Lampu
merah menyala. Kendaraan mulai menghentikan lajunya. Beberapa ada yang
pura-pura tidak melihat dengan menerobos rambu itu. Seorang pria duduk di bawah
patung garuda, tidak jauh dari lampu yang menyala merah. Ia berjalan terseok-seok
dengan membawa koran using di tangan kanannya yang bengkong. Tatapannya tidak
fokus. Bola mata menatap ke segala arah dengan ekspresi yang entah apa.
Pria itu menyodorkan koran di
tangannya. Orang-orang pura-pura tidak peduli. Ada juga yang melihatnya sekilas,
kemudian membuang muka. Pria berkulit cokelat legam dengan kaos oblong yang
bolong di sana-sini dan celana pendek putih yang kekuningan itu hanya berdiri
di bawah lampu merah.
Seseorang berbisik kepada temannya, “Eh siapa sih dia?”
Yang ditanya hanya mengendikkan
bahu. Lampu merah masih menyala. Timer masih berjalan menuju nyala hijau.
Terasa lama sekali. Siang yang panas ini membuat lampu merah yang hanya menyala
selama 60 detik itu terasa begitu lama.
[]
Darmanto setiap hari bekerja dengan
tekun melebihi siapapun. Walau pendengarannya tiada dan suaranya masih di Sang
Pencipta, pria 35 tahun itu sangat cekatan menjahit sepatu-sepatu. Dunianya
yang hening membuat ia begitu serius dengan pekerjaannya. Teman-teman seprofesi
sampai heran melihat Darmanto yang begitu cepat menyelesaikan pekerjaan dengan
hasil yang lebih banyak dari yang lainnya. Hasil pekerjaan Darmanto tidak
asal-asalan. Selain cepat, juga memuaskan.
Darmanto punya alasan kuat mengapa
begitu cekatan dengan pekerjaannya. Ia punya istri yang begitu mengerti dirinya
dan anak-anak yang lucu menggemaskan. Ia ingin anak-anaknya hidup berkecukupan,
tidak seperti dirinya. Ia juga ingin anak-anaknya sekolah hingga jadi sarjana.
Darmanto pun bekerja lebih keras dari siapapun demi istri dan anak tercinta.
Seseorang ada yang menyentuh
bahunya. Sudah waktunya istirahat. Darmanto meninggalkan pekerjaannya sejenak.
Ia melangkah menuju gerbang pabrik yang mengarah ke jalan raya. Saat
teman-temannya memilih makan di kantin, Darmanto memilih untuk menemui
seseorang yang sudah menunggunya. Satpam yang menjaga gerbang tersenyum kepada
Darmanto lalu membuka gembok yang mengunci gerbang tinggi itu. Satpam bernama
Wahyu itu hafal betul dengan kebiasaan Darmanto setiap jam istirahat tiba.
Marini tersenyum melihat Darmanto
muncul dari balik gerbang. Wanita itu langsung meraih tangan kanan Darmanto dan
mencium punggung tangannya. Marini mengeluarkan sebuah kotak dari dalam
keranjang bambunya. Makan siang untuk sang suami.
“Anak-anak bagaimana?” tanya
Darmanto dengan bahasa isyarat.
“Baik, Mas. Aku titipkan ke Bu
Handoyo. Nanti setelah gorengan ini terjual habis, aku segera pulang,” jawab
Marini melirik tempe, tahu, pisang dan bakwan goreng di dalam keranjang bambu.
Darmanto
makan dengan lahap nasi putih dengan lauk sawi itu. Terasa nikmat. Kantin yang
tidak jauh dari pabrik memang menyediakan makanan yang beragam dan tentunya
lebih enak. Bagi Darmanto, masakan istrinya walau jauh dari kata mewah tapi
penuh dengan cinta. Marini tersenyum melihat suaminya makan dengan lahap.
Jalanan ramai dan asap kendaraan
memenuhi udara. Darmanto dan Marini duduk di atas tikar, di bawah pohon berdaun
lebat yang cukup untuk menaungi mereka berdua dari sengat terik matahari, yang
berdiri tidak jauh dari gerbang pabrik.
Selesai makan, Darmanto segera
kembali masuk ke pabrik, walau jam istirahat masih tersisa. Tujuannya adalah
mushola yang tidak jauh dari pos satpam.
“Jangan lupa sholat dzuhur,” pesan
Darmanto.
Istrinya
mengangguk, tersenyum dan mencium punggung tangan sang suami sebelum
melanjutkan berkeliling membawa gorengan di dalam keranjang.
Darmanto mengantar kepergian
istrinya dengan doa, semoga dagangan Marini segera habis terjual sehingga bisa
cepat pulang menemani anak-anak.
[]
Darmanto tidak pernah mengeluh
dengan kehidupannya. Semuanya memang serba terbatas namun ia bahagia dengan
keluarga kecilnya. Setiap malam, di sepertiga yang Kau janjikan, sajadah biru
yang menjadi mas kawin pernikahan mereka, tampak basah oleh air mata. Dalam
diam, Darmanto bercerita kepada Sang Penguasa Semesta. Dormanto menanjatkan doa
untuk dirinya sendiri, istrinya, anak-anaknya, demi kehidupan yang lebih baik.
Darmanto tidak pernah lelah meminta dengan setulus hati karena ia percaya Sang
Pemberi mendengar doanya dan suatu saat, di waktu yang indah, doa-doanya akan
dikabulkan.
Selesai bermunajat, Darmanto membaca
ayat-ayat suci. Begitu khusyuk hingga adzan subuh terdengar. Darmanto memang
tidak mendengar lantunan adzan subuh, tapi hatinya selalu mengatakan bahwa
adzan telah berkumandang. Waktu sholat telah tiba. Bukan melihat jam dinding
yang jarumnya terhenti karena baterainya sudah lama habis dan belum sempat
diganti. Darmanto pun bergegas mengambil air wudhu.
Marini sudah menyiapkan singkong
rebus, hasil dari kebun di samping rumah, dengan segelas teh panas tanpa gula.
Marini juga menyiapkan sarapan untuk anak-anaknya sambil menyiapkan barang
dagangan.
Selesai sholat, Darmanto langsung
menyantap singkong rebus sebelum berangkat kerja jam 7 pagi. Darmanto hening
menyantap singkong rebusnya tanpa mengusik Marini yang tengah membuat gorengan
untuk dijual secara berkeliling oleh Marini sendiri.
[]
Marini sudah siap menjajakan
gorengan. Anak-anaknya pun sudah mandi. Ia akan minta tolong Bu Handoyo, wanita
yang menjanda dengan anak-anak yang merantau ke luar kota, untuk kesekian
kalinya. Marini sudah menganggap Bu Handoyo sebagai ibunya sendiri. Usia Bu
Handoyo tidak jauh berbeda dengan usia ibunya Marini jauh di kampung. Memang Bu
Handoyo sangat baik terhadap keluarga Marini.
Marini mendengar suara-suara ribut
di luar. Penasaran, ia mengintip dari balik jendela. Marini kaget bukan main
saat ada seseorang yang melempar batu ke arah jendela rumahnya. Kaca yang pecah
berserakan di lantai. Tanpa pikir panjang, Marini berlari menuju anak-anaknya.
Lemparan batu semakin banyak. Apa yang terjadi? Marini panik namun tetap
berusaha melindungi anak-anaknya yang masih kecil sambil tetap menyebut
asma-Mu.
Di luar, suasana semakin berisik dan
tidak terkendali.
[]
Darmanto duduk di bawah patung
garuda yang gagah dengan sayap membentang. Lambang Negara demokrasi ini. Panas
begitu menyengat, tapi Darmanto sudah kebal dengan terik itu. Panas bola api
yang setia menggantung di langit ini bukan apa-apanya dibanding kehidupannya
yang keras dan penuh liku. Hanya Marini dan anak-anaknya yang menjadi
penyemangat untuk tidak menyerah.
Tidak jauh dari patung garuda, lampu
merah menyala. Darmanto segera beranjak dari duduknya, berjalan dengan kaki
terseok-seok dan tangan kanan bengkong yang memegang koran using. Darmanto bukan
ingin menjual koran itu. Lagipula siapa yang mau beli koran lama begitu?
Ia hanya ingin memberitahu
orang-orang bahwa ia mencari keadilan. Marini dan anak-anaknya yang tidak tahu
apa-apa harus menjadi korban dari penguasa serakah yang ingin mengambil
tanahnya demi sebuah gedung tinggi berdinding kaca.
Sepuluh tahun berlalu, Darmanto
tetap mencari keadilan itu. Berita naas itu terpampang dengan jelas di koran usang
yang ia bawa ke mana-mana. Sejak Marini dan anak-anaknya terpanggang di rumah
mereka sendiri, Darmanto mulai rapuh jiwa dan raganya. Sebuah penyakit pun
bersarang di tubuhnya. Penyakit yang membuat Darmanto kesusahan untuk berjalan
dan berdiri. Tangan kanannya tidak berfungsi dengan normal sehingga terlihat
bengkok.
Bola mata hitamnya melihat ke segala
arah. Darmanto yang hanya punya langit sebagai naungan dan tanah sebagai tempat
untuk merebahkan diri, tetap berdiri di bawah lampu merah dengan koran usang
yang disodor-sodorkan kepada pengguna jalan yang menanti lampu merah menjadi
lampu hijau.
Darmanto hanya ingin mereka membaca
berita naas itu. Namun orang-orang tidak ada yang peduli. Mereka pikir,
Darmanto sudah gila.
Lampu merah berubah menjadi hijau.[]
Jogja,
21 Oktober 2014
Komentar
Posting Komentar