Gepeng. Gelandangan dan pengemis. Pemandangan yang biasa kita lihat, terutama di daerah perkotaan. Di tengah hiruk-pikuk gemerlap bangunan-bangunan megah dan orang-orang yang terlihat berkelas, ada satu di antara mereka yang justru terlihat sebaliknya. Satu tapi punya akar di mana-mana. Panjang dan terus bertumbuh. Kesenjangan sosial, apalagi di perkotaan, memang sangat jelas terlihat dan dirasakan. Setiap tempat makan, enggak jarang ada pengemis yang datang. Entah mereka benar-benar hopeless dan akhirnya hanya menengadahkan tangan atau karena mereka pemalas, pengemis dari berbagai penampilan banyak bersliweran di kota-kota besar, tempat makan, lampu-lampu merah.
Rasanya sedih, miris, kenapa mereka bisa begitu? Pernah baca di satu koran, ada pengemis yang memang benar-benar mengemis karena enggak punya pilihan lain. Kakinya, maaf, cacat. Merasa enggak ada pilihan yang lebih baik, sementara dia butuh makan untuk hidup, jalan jadi pengemislah yang dipilih. Enggak sedikit juga yang justru berpura-pura cacat demi belas kasihan orang-orang. Ada satu kejadian di Bandung, kalo enggak salah, pengemis cacat fisik yang ternyata ketahuan cuma modus. Miris 'kan? Pengen marah, pengen menghujat, pengen merutuk orang semacam ini.
Lebih miris lagi, pengemis yang justru secara finansial bisa dikatakan kelas menengah ke atas. Ada satu kejadian juga, sebenarnya enggak sedikit kejadian kayak gini, pengemis yang pegang uang tunai puluhan juta dari hasil mengemis. Bayangkan! Puluhan juta dari hasil meminta-minta. Mungkin, awalnya pengemis ini benar-benar hopeless. Lama-lama kelamaan menikmati dan akhirnya keterusan dan jadilah keseharian. Profesi pengemis bahkan ada yang dicantumkan di KTP. Istilahnya... duh, aku lupa, pake Bahasa Jawa, yang artinya kurang lebih "menengadahkan tangan", meminta-minta.
Pengemis yang seperti ini harus kita apakan? Apa kita seolah-olah enggak tau kedatangan mereka dengan pakaian lusuh dan wajah memelas? Simpatimu di mana? Mereka orang kecil. Ayolah dibantu. Mengikhlaskan seribu rupiah dari dompetmu enggak akan membuatmu miskin. Tunggu dulu. Kita ingin membantu mereka? Bukan begini caranya. Kita ngasih uang sama pengemis, sama kayak kita ngasih ikan sama kucing. Kalo kita bisa ngasih tau cara mendapatkan ikan, ini cara yang lebih baik. Kita enggak perlu ngasih ikan terus-terusan. Si kucing bisa berusaha sendiri.
Pengemis bukan kucing. Pengemis itu manusia, bukan hewan. Kalo kita kasih tau cara mendapatkan ikan, pengemis pasti bisa mengikuti cara yang kita arahkan. Mereka bisa berusaha, bukan hanya sekedar meminta-minta. Enggak cuma bermalas-malasan. Mungkin ini terdengar kejam ya. Simpatimu di mana? Empatimu di mana? Dasar manusia enggak punya perasaan!
Peraturan dari Pemerintah jelas tertulis, dikutip dari sosial.bantulkab.go.id, sesuai Perda Nomor 1 Tahun 2014, gepeng (gelandangan dan pengemis) perorangan akan dikenai pidana 6
minggu atau denda Rp 10 juta, pemberi uang atau barang akan dikenai
pidana 10 hari atau denda Rp 1 Juta, dan gepeng berkelompok akan dikenai
pidana 3 bulan atau denda Rp 50 juta. Memperalat orang lain dikenai
pidanan 1 tahun dan denda Rp 50 juta, mendatangkan gepeng dipidana satu
tahun atau denda Rp 50 juta dan mengkoordinir gepeng dipidana 6 bulan
atau denda Rp 40 juta.
See? Cara kita menyalurkan simpati dan empati bukan dengan memberikan seribu rupiah, tapi kita harus memberikan cara agar mereka, gelandangan dan pengemis, tau cara mendapatkan seribu rupiah. Tau di mana ladang untuk menggali seribu rupiah itu.
Mungkin mereka memang tau caranya, tapi malas berusaha. Salah siapa? Salahkan saja si kambing hitam.
Jogja, 15.11.2017
Komentar
Posting Komentar