Aku
menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Aduuuh… berisik sekali. Bagaimana aku bisa
konsetrasi belajar kalau berisik begini? Kak Rully, kakakku satu-satunya, terkadang
memang menyebalkan. Nyanyi tidak kenal waktu. Memang, kakakku itu hobi nyanyi.
Suaranya, yah.. cukup bagus. Tapi seharusnya Kak Rully ingat waktu. Apalagi
sekarang waktunya aku belajar.
Aku keluar kamar dan mengetuk pintu
kamar Kak Rully yang bersebelahan dengan kamarku. Kak Rully masih berdendang
dengan gitarnya. Kebiasaan Kak Rully saat tengah bernyanyi, asyik dengan
dirinya sendiri sampai tidak menyadari apapun yang ada di sekitarnya. Aku ketuk
lagi pintu kamarnya. Kali ini lebih keras.
“Kak Rully... Berisiiik!” teriakku
sambil menggedor pintu. Bukan hanya aku ketuk, tapi aku gedor agar Kak Rully
sadar suaranya sudah mengganggu konsentrasiku.
Tiga
menit kemudian, pintu terbuka. Kak Rully hanya menjulurkan kepalanya dari balik
pintu. “Ada apa, Ta?”
Aku
memasang tampang kesal. Rasanya ubun-ubunku berasap mendengar pertanyaan Kak
Rully yang innocent itu. “Ada apa,
ada apa! Kak Rully berisik, tahu!”
“Apa? Coba bilang sekali lagi?” Kak
Rully mendekatkan telinganya padaku. Pura-pura tidak mendengar.
“Please
Kak… Nyanyinya besok pagi aja. Aku mau belajar nih. Besok ada ulangan. Kak
Rully nggak belajar juga? Udah kelas XII, ingat Ujian Nasional, Kak.” Bibirku
membentuk bulan sabit terbalik. Masih kesal dengan ulah Kak Rully yang berisik
malam-malam. Rasanya aku ingin memasang peredam suara untuk dinding kamarku
agar nyanyian Kak Rully tidak masuk ke kamarku. Biar Kak Rully nyanyi sampai
puas, sampai suaranya habis. Asal tidak mengganggu waktu belajarku, tidak
masalah.
“Justru aku nyanyi buat ngilangin
capek abis belajar, Ta. Emangnya kamu, belajar terus tapi nggak pernah refreshing. Lagian suaraku ‘kan bagus,
Ta. Masa bikin belajarmu jadi nggak enak? Bukannya malah semakin nyaman,
belajar ditemani suaraku yang bagus dan dahsyat ini?” Kak Rully mulai
membanggakan diri yang membuatku memutar bola mata sambil mencibir.
“Kak Rully udah sholat isya belum?
Jangan-jangan keasyikan nyanyi, jadi lupa…” Aku mengalihkan topik pembicaraan.
Kak
Rully tersenyum lebar. “Belum.”
“Tuh ‘kan Kak Rully sering gitu.
Nyanyi-nyanyi sampai lupa waktu, lupa sholat. Ayo Kak, sholat isya dulu gih!”
“Ah, bawel kamu,” kata Kak Rully
sambil menutup pintu kamarnya.
Kesalku
yang tadi sempat menguap, mendadak datang lagi. Aku gedor pintu kamar Kak Rully
lebih keras. “Kak.. Huh! Jangan bikin kesal dong!”
“Iya.. iya.. Nona.. Nanti aku
sholatnya.” Suara Kak Rully terdengar dari balik pintu.
“Ada apa ini?”
Ups!
Sepertinya keributan yang aku ciptakan membangunkan Bunda yang sepertinya sudah
tertidur. Sekarang memang waktunya tidur.
“Bunda… Kak Rully nih.”
[]
Kak Rully memang mempunyai suara
yang bagus. Sangat berkarakter menurutku. Aku sebagai adiknya, bangga punya
kakak bersuara merdu. Wajar saja ada tawaran dari sebuah label musik yang ingin
mengorbitkan Kak Rully sebagai penyanyi sesungguhnya.
Entah Kak Rully pengen eksis atau
apa, sore itu sepulang sekolah, ia bersama teman-temannya mengadakan semacam
konser mini di taman kota. Aku yang selalu berangkat dan pulang sekolah bersama
Kak Rully, terpaksa harus ikut dan pasti telat pulang ke rumah. Aku pun segera
memberitahu Bunda atas keterlambatan ini.
Selama ini memang jarang ada yang
mengadakan konser atau pertunjukkan musik, apapun itu, di taman kota.
Pertunjukkan tabuh-tabuhan instrumen musik di lampu merah, cukup banyak, tapi
kurang bisa dinikmati karena mereka hanya unjuk kemampuan saat lampu lalu
lintas berubah menjadi merah. Banyak yang abai dengan pertunjukkan musik yang
dibayar dengan koin recehan itu. Terlebih saat lampu merah menyala, tepat
matahari bersinar dengan riangnya.
Seharusnya mereka mengadakan
pertunjukkan musik itu di taman kota. Aku yakin akan banyak yang tertarik untuk
menyaksikannya. Seperti yang dilakukan Kak Rully dan teman-temannya saat ini.
Semoga nanti tidak ada yang memberi koin receh kepada Kak Rully. Aku tertawa
kecil sendiri.
Saat itulah, selesai Kak Rully
mempersembahkan beberapa lagu milik band-band terkenal, datang seorang pria
memakai t-shirt hitam dan celana jeans. Kacamata hitamnya membuatnya terlihat
mencurigakan. Aku sempat khawatir dari atas motor, saat pria itu mendekati Kak
Rully.
Mengetahui pria itu adalah produser
musik sebuah label ternama, Kak Rully girang bukan main. Ia dan teman-teman
band-nya mendapat tawaran untuk go public.
Sang produser yakin, Kak Rully punya potensi untuk menjadi penyanyi hebat di
negeri ini.
Kak Rully terus berlatih di sebuah
studio bersama sang produser yang “menemukan”nya. Hampir setiap hari latihan.
Kak Rully pun tidak bisa lagi pulang bareng denganku karena sepulang sekolah ia
harus latihan di studio yang jaraknya berlawanan dengan arah menuju rumah.
“Maaf Renita.. maafkan kakakmu ini.
Nanti aku belikan cokelat kesukaanmu deh. Kamu naik angkot ya. Doain aku nih
biar mimpiku jadi penyanyi berjalan lancar. Oke?” Kata Kak Rully saat pertama
kali aku harus pulang sendiri.
Aku
tidak terlalu masalah pulang naik angkot. Hanya saja Ayah sudah berpesan, agar
aku dan Kak Rully berangkat dan pulang sekolah bersama dalam satu motor. Kak
Rully sekaligus menjagaku, itu yang Ayah bilang. Sebelumnya, aku tidak selalu
bersama Kak Rully. Saat SD dan SMP, aku naik sepeda karena jarak dari rumah
tidak terlalu jauh. Saat itu aku dan Kak Rully juga beda sekolah. Barulah saat
SMA ini, aku satu sekolah dengan Kak Rully. Jaraknya lumayan jauh dari rumah.
Jadi Ayah berpesan kepada kami untuk berangkat dan pulang sekolah bersama.
Untungnya Kak Rully tidak keberatan dan dengan senang hati memenuhi permintaan
Ayah.
Kak Rully semakin sibuk. Hampir
tidak langsung ke rumah saat pulang sekolah. Setiap hari selalu seperti itu.
Latihan.. latihan.. dan latihan. Semoga kerja keras dan usaha Kakak tidak
sia-sia. Aku turut mendoakan kesuksesan Kak Rully yang tengah menjalin benang
mimpinya supaya menjadi utuh.
Aku kangen juga dengan Kak Rully.
Setiap hari selalu… saja ada hal yang kami ributkan. Aku sering kesal
karenanya. Perbedaan usia yang hanya empat tahun, membuatku dan Kak Rully tidak
terpaut jauh. Bahkan saat ke sekolah, beberapa teman sekelasku yang melihatnya,
mengira aku diantar pacar. Apa? Pacar? Aku sama sekali tidak berpikiran untuk
pacaran.
“Kak, kok pulangnya malam terus
sih?” tanyaku saat Kak Rully baru saja pulang latihan. Aku tengah menonton TV
yang entah apa acaranya. Demi membunuh rasa sepi, aku menonton televisi. Ayah
dan Bunda sudah masuk ke kamar untuk beristirahat. Sudah tidak khawatir lagi
Kak Rully pulang malam karena kesibukannya jelas. Ayah dan Bunda memang sangat
mendukung kegiatan Kak Rully sekarang ini.
Kak Rully yang ikut ekskul silat di
sekolah, membuat Ayah dan Bunda tenang, anak lelakinya dapat menjaga diri.
Sejak sering pulang malam, Kak Rully memegang kunci rumah khusus untuknya.
“Latihan Ta. Kerja keras demi
menggapai mimpi.” Penampilan Kak Rully terlihat kusut. Wajahnya sangat lelah.
Aktivitasnya saat ini memang menguras energi. Semoga kesibukan tidak merenggut
kesehatan kakakku.
Kak Rully duduk di sampingku.
Menyandarkan pungguhnya di sandaran sofa yang empuk dengan kedua tangan telentang
sambil memejamkan mata. Aku menghela nafas. Aku rindu kakakku yang dulu.
“Kak Rully udah sholat?”
“Hmm..” Kak Rully menjawab sambil
memejamkan mata. Entah ia mendengar pertanyaanku atau tidak.
“Kak Rully udah sholat belum?”
“Belum. Ngantuk banget nih, Ta.
Asli,” kata Kak Rully sambil menggeleng-gelengkan kepala mengusir kantuk.
“Sholat dulu Kak, sebelum tidur.
Nanti takutnya bablas sampai subuh.”
“Bu Ustadzah ngingetin mulu nih. Aku
masuk kamar dulu. Capek.” Kak Rully bangkit dari sofa dan berjalan gontai
menuju kamarnya yang tidak jauh dari ruang keluarga.
Aku hanya menatap Kak Rully dalam
diam. Semoga Kak Rully tidak berubah. Sesibuk apapun, sholat jangan dilupakan.
Aku menghela nafas panjang. Semoga kesibukan duniawi yang hanya sesaat tidak
menjauhkan Kak Rully dari Sang Ilahi.
Aku mematikan televisi dan masuk ke
kamar.[]
Jogja,
24 Oktober 2014
Komentar
Posting Komentar