#SatuHariSatuKarya JANJI YANG TAK TERUCAP

Hari ini terasa lebih indah dari biasanya. Hati terasa bahagia terus-menerus. Berkali-kali Rama mengucap hamdalah atas nikmat yang terasa luar biasa hari ini. Sepertinya hari ini adalah hari yang membahagiakan dibanding hari-hari lainnya. Rama menatap pantulan dirinya di depan cermin. Setelan jas berwarna putih dengan dasi hitam tampak begitu pas. Seolah pakaian itu memang khusus tercipta untuknya. Rambut cepak lelaki berusia 22 tahun itu tampak licin oleh gel rambut. Rama tersenyum. Sepertinya kegantengannya kali ini meningkat dibanding hari biasanya. Rama tertawa dalam hati.

“Ayo Nak, sudah waktunya.” Bunda muncul dari balik pintu.

Rama melangkah mantap. Hari ini adalah hari yang paling ditunggu. Baru saja Rama memegang gagang pintu, ia merasa ada yang kurang. Rama meraba tubuhnya. Semua terlihat rapi. Rama kembali bercermin. Sempurna. Tidak ada yang salah. Bahkan Rama memeriksa sepatunya. Tidak ada yang kurang, batinnya.

Bunda terdengar memanggil-manggil. Rama bergegas keluar kamar. Orang-orang sudah menunggunya.

[]

Rama duduk dengan tenang sambil tetap memasang senyum. Orang-orang sudah mulai berdatangan. Walau Rama telah mempersiapkan diri jauh hari sebelumnya, tetap saja hatinya terasa tidak karuan dan jantungnya berdetak lebih cepat. Rama menghela nafas panjang demi menenangkan hatinya. Tenang.. tenang.. Semua akan baik-baik saja. Rama berkali-kali berkata kepada dirinya sendiri.

Lima menit berlalu. Rama mulai merasa tenang. Orang-orang tampak sibuk dengan orang di samping masing-masing. Saling bercerita entah apa. Rama melonggarkan sedikit dasinya. Rasanya lama-lama dasi ini akan mencekik lehernya.

Sepuluh menit. Rama mulai merasa aneh. Tidak biasanya seperti ini. Rama melirik Bunda yang tengah kipas-kipas, tidak jauh darinya.

“Tenang. Bersabarlah.”

Rama memandang Ayah. Pria paruh baya itu hanya mengangguk, menyetujui perkataan Bunda. Ayah memang tidak banyak bicara. Berbeda dengan Bunda yang sedikit cerewet.

Suasana semakin ramai dan akan lebih ramai lagi nanti. Rama melihat pintu masuk. Tidak ada tanda-tanda. Ia ingin menghubungi seseorang tapi sayang ponselnya sengaja ia tinggal di kamar.

[]

Vidia tengah mematut dirinya di depan cermin. Gaun putih dengan hiasan mawar merah itu membuatnya terlihat seperti princess. Vidia tersenyum. Rambut panjang hitamnya tergerai hingga bahu.

“Kenapa sih Vid, kamu berubah pikiran?” Risa berdiri di samping sahabatnya itu.

“Ini lebih bagus,” kata Vidia sambil memutar tubuhnya.

“Iya, tapi kamu yakin? Rambut kamu bagus lho dibiarkan tergerai. Jujur, aku iri dengan rambut indahmu, Vidia.”

Vidia mengambil kain panjang yang senada dengan gaunnya dan memakainya menutup rambut hitam legamnya. Vidia sibuk dengan kain itu. Risa hanya melihat Vidia yang terlihat cekatan memakai kain panjang itu.

“Vid, kamu selama ini belajar tutorial hijab ya? Kok cepat gitu pakainya?

“Nggak kok.”

“Kamu ‘kan selama ini jarang berjilbab. Paling pas pengajian aja kamu pakai jilbab. Apalagi pas pengajian ustad itu tuh…” Risa tersenyum dan memberikan penekanan pada kata “ustad”.

“Kita ‘kan muslimah. Masa iya berjilbab menjadi hal yang sulit? Ini sih gampang.” Vidia telah selesai dengan jilbabnya. Tampak cantik terlebih dengan gaun yang ia kenakan. Membuat Vidia jauh tampak berbeda. Risa pun mengakuinya. Ia seperti tidak mengenal Vidia dengan penampilan seanggun itu.

“Aku masih nggak ngerti denganmu Vidia, yang menutup rambut indahmu dengan jilbab. Padahal gaunmu pun sudah panjang. Seenggaknya penampilanmu pun sudah tertutup.”

Risa melirik sahabatnya itu lalu pelan menambahkan, “Hmm.. Vid, kamu begini bukan karena ustad ganteng itu ‘kan?”

Vidia tampak diam beberapa saat sebelum menjawab pertanyaan Risa. Sejurus kemudian Vidia tersenyum.

“Insya Allah semua ini lillahita’ala. Awal-awal memang benar apa yang kamu katakan, Sa. Tapi semakin lama, semakin aku terbiasa, aku menyadari bahwa kita diciptakan istimewa dan berharga. Sesuatu yang istimewa apalagi berharga pasti nggak akan dibiarin gitu aja ‘kan? Harus dijaga baik-baik.”

Risa menelan ludah. Tidak menyangka Vidia punya jawaban yang baginya terdengar bijak. Kata-kata Vidia sedikit menohok hatinya.

“Lagipula Sa, aku nggak mau menutup aurat justru saat aku sudah nggak berdaya, nggak bisa berbuat apa-apa. Hanya pasrah dengan apa yang sudah kita lakukan.”

Risa terdiam. Kali ini entah mengapa kata-kata Vidia begitu membekas di hatinya.

[]

Ini sudah terlalu lama. Hampir 30 menit berlalu. Perasaan Rama semakin tidak karuan. Orang-orang pun mulai bertanya-tanya. Kasak-kusuk mulai terdengar.

Bunda juga merasa ada yang aneh dengan keterlambatan ini. Tidak mungkin terlambat begitu lama tanpa kabar apapun. Bunda akan menelepon seseorang tepat saat ponselnya berdering. Akhirnya mereka menelepon juga, batin Bunda sambil menekan tombol hijau.

Bunda terbelalak mendengar suara di seberang sana. Air matanya langsung mengalir. Bunda melihat Rama, putra semata wayang yang tidak hanya tampan tapi juga pandai mengaji.

Rama melihat Bunda menangis.

“Kenapa Bunda?”

[]

Hari ini terasa biasa saja. Matahari bersinar cerah di Minggu pagi yang beranjak menjadi siang. Rama terdiam menikmati hari ini. Berusaha untuk selalu menyebut asma-Nya di dalam hati terus-menerus.

Sudah tujuh hari berlalu. Rama sudah menata hatinya walau akan rapuh kembali saat ia mengingat hari itu. Bagaimana pun Rama hanyalah manusia biasa. Ia sempat marah dengan Sang Pemberi Kehidupan. Rama merasa ini tidak adil. Takdir ini terlalu kejam.

Namun Rama tersentak dengan amarahnya sendiri. Ia beristighfar dengan mata menganak sungai. Rama tidak sendirian. Ada yang selalu mengawasinya dan membersamainya setiap saat. Sesungguhnya Dia dekat.

Tidak ada hari istimewa itu. Janji indah itu bahkan belum keluar dari lisannya. Vidia sudah menyatu dengan tanah. Kecelakaan saat hari bahagia itu telah mengambil Vidia untuk selamanya dan tidak akan pernah kembali.

Rama memejamkan mata sambil terus membasahi lisan dan hatinya dengan untaian dzikir.

“Vidia, semoga kita dipersatukan di Surga kelak.”[]


Jogja, 20 Oktober 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar