Debat di media sosial bukan jadi sesuatu yang baru. Setiap hari selalu saja ada yang saling merasa benar, saling serang di media sosial. Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain, dan sebagainya. Rasanya jengah dengan komentar-komentar warganet yang enggak sedikit enggak punya etika sama sekali. Kasar, merendahkan pihak lain, fitnah, bebas-sebebasnya. Saking luasnya dunia media sosial membuat siapapun merasa nyaman dan sah-sah saja melakukan apapun, termasuk hate speech, memecah-belah, entah ada tujuan terselubung apa dibalik itu semua.
Apa mungkin mereka orang-orang enggak ada kerjaan? Terlalu santai membuat mereka mencari perhatian dengan ujaran kebencian? Entah apa yang di pikiran warganet satu ini. Bikin geleng-geleng kepala lagi, enggak sedikit dari warganet tipe seperti ini yang menggunakan identitas anonim. Menyembunyikan identitas yang sebenarnya. Mereka pengecut. Hanya berani melempar batu, kemudian sembunyi tangan.
Beberapa kali aku sengaja kepo akun yang memakai ujaran kebencian itu. Akun anonim. Entah pakai ava siapa, nama akun yang entahlah. Identitas anonim ini yang membuat si "pelaku" begitu mudahnya berkomentar, enggak peduli bisa menyakiti orang lain atau bahkan menjadi provokasi yang mengarah kepada perpecahan.
Kok bisa ya ada akun khusus buat begini? Komentar nyinyir, mengkritisi segalanya secara serampangan. Ada yang terprovokasi dengan anonim-anonim ini, tapi ada juga yang cuek. Anjing menggonggong, kafilah berlalu.
Tipikal warganet seperti ini memang enggak usah direspon. Bisa jadi respon yang diberikan membuat mereka tertawa-tawa bahagia. Sengaja memperkeruh.
Warganet yang bersembunyi saat mengeluarkan ujaran kebencian sejatinya seorang yang pengecut. Berani berkomentar sesuka hati tapi enggak berani memunculkan identitas diri. Jelas, warganet tipe ini adalah perusak. Bukan mengkritisi. Sok mengkritisi lebih tepatnya. Kalau memang ingin kritis, harus siap dengan semua resiko, termasuk enggak menutup-nutupi identitas pribadi. Demi apa? Keamanan? Dari apa?
Masih heran dengan warganet seperti ini. Kenapa mereka ada? Kenapa mereka enggak berpikir apa yang dikatakan terkadang bukan sesuatu yang pantas? Apa mereka benar-benar enggak paham etika?
Sopan-santun berpendapat itu harus, sekalipun di media sosial.
Jogja, 24.09.2017
Komentar
Posting Komentar