Sebungkus tahu bulat dan snack cumi, bukan
takoyaki (mas yang jual bilang apa gitu namanya), jadi teman santai siang
jelang sore itu. Menunggu waktu, bukan menunggu orang. Paling ampuh diam
berlama-lama memang berinternet ria. Waktu enggak berasa karena asyik dengan
smartphone yang terkoneksi media sosial aneka rupa.
Akhirnya yang ditunggu datang juga. Adzan
ashar menggema di udara. Kayak nunggu adzan maghrib ya? Ha ha. Saat itulah seorang bapak, mungkin usia 50, datang menyapa.
Bapak yang entah siapa namanya itu menanyakan asalku dan kuliahku.
Pertanyaan standar berbasa-basi. Lebih baik daripada diam dan sibuk
dengan dunia sendiri. Waktu aku menjawab kuliah di UIN, aku tambahin IAIN,
karena dari standar basa-basi yang sudah-sudah, orang-orang seusia bapak itu enggak tahu UIN tapi paham
IAIN. Nama IAIN memang lebih melekat buat generasi baby boomers.
Bapak itu juga nanya aku semester berapa dan yang
jelas aku jawab “lagi skripsi” dengan senyuman dan he he he. Setelah itu si
Bapak terdiam. Aku juga terdiam. Sesekali aku melihat layar smartphone. Sekian
detik kemudian si bapak buka suara. Menanyakan aku punya uang Rp 15 ribu apa
enggak. Hah?
Bapak itu bilang buat makan.
Apa reaksiku? Apa aku ngasih bapak itu Rp 15 ribu? Atau justru sebaliknya? Kamu kalau ada di
posisiku, apa yang bakal kamu lakuin? Komen di bawah ya. Sok nge-vlogger. Ha ha
ha.
Balik ke bapak itu...
Aku tanya asal si bapak. Katanya dari
Kalimantan, baru tiga hari di Jogja. Pengennya kerja tapi di hari ketiga itu si
bapak memutuskan pulang. Naik bus, katanya. Rp 65 ribu atau Rp 60 ribu
gitu. Hah? Rp 65 ribu, pulang naik bus ke Kalimantan? Aku yang
salah dengar atau si bapak halu, memang bisa uang segitu buat naik bus ke Kalimantan?
Ka-li-man-tan loh. Bukan Solo, Semarang, Magelang.
Si bapak hanya mengarang cerita atau memang
betulan, semoga permasalahan bapak itu segera terselesaikan. Kalau memang benar
pulang ke Kalimantan, semoga bisa segera sampai di sana.
Si bapak dari Kalimantan ini cuma salah satu
contoh dari sekian banyak kejadian yang bias antara jujur atau modus. Apa bapak itu berbohong?
Apa si bapak punya niat terselubung?
Sekarang susah dibedakan seseorang yang betul-betul butuh bantuan atau cuma pura-pura. Apalagi sama orang yang enggak dikenal. Ada rasa curiga, enggak percaya, dan akhirnya ragu mau ngasih bantuan.
Harus dilihat situasi dan kondisi. Misal ada korban kecelakaan di jalan, apa masih berpikir betul-betul butuh bantuan atau cuma pura-pura?
Oknum yang memanfaatkan kebaikan orang lain demi kepentingan pribadi itulah yang membuat seseorang "berat" memberikan pertolongan kepada orang asing yang tiba-tiba datang.
Jogja, 22.08.2017
Komentar
Posting Komentar