Langsung ke konten utama

MAKANAN TRADISIONAL

(twenty20.com)
Makanan-makanan tradisional dikemas modern, enggak ada salahnya, asal... otentik rasa dan penampilan enggak berubah. Packaging bolehlah sedemikian rupa. Justru rasa yang enggak boleh asal-asalan. Terus apa bedanya sama makanan-makanan tradisional di kaki lima itu dong kalo rasa dan tampilannya sama? Justru ini yang musti dikasih stabilo hijau neon. Rasa dan penampilan yang enggak berubah bisa bikin makanan tradisional yang tadinya dikenal sebatas lokal berubah jadi dikenal secara luas. Mendunia bahkan. Orang-orang perlu tahu rasa yang sesungguhnya dari makanan tradisional yang dikemas secara modern. Khususnya sih rasa ya. Tampilan diotak-atik? Boleh-boleh saja dikreasikan sekreatif mungkin. Enggak menutup kemungkinan berinovasi, tapi rasa haruslah sama.
Satu contoh, Nasi Uduk. Makanan berbahan dasar nasi ini paling banyak dijual pagi-pagi dan biasanya buat sarapan. Rasa, jangan ditanya. Pasti bakal ketagihan. Nasi Uduk tanpa lauk dijamin slllurrrppp! Jempolan banget. Apalagi ditambah emping, telor dadar, bawang goreng, abon, kering tempe, hmmm... nyummy! Mulai dari kaki lima sampai restoran bintang lama, Nasi Uduk bisa banget dinikmati siapapun dari kelas (sosial) mana pun.
Salah satu cara menaikkan kelas Nasi Uduk dilakukan sama resto cepat saji yang punya maskot bernama Ronald McDonald. Idenya bagus, mengenalkan makanan yang Indonesia banget ke lebih banyak orang. Perlu jadi catatan banget, rasa jangan sampai berubah. Harus otentik. Punya kreasi tampilan, apapun, enggak jadi masalah. Justru kalo rasa cuma ala-ala, kalah jauh sama Nasi Uduk kaki lima, bisa dibilang ini kegagalan. Kalo mau menciptakan standar sendiri rasa khas resto, sebaiknya jangan memilih dan mengenalkan makanan tradisional. Bikin saja menu sendiri suka-suka. Jangan bikin makanan tradisional dikenal banyak orang dengan rasa yang jauh dari otentik.
Enggak sedikit makanan tradisional yang enak berubah jadi beda rasa setelah disentuh sesuatu yang lebih modern. Bukan lebih enak, tapi jadi aneh rasanya.
Jogja, 28.03.2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta...

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato...

DI BELAKANG (ADA) ANGKA DUA

Bisa dibilang aku mampir ke sini cuma di momen seperti hari ini. 16 Agustus. Ada momen spesial apa sih di 16 Agustus? Kata Sal Priadi, "...serta mulia, panjang umurnya." Hari lahir. Tahun ini aku melewati hari lahir ke-32. Wow! Ti-ga pu-luh du-a. Sama-sama di belakang ada angka dua tapi beda rasanya ya waktu hari lahir ke-22 dan hari ini. Waktu 22 tahun aku nggak merasa ada tekanan. Kayak berlalu gitu aja. Aku ingat hari lahir ke-22-ku terjadi setahun setelah KKN di Kulonprogo. Pengingatnya adalah waktu KKN aku pernah ditanya ulang tahun ke berapa. Aku jawab, "Bioskop." Twenty one alias 21. Apakah hari lahir kali ini aku merasa tertekan? Ada rasa yang membuatku khawatir tapi let it flow aja. Nggak mau jadi overthinking . Apa yang terjadi nantinya ya dihadapi dengan riang gembira lengkap dengan gedebak-gedebuk nya. Masa ulang tahun nggak ada apa-apa? Nggak mengharapkan juga sih. Nggak mengharuskan juga tapi kalo ada ya aku nikmati dan berterima kasih. Kode banget ni...