#SatuHariSatuKarya JANJI YANG TAK TERUCAP
6 November 2014
Hari
ini terasa lebih indah dari biasanya. Hati terasa bahagia terus-menerus.
Berkali-kali Rama mengucap hamdalah atas nikmat yang terasa luar biasa hari
ini. Sepertinya hari ini adalah hari yang membahagiakan dibanding hari-hari lainnya.
Rama menatap pantulan dirinya di depan cermin. Setelan jas berwarna putih
dengan dasi hitam tampak begitu pas. Seolah pakaian itu memang khusus tercipta
untuknya. Rambut cepak lelaki berusia 22 tahun itu tampak licin oleh gel
rambut. Rama tersenyum. Sepertinya kegantengannya kali ini meningkat dibanding
hari biasanya. Rama tertawa dalam hati.
“Ayo Nak, sudah waktunya.” Bunda
muncul dari balik pintu.
Rama
melangkah mantap. Hari ini adalah hari yang paling ditunggu. Baru saja Rama
memegang gagang pintu, ia merasa ada yang kurang. Rama meraba tubuhnya. Semua
terlihat rapi. Rama kembali bercermin. Sempurna. Tidak ada yang salah. Bahkan
Rama memeriksa sepatunya. Tidak ada yang
kurang, batinnya.
Bunda terdengar memanggil-manggil.
Rama bergegas keluar kamar. Orang-orang sudah menunggunya.
[]
Rama duduk dengan tenang sambil
tetap memasang senyum. Orang-orang sudah mulai berdatangan. Walau Rama telah
mempersiapkan diri jauh hari sebelumnya, tetap saja hatinya terasa tidak karuan
dan jantungnya berdetak lebih cepat. Rama menghela nafas panjang demi
menenangkan hatinya. Tenang.. tenang..
Semua akan baik-baik saja. Rama berkali-kali berkata kepada dirinya
sendiri.
Lima menit berlalu. Rama mulai
merasa tenang. Orang-orang tampak sibuk dengan orang di samping masing-masing.
Saling bercerita entah apa. Rama melonggarkan sedikit dasinya. Rasanya
lama-lama dasi ini akan mencekik lehernya.
Sepuluh menit. Rama mulai merasa
aneh. Tidak biasanya seperti ini. Rama melirik Bunda yang tengah kipas-kipas,
tidak jauh darinya.
“Tenang. Bersabarlah.”
Rama
memandang Ayah. Pria paruh baya itu hanya mengangguk, menyetujui perkataan
Bunda. Ayah memang tidak banyak bicara. Berbeda dengan Bunda yang sedikit
cerewet.
Suasana semakin ramai dan akan lebih
ramai lagi nanti. Rama melihat pintu masuk. Tidak ada tanda-tanda. Ia ingin
menghubungi seseorang tapi sayang ponselnya sengaja ia tinggal di kamar.
[]
Vidia tengah mematut dirinya di
depan cermin. Gaun putih dengan hiasan mawar merah itu membuatnya terlihat
seperti princess. Vidia tersenyum.
Rambut panjang hitamnya tergerai hingga bahu.
“Kenapa sih Vid, kamu berubah
pikiran?” Risa berdiri di samping sahabatnya itu.
“Ini lebih bagus,” kata Vidia sambil
memutar tubuhnya.
“Iya, tapi kamu yakin? Rambut kamu
bagus lho dibiarkan tergerai. Jujur, aku iri dengan rambut indahmu, Vidia.”
Vidia mengambil kain panjang yang
senada dengan gaunnya dan memakainya menutup rambut hitam legamnya. Vidia sibuk
dengan kain itu. Risa hanya melihat Vidia yang terlihat cekatan memakai kain
panjang itu.
“Vid, kamu selama ini belajar
tutorial hijab ya? Kok cepat gitu pakainya?
“Nggak kok.”
“Kamu ‘kan selama ini jarang
berjilbab. Paling pas pengajian aja kamu pakai jilbab. Apalagi pas pengajian
ustad itu tuh…” Risa tersenyum dan memberikan penekanan pada kata “ustad”.
“Kita ‘kan muslimah. Masa iya
berjilbab menjadi hal yang sulit? Ini sih gampang.” Vidia telah selesai dengan
jilbabnya. Tampak cantik terlebih dengan gaun yang ia kenakan. Membuat Vidia
jauh tampak berbeda. Risa pun mengakuinya. Ia seperti tidak mengenal Vidia
dengan penampilan seanggun itu.
“Aku masih nggak ngerti denganmu
Vidia, yang menutup rambut indahmu dengan jilbab. Padahal gaunmu pun sudah
panjang. Seenggaknya penampilanmu pun sudah tertutup.”
Risa
melirik sahabatnya itu lalu pelan menambahkan, “Hmm.. Vid, kamu begini bukan
karena ustad ganteng itu ‘kan?”
Vidia tampak diam beberapa saat
sebelum menjawab pertanyaan Risa. Sejurus kemudian Vidia tersenyum.
“Insya Allah semua ini lillahita’ala. Awal-awal memang benar
apa yang kamu katakan, Sa. Tapi semakin lama, semakin aku terbiasa, aku
menyadari bahwa kita diciptakan istimewa dan berharga. Sesuatu yang istimewa
apalagi berharga pasti nggak akan dibiarin gitu aja ‘kan? Harus dijaga
baik-baik.”
Risa menelan ludah. Tidak menyangka
Vidia punya jawaban yang baginya terdengar bijak. Kata-kata Vidia sedikit
menohok hatinya.
“Lagipula Sa, aku nggak mau menutup
aurat justru saat aku sudah nggak berdaya, nggak bisa berbuat apa-apa. Hanya pasrah
dengan apa yang sudah kita lakukan.”
Risa terdiam. Kali ini entah mengapa
kata-kata Vidia begitu membekas di hatinya.
[]
Ini sudah terlalu lama. Hampir 30
menit berlalu. Perasaan Rama semakin tidak karuan. Orang-orang pun mulai
bertanya-tanya. Kasak-kusuk mulai terdengar.
Bunda juga merasa ada yang aneh
dengan keterlambatan ini. Tidak mungkin terlambat begitu lama tanpa kabar
apapun. Bunda akan menelepon seseorang tepat saat ponselnya berdering. Akhirnya mereka menelepon juga, batin
Bunda sambil menekan tombol hijau.
Bunda terbelalak mendengar suara di seberang
sana. Air matanya langsung mengalir. Bunda melihat Rama, putra semata wayang
yang tidak hanya tampan tapi juga pandai mengaji.
Rama melihat Bunda menangis.
“Kenapa Bunda?”
[]
Hari ini terasa biasa saja. Matahari
bersinar cerah di Minggu pagi yang beranjak menjadi siang. Rama terdiam
menikmati hari ini. Berusaha untuk selalu menyebut asma-Nya di dalam hati
terus-menerus.
Sudah tujuh hari berlalu. Rama sudah
menata hatinya walau akan rapuh kembali saat ia mengingat hari itu. Bagaimana
pun Rama hanyalah manusia biasa. Ia sempat marah dengan Sang Pemberi Kehidupan.
Rama merasa ini tidak adil. Takdir ini terlalu kejam.
Namun Rama tersentak dengan
amarahnya sendiri. Ia beristighfar dengan mata menganak sungai. Rama tidak
sendirian. Ada yang selalu mengawasinya dan membersamainya setiap saat.
Sesungguhnya Dia dekat.
Tidak ada hari istimewa itu. Janji
indah itu bahkan belum keluar dari lisannya. Vidia sudah menyatu dengan tanah.
Kecelakaan saat hari bahagia itu telah mengambil Vidia untuk selamanya dan
tidak akan pernah kembali.
Rama memejamkan mata sambil terus
membasahi lisan dan hatinya dengan untaian dzikir.
“Vidia, semoga kita dipersatukan di
Surga kelak.”[]
Jogja,
20 Oktober 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar