Pria
bersetelan rapi itu tampak ragu. Hati kecilnya mengatakan tidak, tapi
kesempatan yang ada benar-benar menggiurkan. Ia menghela nafas. Jangan.. jangan lakukan. Ia memejamkan
mata lalu bersandar di sandaran kursi yang empuk.
Fasilitas yang selama ini ia
dapatkan sudah lebih dari cukup. Penghasilan tetap, ruang kerja nyaman dan
ber-AC, dan tidak perlu berpanas-panasan di bawah terik matahari. Cukup duduk
di kursinya yang empuk dengan komputer menyala yang menampilkan sederet angka.
Bukan pekerjaan yang sulit. Memang cukup membuat otak lelah, tapi deretan
angka-angka rupiah itu sudah menjadi makanan sehari-harinya sejak duduk di
bangku kuliah.
Setumpuk berkas hari ini sudah
menunggunya. Ia mengambil berkas pertama yang berada di urutan paling atas. Ia
pun melupakan keragu-raguan yang sempat menyerang hatinya.
[]
“Mak, kenapa nggak jualan di rumah
saja?” Bayu duduk di samping Emak yang tengah memasukkan nasi rames dalam wadah
mika ke dalam keranjang bambu.
“Emak masih kuat kok.”
Emak
memang teguh pendirian. Bayu paham betul dengan Emak yang sudah tidak lagi
muda. Setelah keliling menjajakan nasi rames, badan Emak akan sakit di
sana-sini. Bayu sudah menyarankan agar Emak berjualan di rumah saja, namun Emak
menolak karena berjualan keliling ini adalah keinginan Emak sendiri. Emak
senang dan ikhlas melakukannya walau setelah itu badannya akan pegal-pegal.
“Biar Bayu yang jual nasi ramesnya,
Mak.”
“Jangan. Kamu belajar yang rajin
sampai jadi sarjana.”
Bayu,
si bungsu dari lima bersaudara. Keempat kakaknya, semuanya lelaki, sudah
menikah dan memiliki hidup masing-masing. Hanya Bayu yang masih sekolah dan
tinggal bersama Emak. Bapak sudah lama meninggal karena kecelakaan sepeda
motor. Kakak-kakak Bayu jarang datang ke rumah menemui Emak. Jangankan datang menjenguk
Emak, mengirim uang pun hampir tidak pernah. Bayu mengerti kondisi
kakak-kakaknya yang serba terbatas. Bayu juga tahu Emak sangat merindukan
anak-anaknya yang telah memiliki kehidupan sendiri jauh di sana. Bayu sedih
mengingatnya.
“Bayu di sekolah bisa sambil jualan,
Mak.”
“Nggak usah. Sebaiknya kau pergi ke
sekolah sekarang. Nanti telat.”
Emak
memang tidak pernah lelah berkeliling menembus teriknya matahari, menjual nasi
rames yang Emak racik sendiri. Saat jam makan siang adalah waktu yang sangat
tepat bagi Emak untuk menjajakan nasi ramesnya. Salah satu pelanggan setianya
bernama Herman. Hampir setiap siang Herman menyantap nasi rames buatan Emak.
Emak senang mengobrol dengan Herman.
Sambil melayani pembeli, Emak sering bertanya tentang kehidupan pribadi Herman.
Pria itu tidak keberatan dengan pertanyaan Emak. Wanita paruh baya itu pun juga
sedikit-banyak menceritakan tentang kehidupan pribadinya.
“Nak Herman sudah menikah?”
“Alhamdulillah sudah, Mak.” Herman
dan orang-orang yang membeli nasi rames kepada Emak, memang tetap memanggil
“Emak” sehingga nasi rames yang Emak jual terkenal dengan nama “Nasi Rames
Emak”.
“Wah.. syukurlah. Rezeki orang yang
sudah menikah, Insya Allah dilipat gandakan oleh Allah. Tetap berusaha di jalan
yang halal, rezeki pasti nggak akan ke mana-mana,” kata Emak.
Herman
tersenyum sambil menyantap nasi rames yang enak itu dengan nikmat. Selesai
menikmati santap siang, Herman berpamitan kepada Emak karena harus kembali
bekerja. Sudah lama Herman menjadi pelanggan nasi ramesnya, Emak tidak tahu di
mana Herman bekerja.
“Saya bekerja di bank itu, Mak,”
kata Herman menunjuk sebuah gedung besar.
“Wah.. Kok Emak nggak pernah ketemu
Nak Herman ya? Emak juga nabung di bank itu. Sedikit-sedikit uang yang Emak
punya, Emak tabung buat biaya naik haji. Insya Allah.”
Hati
Herman tersentuh mendengar perkataan Emak. Mulia sekali keinginannya. Ia pun
teringat dengan dirinya sendiri. Pekerjaan Herman jelas mempunyai penghasilan
yang lebih besar dari Emak, tapi ia sama sekali belum berpikiran untuk
menunaikan ibadah haji. Ada yang mengganjal di hatinya.
[]
Keragu-raguan itu selalu datang. Ia
sudah tidak tahan. Ia ingin menolak. Berontak. Tidak ingin melakukannya. Entah
kenapa saat ia bertekad seperti itu, ia teringat dengan perempuan yang ia
cintai. Alasan terbesar ia melakukan perbuatan ini. Perempuan itu teramat ia
cintai. Ia takut kehilangan cintanya. Semua ini ia lakukan demi perempuannya.
Akhirnya ia mengalahkan
keragu-raguan dalam hatinya. Bahkan teriakan-teriakan di dalam hatinya sudah
tidak mempan lagi untuk mencegahnya. Ia pun mengambil sesuatu yang bukan
menjadi haknya.
“Bagus suamiku. Kalau kau cinta
padaku, kau pasti mau melakukan apa saja yang aku inginkan, bukan?”
Tubuh
Herman bergetar. Hatinya bergolak hebat. Namun perempuan yang menjadi istrinya
itu seolah menghipnotisnya. Herman tak kuasa menolak. Ia terlalu takut
kehilangan. Perbuatan haram itu didorong oleh rasa cinta yang begitu besar. Ia
takut jika tidak memenuhi keinginan sang istri, maka ia akan kehilangan
cintanya untuk selamanya.
Herman terdiam. Ia tahu perbuatannya
ini salah dan sangat terkutuk. Ia telah mengambil sesuatu milik orang lain.
Uang nasabah, termasuk uang Emak, sudah Herman ambil untuk memenuhi keinginan
sang istri yang absurd.
Sang istri tersenyum puas. Herman
entah sampai kapan akan melepas jerat rantai yang mengikat hatinya.[]
Jogja,
23 Oktober 2014
Komentar
Posting Komentar