Langsung ke konten utama

BAIK DAN BURUK SI PONSEL CERDAS

(png.icons8.com)
Smartphone a.k.a ponsel cerdas bisa dibilang penting dan enggak penting. Ada sisi baik dan buruknya. Penting, karena hampir semua komunikasi dilakukan pakai smartphone yang jelas butuh internet. Merogoh kocek Rp50 ribu, minimal, bukan jadi sesuatu yang berat kalau demi internet smartphone. Enggak penting, karena waktu bisa terbuang sia-sia "cuma" dengan geser-geser timeline Instagram, ikut-ikutan komen di tweet-nya selebtweet, bolak-balik buka WhatsApp yang isinya cuma chat grup (enggak berfaedah banget sebenarnya), nge-game yang ujung-ujungnya bosan juga. Jangan terlalu tergantung sama smartphone. Benar-benar meninggalkan, hmm... sepertinya susah ya, khususnya buat komunikasi yang berhubungan sama kerja dan yang penting lainnya.
Jangan sok bisa hidup tanpa gadget, kalau justru menyusahkan orang lain yang akan menghubungi kita. Kita memang bisa hidup tanpa gadget, tanpa smartphone, salah satunya menyimpan barang elektronik satu ini waktu lagi ngumpul keluarga/ hangout sama teman-teman, tapi janganlah bikin akses komunikasi jadi ribet gegara aksi sok bisa hidup tanpa gadget. Misal, kita benar-benar mau hidup tanpa smartphone. Orang lain yang punya kepentingan sama kita, harus komunikasi lewat apa? Sekarang paling banyak komunikasi lewat WhatsApp dan aplikasi chatting sejenis. SMS? Enggak semua orang available dengan chatting kayak gini. Telepon? Iya, kalau terbiasa apa-apa komunikasi lewat telepon. Kalau enggak? Dibikin simpel dan enggak perlu ngejelimet.
Paling tepat kita mengurangi intensitas pemakaian smartphone. Mengurangi buka chat (kalau enggak ada chat personal yang masuk), mengurangi scroll timeline yang faedahnya entah apa (buang-buang waktu sih iya), enggak menjadikan smartphone sebagai one and only di atas segala-segalanya (ini lebay sih).
Saya memutuskan mengurangi intensitas chatting (hanya dibuka saat ada chat personal masuk). Saya hanya ingin menjadikan smartphone sedikit lebih berfaedah (walau ada waktu smartphone saya benar-benar enggak berfaedah), salah satunya dengan enggak selalu membuka aplikasi chatting, sekalipun ada notifikasi. Kebanyakan justru notifikasi dari grup chat yang bisa dibilang penting dan enggak penting juga. Kalau memang ada perlu dan kepentingan, chat personal bisa 'kan? Mulai sekarang (sejak cerita ini ditulis), kalau ada yang penting, chat personal saja. Kalau di grup chat, saya akan lama responnya, karena itu tadi, mengurangi intesitas buka aplikasi chatting dan hanya membukanya saat ada chat personal yang masuk. Egois? Menurut saya enggak sih. Sekarang saya hanya ingin enggak terlalu mengikuti grup chat. Nilai kepentingannya enggak terlalu "penting" juga.

Jogja, 25 Mei 2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta...

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato...

DI BELAKANG (ADA) ANGKA DUA

Bisa dibilang aku mampir ke sini cuma di momen seperti hari ini. 16 Agustus. Ada momen spesial apa sih di 16 Agustus? Kata Sal Priadi, "...serta mulia, panjang umurnya." Hari lahir. Tahun ini aku melewati hari lahir ke-32. Wow! Ti-ga pu-luh du-a. Sama-sama di belakang ada angka dua tapi beda rasanya ya waktu hari lahir ke-22 dan hari ini. Waktu 22 tahun aku nggak merasa ada tekanan. Kayak berlalu gitu aja. Aku ingat hari lahir ke-22-ku terjadi setahun setelah KKN di Kulonprogo. Pengingatnya adalah waktu KKN aku pernah ditanya ulang tahun ke berapa. Aku jawab, "Bioskop." Twenty one alias 21. Apakah hari lahir kali ini aku merasa tertekan? Ada rasa yang membuatku khawatir tapi let it flow aja. Nggak mau jadi overthinking . Apa yang terjadi nantinya ya dihadapi dengan riang gembira lengkap dengan gedebak-gedebuk nya. Masa ulang tahun nggak ada apa-apa? Nggak mengharapkan juga sih. Nggak mengharuskan juga tapi kalo ada ya aku nikmati dan berterima kasih. Kode banget ni...