokter. Arie, dokter yang melakukan prosedur donor kornea ini seharusnya berhenti menjadi dokter dan malu dengan gelarnya. Arie yang lebih mementingkan cinta dari karir. Penonton "cerdas" pasti paham benang merah ini.
Seperti biasa, saya bukan mereview. Penasaran jalan ceritanya? Silakan mampir ke bioskop. Masih wara-wiri tayang loh. Stop nonton yang bajakan! Sedih rasanya kalau lihat ada orang yang nonton film bajakan, sementara saya nonton film originalnya. Bukan, bukan iri karena orang itu nonton gratisan, tapi sikap enggak menghargai karya itu loh yang bikin sedih. Oke balik lagi ke Tiana dan Harun di dunia "The Gift".
Film ini bisa dibilang film yang "tenang" karena memang benar-benar "tenang". Konflik fokus sama Tiana dan Harun. Arie, Simbok, Bona, Ibu (yang diperankan Christine Hakim dan saya lupa nama karakternya) adalah bumbu yang semakin memberi kesan "tenang" dalam film berdurasi sekitar dua jam ini. Dialog-dialog di film ini adalah nilai lebih. Bukan sekedar kata-kata biasa, tapi kata penuh makna yang kalau diresapi, indahnya berasa banget. Ada scene yang bikin saya bingung karena menurut saya saking filosofisnya, tapi secara keseluruhan film "The Gift" ini saya kasih nilai 80.
Setiap film pasti punya akhir. Seepik apapun pasti harus ada akhir cerita. Film "The Gift" bukanlah tipikal ending bahagia selamanya, tapi ada kesan mendalam dari film ini yang bikin saya merasa endingnya benar-benar pas dan mengena banget. Saya puas nonton film ini. Endingnya enggak mengecewakan. Bukan tentang tipikal bahagia selamanya itu, tapi tentang pemilihan akhir cerita yang pas dan membuat saya memberikan label bagus.
Saya pun termasuk yang ikut warganet menilai film "The Gift" secara sepihak (dari dokter sekaligus selebtwit itu) padahal saya sendiri belum nonton filmnya. Hanung Bramantyo pasti tertawa-tawa baca komentar warganet ini.
Dokter (khususnya dokter mata) enggak perlu capek-capek menjelaskan tentang donor kornea yang sesuai prosedur karena penonton yang "cerdas" pasti akan sepakat dengan tulisan ini.
Ps: Saya paling suka karakter Bona di film ini.
Jogja, 5 Juni 2018
Komentar
Posting Komentar