Langsung ke konten utama

GADO-GADO

Halo... Apakabar? Semoga selalu baik ya. Kali ini aku akan bercerita, hmm.. apa ya? Cerita edisi KKN, nggak jelas. Soalnya aku nggak intens berbagi cerita, jadinya aku lupa. Ya.. lupa, mau cerita apa lagi. Gado-gado banget deh cerita-ceritaku di blog ini, tapi baiklah. Walau gado-gado (aku suka Gado Gado asal nggak pedas), tapi aku akan tetap berbagi cerita kok. Tenang aja.
Setiap orang pasti punya cerita dalam hidupnya. Bahkan kehidupan setelah hidup (apaan?) juga pasti ada ceritanya, cuma hanya Allah yang tahu seperti apa tepatnya. Duuuh... kok jadi seram gini ya? Nggak kok.. nggak.. Intinya setiap orang punya cerita. Sayang dong kalau cerita-cerita hidup kamu dibiarin hilang begitu saja. Mending dikenang dengan sesuatu yang bisa kamu nikmati, nggak cuma kamu putar dalam otak.
Salah satu caranya, menulis. Cerita apapun, bisa kamu tuangkan dalam tulisan, tapi tetap hati-hati ya. Walau kamu punya kebebasan dalam menuliskan ceritamu, tetap... bertanggungjawab. Ini yang penting. Ngomong tentang menulis, aku jadi ingat proker (program kerja) individu KKN-ku.
Waktu itu aku bikin mini workshop kepenulisan fiksi sama pemuda Karang Taruna Dukuh Bapangan, Desa Karangsewu, tempat KKN-ku. Aku suka banget nulis, terutama fiksi. Makanya, proker individuku pun tentang kepenulisan fiksi. Peserta yang ikut mini workshop ini nggak banyak. Itu pun berbarengan dengan pertemuan rutin pemuda Karang Taruna. Kalo aku sengaja bikin acara sendiri (maksudku nggak ikut gabung sama acara mereka), takutnya animo yang diharapkan jauh panggang daripada api (eh, benar 'kan pribahasanya?).
Ketertarikan mereka, menurutku kurang. Mereka seperti ogah-ogahan gitu. Mungkin dunia menulis memang begitu jauh dengan mereka. Menulis, identik dengan pelajaran di sekolah, khususnya pelajaran Bahasa Indonesia. Aku yakin diantara mereka ada yang interest nulis, cuma... nggak kelihatan aja. Apalagi bacaan mereka, entahlah. Aku nggak tau mereka suka baca/ nggak. Update status sosmed pasti sering.
Aku pun menganalogikan dengan menulis itu bisa apa aja, bahkan menulis status sosmed. Termasuk menulis juga 'kan? Karena aku yakin, sosmed pasti dekat banget dengan mereka. Banyak juga 'kan penulis yang menulis buku dari status-status sosmednya? Makanya, aku menganalogikannya pun dengan sesuatu yang begitu dekat dengan mereka.
Saat sesi tanya jawab, cuma satu atau dua gitu yang nanya. Peserta mini workshop lainnya sibuk ngobrol dan beberapa ada yang asyik dengan dengan gadget-nya, terutama peserta cowok. Nggak ada (seingatku) dari mereka yang benar-benar mendengarkan apa yang aku sampaikan. Oke, baiklah. It's ok. Memang nggak mudah kok. Apalagi miniworkshop ini nggak ada kelanjutannya. Jadi cuma sebatas proker individu KKN. Sayang sebenarnya, tapi... aku juga kurang punya niat yang besar untuk membudayakan menulis dalam keseharian mereka. Menulis apa aja.
Aku juga bilang di miniworkshop itu, menulis itu ampuh banget lho buat berbagi cerita. Saat marah, sedih, bahagia, jatuh cinta, apapun itu bisa dituangkan dalam bentuk tulisan. Bagiku ampuh banget. Apapun yang aku rasakan, apalagi perasaan yang nggak ngenakin, aku tulis. Sedikit-banyak aku lega karenanya. Mau cerita sama orang, aku nggak begitu nyaman. Aku bukan tipe orang curhatan (suka cerita ke orang, curcol atau apapun itu namanya). Sejak dulu (entah kapan tepatnya) aku lebih suka cerita dalam bentuk tulisan, daripada curhatan, curcol-an dan sebangsanya. Bukan berarti aku introvert lho, tapi aku tipe pendengar yang baik.
Aku berusaha mendengarkan setiap cerita orang lain. Cerita mereka bisa jadi "asupan" buat cerita fiksi yang aku bikin lho. Walau namanya 'fiksi', tapi nggak sembarangan ngayal lho. Aku juga ngebayangin khayalan itu seandainya terjadi beneran. Tetap harus logis.
Thats all ceritaku kali ini. Sampai jumpa di ceritaku selanjutnya. :)

Jogja, 23 Januari 2015

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan