Foto dulu.. foto dulu.. Sekarang justru enggak all out
menikmati momen karena sibuk foto, sibuk merekam, sibuk menyambungkannya ke media
sosial. Buat apa? Eksistensi diri. Salah satunya.
Ada beberapa orang
yang merasa media sosial itu semu. Buat apa memposting kegiatan ini dan itu?
Sebegitu pentingkah?
Media sosial itu antara penting
dan enggak penting. Kalau bukan sekedar jadi media narsis, okelah. Lihat saja
influencer. Menghasilkan duit dari bermedia sosial. Kalau cuma narsis sendiri, apa manfaatnya?
Apa karena melakukannya dengan cinta? Kalau cinta, enggak peduli apa manfaatnya, asal nyaman, bakal terus lanjut.
Ah sotoy tentang cinta lu, Tong.
Facebook awalnya diciptakan
hanya untuk lebih mengenal teman-teman yang memang dikenal secara nyata. Hanya untuk teman-teman satu kelas. Seru-seruan bareng teman sekelas, semacam album
kenangan.
Dia lagi apa ya?
Waktu itu media sosial just for fun. Teknologi semakin
berkembang, Facebook mendunia. Siapa yang sekarang enggak punya Facebook? Masih lebih
banyak pengguna Facebook dibanding mereka yang enggak menggunakan.
Sejatinya media sosial itu
diciptakan untuk seru-seruan bareng teman-teman, bareng orang yang dikenal secara
nyata. Ada positif dan
negatif. Seperti pisau yang punya ujung tajam dan ujung tumpul. Empat ribu daftar teman
di Facebook apa benar-benar dikenal di dunia nyata?
Bukan menghakimi pengguna media
sosial. Aku juga salah satu pengguna.
Btw, media sosial itu
sebenarnya semu. Apa manfaat posting ini dan itu? Ratusan like? Puluhan komen?
Ribuan pengikut? Memang ada kepuasan melihat postingan banjir like, komen, dan
pengikut.
Media sosial sudah menjadi bagian (gaya) hidup. No
social media, no day.
Dulu pernah... aktif (curhat) di
Facebook. Pernah juga sepanjang hari ngetweet. Sekarang? Curhat di Facebook? Norak. Ngetweet mulu, curhat pula, buat apa? Kalau media sosial hanya sekedar jadi tempat curhat, lama-lama membosankan
dan akhirnya ditinggalkan.
Aku sudah lama meninggalkan Facebook (baca: enggak
curhat-curhat receh lagi). Belum lama meninggalkan Twitter, meninggalkan tweet sepanjang hari. Yah.. aku juga pernah menjadi “korban” media sosial. All day
long with social media...
Instagram cuma jadi media narsis.
Banyak yang “menjual diri” demi ratusan ribu like dan pengikut. Lihat saja
akun-akun lelaki berperut roti sobek itu. Oke, ini sentimen
pribadi. Abaikan.
Wajar juga lelaki berperut roti sobek sangat narsis di media sosial. YKWIM~
Lewat media sosial bisa dengan mudah tahu yang dilakukan orang lain tanpa perlu bertanya. Welcome stalker!
Jadi, yes
social media atau anti social media? Enggak keduanya. Lihat dari sudut
pandang yang berbeda. Media sosial punya sisi baik. Enggak melulu negatif. Stalker gebetan jadi lebih mudahkan?
Dunia maya memang bebas ruang dan waktu. Bisa bebas menciptakan dunia sendiri, tapi ingat, harus ada aturan-aturan enggak tertulis. Aturan yang cuma bisa dilakukan dengan
komitmen. Harus tahu apa saja yang boleh dan enggak boleh.
Merasa ribet? Ini juga demi
kebaikan sendiri. Pernah dengar seseorang tersandung masalah hukum karena
media sosial? Pernah dengar seorang yang sedang kesusahan segera
mendapat bantuan karena media sosial?
Menyatukan atau memecah-belah. Dua
pilihan yang ditawarkan media sosial.
Jogja, 03.09.2017
Komentar
Posting Komentar