Langsung ke konten utama

TERIRIS

Monthly wish lagi~ Waaah! Kok cepat ya? Sekarang November. Tau-tau pasti Desember. Tahun berganti. Skripsi apakabar? Belum disentuh sama sekali sejak terakhir pertemuan dari fakultas kala itu. Sekarang November loh, Gus. Mau sampai kapan ditunda terus? Jangan terlalu menikmati zona nyaman. Wake up! Wake up!
Oke... Ini monthly wish-ku. Skripsi. As always. Monthly wish bulan depan skripsi (lagi)? Walau enggak menyibukkan diri dengan skripsi, seenggaknya aku tetap berkarya. Aku siaran, aku nge-blog, aku menulis. Yakin, itu semua bukan alibimu doang, Gus? Percuma kamu siaran, nge-blog, nulis, kalo tanggung jawabmu sebagai mahasiswa strata satu belum diselesaikan. Lihat teman-temanmu. Banyak yang udah melangkah jauh di depan 'kan? Kamu masih saja jalan di tempat. Mungkin kamu memang berkarya, tapi ibarat burung dalam sangkar, kebebasanmu enggak ada. Kamu enggak bisa berkarya lebih.. lebih.. dan lebih jauh lagi 'kan karena skripsi yang masih belum diselesaikan?
Iya, aku salah. Aku terlalu banyak menunda satu tugas akhir itu. Aku salah. Bunuh aku, ku mohon! Lebay amat lu, Tong. Kenapa memangnya, aku belum lulus? Apa aku menjadi sampah masyarakat dengan status 'belum lulus' ini? Tenang, Gus. Tenang. *)elus-elus dada yang berbulu (eh, ada bulu dadanya~) #salfok
Pembuka blog di hari pertama November yang makjedug di hati. Padahal awalnya aku bukan mau nulis tentang ini. Kegalauan yang mengakar di hati sekian lama emang selalu muncul setiap saat. Jadilah pembuka blog kali ini tentang kegalauan belum lulus.
Seharusnya aku sekarang mahasiswa magister. Bukan fokus skripsi tapi tesis. Katanya, skripsi itu semacam latihan penelitian. Masih dianggap "anak bawang". Penelitian yang sebenarnya ya tesis itu. Benar-benar mengolah satu teori buat menciptakan satu teori baru. Bukan lagi penelitian yang main-main. Katanya.
Apa aku akan merasakan itu nanti? Kalo ditanya setelah sarjana mau ngapain, aku langsung jawab, "Lanjut S2 Komunikasi di UGM." Sejujurnya, aku enggak mengatakan ini dengan kemantapan hati. Rasanya seperti mengawang-awang karena masih skripsi saja aku dilematis begini. Apalagi tesis? Mungkin itu yang bikin aku enggak mantap menjawab. Hanya sekedar pemanis di bibir? Yah.. aku mengakui itu.
Mahasiswa S2 Komunikasi UGM? Bukan lagi gaya-gayaan kuliah di kampus terbaik. Kalo masih S1, bisa jadi gaya-gayaan. "Gue kuliah di UGM!" "Mas, kuliah di mana?" "UGM!" Magister itu bukan cuma tentang gengsi tapi keilmuan yang harus benar-benar bermanfaat. Bukan cuma buat diri-sendiri, tapi juga orang lain.
Ada seorang teman yang kuliah sampai S3. Enggak main-main, lulusan kampus luar negeri. Kebayang enggak kuliah S3? Puncak tertinggi strata pendidikan. Walau menimba ilmu itu unlimited, tapi berdasarkan strata, S3 adalah tingkat tertinggi 'kan? Enggak ada lagi S4, S5, dst. Teman lulusan S3 ini sekarang lagi merintis taman baca buat masyarakat. Bukan mengabdi pada perusahaan bonafid atau apalah itu. Lulusan S3, Bro, Sis! Justru mengabdi pada sesuatu yang bisa memberikan manfaat buat masyarakat. Manfaat yang bakal dikenang nantinya. Sebenarnya aku enggak ngerti kesibukan lain teman yang satu ini apaan. Jadi dosen 'kah? Peneliti di lembaga penelitian? Atau full time dengan taman bacaan? Loh kok? Katanya teman? Ngng.. mungkin bukan "teman". Dibilang "teman", enggak juga. Dibilang bukan, juga enggak. Kenal karena satu organisasi. Itu juga enggak kenal dekat. Hanya sekedar tau nama, tau sosoknya, udah. Enggak ada hubungan kayak teman yang kenal dekat. Ini yang bikin bingung, mau disebut teman apa bukan.
Rasanya hati teriris-iris tau anak muda yang usianya lebih muda dariku tapi prestasti banget di jenjang strata dua. Makjedug! Apalagi lihat pengusaha muda, masih kuliah, udah punya omzet milyaran per bulan. Wow! Rupiah senilai 2.500.000 bukan apa-apa dibanding pengusaha muda yang keren ini. Pasti enggak perlu repot cari jodoh. Pasti banyak orangtua yang pengen anak gadisnya dipersunting pengusaha muda ini (yang bikin aku teriris-iris pengusaha muda cowok). Teriris-iris karena aku juga ingin menjadi berarti seperti mereka.
Jogja, 01.11.2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan