Langsung ke konten utama

(MERASA) CUKUP

Manusia selalu merasa kurang ini dan kurang itu sebenarnya wajar, tapi jangan dimaklumi. Sebagian besar manusia, di mana pun, pasti merasa belum puas dengan pencapaiannya. Selalu ingin lagi, lagi, dan lebih. Enggak sedikit juga yang merasa enggak cukup. Buat orang lain bisa jadi (rasanya) sangat cukup, bahkan berlebih. Masih ingat waktu SMA, ada kakak kelas yang kuliah di Semarang. Katanya setiap bulan menghabiskan uang saku Rp 1 juta. Buat anak SMA yang seminggu paling banyak dapat jatah uang saku Rp 100 ribu, jelas terkaget-kaget. Apa Rp 1 juta? Buat beli apa? Dulu enggak ada bayangan sama sekali satu bulan dapat uang saku Rp 1 juta. Sekarang, setelah merasakan sendiri balada anak kost, apa-apa serba beli dan enggak semurah waktu SMA, Rp 1 juta buat sebulan bisa dibilang standar. Bukan berlebih, bukan juga kurang. Tergantung gaya hidup juga. Pastinya tergantung rasa syukur yang ada di hati. Sudah bersyukur hari ini?
Saya punya satu kisah nyata dari seseorang. Suatu ketika, sebut saja Dilan, mendapat tugas untuk mengurus kartu kredit punya, sebut saja Rangga. Dilan kerja di satu kantor yang mengurus kartu kredit gitu, lupa namanya apa, tapi kalo enggak salah ada kata-kata ‘audit’ begitulah. Nah.. Rangga punya tagihan kartu kredit mencapai Rp 47 juta dan sebagian besar digunakan untuk kopi berlogo mermaid ekor kembar. Berdasarkan data dari Dilan, setiap hari Rangga selalu beli kopi mahal ini. Kadang Americano, kadang bisa sampai Rp 400 ribu sekali transaksi. Rangga bukan tipe sok gaya ngopi di tempat mahal. Secara finansial, Rangga bisa dibilang oke. Gaji per bulan Rp 27 juta, cuy. Sayangnya... gaji sebesar ini enggak punya tabungan sama sekali. What? Enggak punya tabungan? Sama sekali? Gajian buat apa? Just have fun? Buat yang belum pernah mendapat gaji sebesar ini bahkan lebih, pasti menggeleng-gelengkan kepala saking herannya.
Besar pendapatan memengaruhi besar keinginan memang benar. Pegang duit sekian rupiah, enggak jarang langsung kepikiran beli ini... beli itu... Jangan terbiasa dengan kata ‘enggak cukup’. Manusia selalu merasa kurang, merasa pengen lebih. Enggak ada kata ‘cukup’ buat manusia sebelum rasa syukur ada di dalam hati.
Jogja, 15.02.2018

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan