Bully a.k.a perundungan udah ada sejak entah kapan tau. Enggak cuma orang dewasa, tapi anak-anak juga mengalami bullying. Ada yang jadi pelaku, ada yang jadi korban. Parahnya lagi kasus bully yang terjadi pada anak kelas 3 SD. Entah pendidikan seperti apa yang diajarkan orangtuanya, anak semuda ini udah berani ngebully karena perbedaan ras dan agama? Miris! Anak-anak melakukan sesuatu berdasarkan apa yang dia lihat. Amati dan tiru. Belum tau mana baik, mana buruk. Miris rasanya sama kasus bully yang terjadi sama anak kelas 3 SD itu. Apa salahnya? Kita hidup enggak cuma dengan satu ras dan satu agama. Anak-anak yang ngebully ini mana tau? Mungkin bukan bully secara fisik, tapi justru bully secara psikis, susah sembuhnya. Sama kayak kertas yang diremas-remas, pasti enggak bakal lagi kayak semula. Ini tentang hati yang dilukai. Bisa-bisa membekas selamanya.
Bully sama bercandaan yang mirip bully emang beda tipis. Pasti pernah 'kan waktu ngumpul sama teman-teman, kita jadi objek lelucon? Kalo kita menanggapinya juga dengan lelucon, menurutku ini bukan bully. Just for fun with your friends. Sebaliknya kalo kita justru enggak suka bahkan sampai memasukan (yang dianggap) bercandaan itu ke hati, bukan lagi bercanda, tapi bully. Beda tipis! Bully adalah ketika kita enggak bisa membela diri. Kita terima aja apapun yang mereka lakukan. Beberapa kasus bully bentuknya seperti ini.
Masih ingat pelajar SMP yang membully pelajar SD? Tanpa ada perlawanan, si pelajar SD ini terima saja dengan perlakuan si pembully. Bukan cuma bully secara verbal, tapi juga bully secara fisik. Kalo si korban bisa membela diri bahkan menyerang balik si pelaku, bukan bully lagi namanya, tapi berantem. Mahasiswa Gunadarma yang sempat viral itu juga pasrah saja dengan perlakuan yang dia terima, walau sebenarnya dia enggak nyaman. Si pelaku a.k.a teman-temannya hanya menganggap bercandaan tapi buat si objek bercandaan, bukan lagi bercanda karena dia merasa enggak nyaman dengan sikap teman-temannya itu.
Anak-anak yang membully menurutku kesalahan orangtua yang enggak mendidik anaknya dengan benar. Bisa jadi anak yang kurang perhatian, anak yang terlalu dimanja, anak yang selalu dapat perlakuan kasar (walau hanya kata-kata), tapi semua itu berpengaruh sama kehidupan sehari-hari si anak. Guru pertama anak adalah orangtua. Ibarat kertas kosong, orangtua adalah tinta yang siap menuliskan banyak hal.
Menyalahkan pihak sekolah karena anak menjadi pembully, bukan sikap yang bijak. Sekolah memang punya kontrol, tapi kontrol penuh jelas ada di pihak orangtua. Sekolah pasti mengajarkan budi pekerti, semua yang positif buat anak-anak, tapi kalo di rumah justru enggak ada ajaran yang sama kayak di sekolah, enggak ada hal yang positif, apa yang sekolah lakukan semacam sia-sia. Orangtua enggak bisa menyerahkan pengajaran dan pendidikan sepenuhnya sama pihak sekolah. Orangtua juga harus ikut terlibat.
Anak-anak juga perlu diajarkan menjadi dewasa. Bukan, bukan merampas hak anak menikmati masanya, tapi diajarkan menjadi dewasa dalam berinteraksi dengan orang lain dan lingkungannya. Seperti Upin-Ipin.
Jogja, 03.11.2017
Komentar
Posting Komentar