Kalau manusia punya kemampuan membaca pikiran dan isi hati seseorang, enggak masalah kalau enggak blak-blakan. Apa yang ada di pikiran kita belum tentu sama dengan isi pikiran orang lain. Satu-satunya cara menyatukan pikiranku dengan pikiranmu agar menjadi pikiran kita, ya dengan blak-blakan. Jangan cuma saling diam dan yakin realita akan sama dengan yang ada di pikiran masing-masing. Apa susahnya ngomong? Bukan sesuatu yang negatif 'kan?
Blak-blakan ini juga ada hubungannya dengan sikap saling mengingatkan. Orang bijak bilang, manusia adalah tempatnya lupa. Saling mengingatkan demi mengurangi lupa-lupa itu. Sayangnya ada yang punya prinsip, "Seharusnya dia sudah tahu apa yang menjadi tugasnya." Setiap orang memang memiliki prinsip yang berbeda, tapi masa iya hanya sekedar "saling mengingatkan", enggak mau sama sekali? Pada akhirnya justru berantakan kalau hanya diam dan tetap berprinsip "ah, seharusnya dia sudah tahu".
Blak-blakan kesannya tanpa tedeng aling-aling ya? Langsung jedhaaar enggak pakai basa-basi. Jadi gini... Blak-blakan artinya katakan apa yang seharusnya dikatakan. Tanyakan apa yang masih menimbulkan pertanyaan. Jangan berprinsip, "Ah, pasti dia sudah tahu." Halo? Kita enggak dianugerahi kemampuan membaca pikiran dan isi hati orang lain, remember?
Beda dengan peka yang akhirnya justru langsung bertanya. Kalau masih berprinsip "ah, pasti dia sudah tahu", sampai Raisa punya cucu juga enggak akan blak-blakan. Orang Jawa bilang, "Mung dibatin."
Kalau memang harus mengingatkan, ayo katakan. Kalau memang harus dipertanyakan, tanyakan. Jangan cuma berputar-putar dengan pikiran sendiri dan berharap orang lain bisa memahaminya. Kecuali kalau kita bicara dengan Jean Grey a.k.a Phoenix dari X-Men.
Kalau nanti ada error, ya wajar kalau masih mung dibatin itu, tapi jangan selalu "diwajarkan" sampai menjadi kebiasaan. Sesuatu yang buruk kok dibiasakan?
Jogja, 19.09.2017
Komentar
Posting Komentar