Setiap waktu adalah kenangan yang bisa jadi bakal dikenang sampai kapan pun. Entah itu momen bahagia, sedih, marah, nyesek, dan lain-lain, dan sebangsanya. Hari ini, lebih tepatnya adalah pagi ini, jadi momen yang bakal terkenang sepanjang hidupku. Jadi gini...
Once upon a time...
Tadi pagi, aku kayak biasa pergi beli sarapan. Berjalanlah kakiku menuju satu minimarket di ujung jalan. Sekalian olahraga. Jarak dekat, enggak usah pake motor. Aku enggak ada feeling apa-apa. Jogja jam 6 pagi kayak pagi-pagi biasanya. Aku jalan santai dan sesekali main smartphone (don't try this at home ya).
Aku lihat dari jauh, cowok telanjang dada, cuma pake kolor, jalan sendirian. Oh, lagi olahraga. Aku tetap jalan santai. Enggak ada firasat apapun. Enggak menyadari di depanku adalah musibah. Begitu aku dan cowok itu cukup dekat, aku lihat tatapan mata dan ekspresinya. Kok kayak bukan orang waras? Apa dia gila? Dia kelihatan bersih. Enggak dekil kayak orang gila. Bahkan tubuhnya cukup berotot. Ada gurat enam kotak di perutnya (kenapa sempat-sempatnya aku fokus sama yang satu ini?).
Dia, cowok itu, menghalangi jalanku. Aku ke kanan, dia ke kanan. Aku ke kiri, dia ikut ke kiri. Aku sempat senyum sekilas, biasalah senyum basa-basi, tapi sepertinya ada yang enggak beres. Aku merasa ada sesuatu yang enggak baik waktu itu.
Segera, tanpa komando, aku berbalik arah. Aku harus balik ke kost. Cowok itu ngikutin. Sesekali dia teriak, "Hei.. hei.." Aku enggak peduli, tapi ekor mataku sekilas melihat ke arahnya. Dia mengikutiku! Mending ikuti media sosialku aja sana! Aku harus ke tempat ramai. Enggak jauh, ada kedai bubur ayam. Aku harus ke tempat ramai. Secepatnya!
Sebelum aku benar-benar sampai di kedai bubur ayam, cowok itu langsung memepetku. Dia meracau tapi sempat bilang, "Mau ke Pogung.. Pogung.."
Aku ajak dia komunikasi, "Mau ke mana, Mas? Pogung masih lurus. Ada yang bisa aku bantu, Mas?" Dia meracau lagi dan bukkk! Satu bogem mentah mendarat di mukaku. Masih beruntung, aku enggak sendirian di lokasi. Ada orang lain, bapak-bapak di kedai bubur ayam mungkin, yang segera menarikku, mengamankanku, setelah aku bilang, "Pak.. tolong, Pak.."
Orang-orang mendekat. Bertanya ada apa, termasuk nanya ke cowok itu. Sempat ada keributan. Ada yang jatuh. Aku tau orang itu! Orang yang enggak aku tau namanya, tapi aku tau dia. Tau sosoknya. Suasana mulai ribut. Aku masih menutup wajahku yang jadi sasaran bogem mentah. Berdarah! Ada darah! Aku sempat berharap ada yang mengobati lukaku. Ngasih tisu atau apalah. Fokus semua orang tersedot ke cowok itu. Aku memilih langsung balik ke kost. Luka dan darah... Apa aku harus langsung konsultasi ke dokter?
Ada luka di bawah mata kananku. Semacam lecet. Aku merasa sangat bersyukur karena mata kananku masih selamat. Alhamdulillah... Aku butuh plester luka! Ibu Kost sigap membantuku begitu lihat luka di bawah mata kananku. Satu plester luka berhasil menutup lecet. Aku enggak berpikir macam-macam, apalagi lapor polisi. Pasti bakal sembuh beberapa hari. Bukan sesuatu yang mengkhawatirkan. Aku belum tau, nantinya lecet ini bukan sekedar lecet yang cukup ditutup dengan plester luka.
Cowok itu berhasil diamankan. Polisi datang sekian menit setelahnya, setengah jam mungkin. Aku ikut ke Polres Sleman sebagai saksi sekaligus korban. Aku (masih) enggak kepikiran lapor polisi. Cuma lecet ini. Aku dimintai keterangan, kronologi kejadian, sedetail mungkin. Aku ceritakan semuanya, tanpa dilebih-lebihkan. Aku bercerita apa adanya. Enggak juga memanfaatkan kesempatan buat apa.. gitu. Aku menceritakan real yang terjadi padaku.
Polisi bilang, kalo enggak ada laporan, cowok itu bakal dilepas, cepat atau lambat. Setelah berpikir begini dan begitu, aku setuju membuat laporan. Cowok itu harus dikasih hukuman biar jera. Meresahkan orang lain! Meresahkan hati?
Polisi butuh visum buat melengkapi laporan. Aku harus konsultasi ke dokter demi visum. Ternyata memang bukan sekedar lecet yang bisa ditutup dengan selembar plester luka. Robek. Ada dua jahitan. Hasil bogem mentah ini menciptakan luka separah ini?
Banyak yang mengaitkan kejadian ini dengan rasisme. Cowok itu memang salah, tapi tolong jangan rasis! Jangan menyamaratakan. Setelah lukaku dijahit, ditutup perban kecil, orang-orang mulai menanyakan pertanyaan yang sama. "Kenapa?" Seperti kaset yang memutarkan rekaman, aku juga menjawab pertanyaan yang sama, ke sekian kalinya.
Aku sempat berpikir, seandainya aku punya kekuatan macam Storm dari X-Men, aku bisa... Ah, sudahlah.
Selalu ada hikmah dari setiap kejadian. Selalu ada kenangan yang bisa dikenang bahkan selamanya.
Jogja, 19.11.2017
Komentar
Posting Komentar