Langsung ke konten utama

NILAI

Rasanya masa SMA dulu, Rp 100 ribu buat seminggu sangat banyak. Waktu itu seminggu uang saku Rp 50 ribu sangat cukup. Sekarang sangat berbeda. Nominalnya sama, tapi nilainya berbeda. Sekarang, Rp 50 ribu cukup buat dua hari. Ngng.. dua hari apa sehari? Kenapa bisa sangat berbeda ya? Oke, tahun yang berbeda, nilai juga berubah.

Waktu SMA, harga makan satu porsi Rp 2.500. Entah karena kebaikan Bu Hasyim, pemilik warung atau karena nilainya memang sebesar itu. Nasi, sayur, satu tempe goreng. Dibanding sekarang dengan menu yang sama, cukupkah Rp 2.500? Bukan porsi nasi kucing ya, tapi porsi satu piring standar sekali makan. Belum lagi ditambah minum (air putih biasanya gratis).

Aku jadi anak kost sejak SMA. Jarak dari rumah ke sekolah enggak terlalu jauh (sebenarnya). 18 km. Naik motor 20 menit perjalanan. Aku memutuskan kost karena belum bisa naik motor sendiri. Naik angkot bisa jadi pilihan, tapi aku merasa setiap hari harus berangkat jam 05.30 (demi enggak desak-desakan di angkot), terasa berat. Kost jadi solusinya (walau seminggu sekali, di akhir pekan, aku pulang).

Uang saku seminggu Rp 50 ribu. Kadang Rp 60 ribu, tapi enggak lebih dari Rp 100 ribu. Cukup banget uang saku sebesar itu buat seminggu. Enggak merasa kekurangan. Merasa lebih juga enggak. Dulu rasanya heran, uang saku seminggu punya teman di kost sebelah, Rp 100 ribu.

Merdeka banget!

Apa dulu aku enggak jajan ya? Cuma beli makan pagi, siang, dan malam? Ngng.. di jam istirahat sekolah, aku selalu jajan kok. Kenapa (waktu itu) Rp 50 ribu bisa cukup buat seminggu?

Waktu itu (lagi-lagi "waktu itu"), memang semurah itu ‘kah? Apa dulu aku menganggapnya murah? Aku lupa rasanya. Aku enggak ingat manajemen keuanganku dulu seperti apa. Mungkinkah aku mengaturnya sedemikian rupa? Dulu aku enggak pernah merasa kesesakan dengan uang saku Rp 50 ribu seminggu. Sekarang kalau di dompet cuma ada Rp 50 ribu, rasanya sesak sekali. Besok bagaimana? Apa aku (masih) bisa makan, bla.. bla.. bla..?

Sekarang harga apapun mahal, ngng... enggak bisa dibilang mahal juga. Nilai sekarang memang standarnya segitu. Dulu, satu porsi makan Rp 2.500 plus air putih. Sekarang, sekitar Rp 6000 plus air putih (yang biasanya air putih gratis). Seporsi nasi, sayur, ayam bukan Rp 6000 ding. Rp 10 ribulah minimal.

Ah, aku pikir-pikir... seporsi makan harganya Rp 2.500 dulu itu karena kebaikan Bu Hasyim. Setengah “memberi” untuk anak-anak kost yang masih sangat remaja. Mungkin.

Dulu, dengan uang saku Rp 50 ribu seminggu, aku tetap bisa jajan. Aku lupa dulu berapa harga yang aku keluarkan untuk satu kali jajan. Sekarang minimal Rp 5 ribu. Enggak ada ketentuan harus Rp 5 ribu, cuma semacam ada keharusan minimal Rp 5 ribu. Misal beli bakso tusuk. Rp 3 ribu juga bisa, tapi kok enggak puas ya?

10.. 20 tahun yang akan datang, saat anak-anakku bertumbuh, bakal kayak apa ya? Rp 100 ribu mungkin cuma buat sehari. Apa di masa depan, semua-semua digratiskan?

Mimpi kok di siang bolong?

Siapa tahu 'kan?

Jogja, 26.08.2017

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan