Langsung ke konten utama

CICILAN BELANJA

(pexels.com)
Setiap orang pasti punya keinginan. Entah itu kebutuhan atau sekedar keinginan. Kebutuhan, jelas diusahain banget. Yah... namanya juga butuh. Sekedar keinginan, ada yang bela-belain ngusahain, ada juga yang bersikap "ya sudahlah ya". Mewujudkan keinginan enggak harus bayar. Enggak semua keinginan berhubungan sama materi 'kan? Bayar pun, ada yang enggak perlu mikir kelamaan nunggu duit kumpul. Cicilan adalah koentji.
Banyak sesuatu yang bisa dibayar pake sistem cicilan, mulai dari alat rumah tangga, rumah, sampai gadget. Sejak era smartphone sangat populer, enggak sedikit yang memanfaatkan pembayaran cicilan demi bisa mendapatkan smartphone keren. Apalagi yang harganya kayak harga motor sport. Cicilan adalah koentji.
Pembayaran pake sistem kayak gini ada plus-minusnya. Baiknya, setiap orang bisa membeli barang yang diinginkannya tanpa terkendala harga tinggi. Jeleknya kalo justru terjebak dengan sistem cicilan dan ambil barang banyak banget tapi cuma demi menunjang gaya hidup. Kalo demi bisnis, masih oke. Nantinya juga akan menghasilkan uang. Kalo cuma buat gaya hidup, menghasilkan apa dong? Like sama followers di Instagram? Memangnya bisa jadi duit? Bisa.
Sekarang masanya influencer. Pekerjaan yang banyak diinginkan generasi milenial. Kelihatan enak dan duitnya banyak. Benarkah seenak itu? Salah satu cara buat jadi influencer emang harus punya daya tarik biar followers nambah. Enggak harus penampilan, tapi bisa dengan karya, aksi-aksi sosial. Sangat disayangkan sih kalo beli ini-itu dengan sistem cicilan tapi cuma demi gaya hidup, demi like dan followers di Instagram. Terlalu beresiko dan terlalu bodoh.
Kalo yakin beli barang pake sistem cicilan, harus siap dan telaten setiap bulan bayar tagihan tepat waktu. Jangan terbiasa telat karena nantinya bisa bikin susah sendiri. Harus komitmen dan tanggung jawab. Bukan cuma ngerasain enaknya saja punya barang ini dan itu, tapi juga harus sadar diri barang yang belum lunas ini harus dibayar lunas secara bertahap.
Ada juga kok yang baru bayar cicilan dua atau tiga kali dan menyerah. Ada saja alasannya. Bisa jadi alasan beli bukan karena butuh tapi karena nafsu.

Jogja, 1 Mei 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan