Langsung ke konten utama

Fiksi - Cerpen Terpuji - Foyard (FLP Yogyakarta Award) 2014



MONOLOG SUNYI
▪Adinata
A
ku tidak tahu kapan hari lahirku datang. Jangankan hari lahir, sosok ayah dan ibu saja aku tidak pernah tahu. Ingin rasanya sesekali tahu kapan hari lahirku. Aku ingin merasakan suasana saat itu tiba. Saat hari lahir datang, biasanya akan ada kejutan-kejutan. Pertanda bahwa masih ada rasa sayang untuk mereka yang merayakan hari lahirnya. Euforianya itu, sungguh luar biasa. Mereka bersuka-cita, tertawa bersama, dan pastinya makan sepuasnya.
            Aku sudah pasti tidak bisa melakukan semua itu. Aku hanya bisa bermimpi merayakan hari lahir atau yang orang-orang bilang sebagai ulang tahun. Aku tidak banyak berharap. Ada yang mengucapkan selamat untukku saat hari lahirku tiba saja, itu sudah cukup. Sayangnya, aku tidak tahu kapan hari lahirku. Bagaimana mungkin orang-orang atau siapapun itu akan memberi ucapan selamat ulang tahun untukku?
            Kata mereka yang dengan bangga merayakan hari lahir setiap tahunnya, permintaan yang terucap di hari itu, lebih istimewa. Permintaan pertama di usia yang baru. Bagiku terdengar berlebihan, tapi mungkin sesekali aku harus mencobanya. Aku punya satu keinginan yang ingin sekali aku wujudkan. Mungkin dengan mengucapkan keinginan di hari lahir, permintaan yang mustahil bisa menjadi kenyataan.
            Aku sungguh ingin merayakan hari lahir, sama seperti mereka. Bagaimana caranya aku tahu kapan aku dilahirkan? Aku harus bertanya kepada siapa? Ibu? Ayah? Nama kedua orangtuaku saja entah siapa. Aku benar-benar buntu mencari tahu. Pertanyaan itu terus berputar-putar di kepalaku. Entah sampai kapan pertanyaan itu akan mendapatkan jawabannya.
            Aku lihat pepohonan, bunga-bunga di semak belukar, bahkan kepada ilalang yang bergoyang. Mereka pasti juga pernah dilahirkan. Sama sepertiku. Apa mereka juga merayakan hari lahir mereka? Apa mereka merayakannya dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka? Kupu-kupu yang hinggap di atas bunga yang merekah indah, semut-semut yang berjajar di tanah berlubang di bawah pohon, burung-burung yang terbang dengan bebas, apa mereka juga merayakan hari lahir? Ah, pertanyaanku terlalu mengada-ada, atau mungkin aku sudah gila karena identitasku yang buram ini?
            “Malam ini datang ya ke pesta ulang tahunku.”
            “Cieee… yang sweet seventeen-an.”
            “Pokoknya kalian harus datang ya. Dijamin asyik pestanya.”
Cewek-cewek berseragam putih abu-abu itu tertawa. Mereka tengah membicarakan perayaan hari lahir. Beruntung sekali mereka, tahu kapan dilahirkan. Apa setiap tahun selalu seperti itu? Merayakan berkurangnya usia dan jatah kehidupan. Pertanyaanku bertambah lagi. Menggantung di kepalaku. Sepertinya aku harus berhenti bertanya kepada diri sendiri.
            Seharusnya tadi aku bertanya kepada mereka, kepada cewek-cewek itu. Mungkin mereka punya jawaban atas pertanyaan-pertanyaanku. Setidaknya jika aku memberi mereka satu pertanyaan, maka satu pertanyaan yang menggantung di kepalaku akan berkurang. Ah, sudahlah. Biarlah pertanyaan ini terus mengakar dalam kepalaku. Suatu saat Sang Maha Mengetahui pasti akan memberikan jawaban atas pertanyaanku.
            Pemandangan seperti cewek-cewek berseragam putih abu-abu sudah sering aku lihat. Ada yang berbicara tentang hari lahir, pesta, hingga urusan cinta-cintaan. Banyak sekali manusia dengan berbagai warnanya yang pernah aku lihat. Pemandangan sehari-hariku yang justru melahirkan banyak pertanyaan. Pertanyaan terbesarku adalah hari lahirku. Sekian banyak lika-liku hidup orang yang aku lihat, justru yang paling menarik hatiku, paling menarik rasa ingin tahuku, tentang hari lahir itu.
            Mereka yang bahagia dan bersuka cita merayakannya. Bahkan aku pernah melihat sendiri cara mereka merayakannya. Banyak orang yang terlihat bahagia, banyak makanan, dan satu kue besar dengan hiasan lilin di atasnya. Lilin berbentuk angka sesuai dengan usia mereka. Lalu akan ada make a wish dengan meniup lilin itu. Sepertinya cara seperti itu sangat mujarab untuk mengabulkan keinginan.
            Kenapa bertambahnya usia dimaknai seperti itu? Pesta, perayaan, bahkan memohon permintaan di depan sebuah lilin yang menyala. Siapa yang memulai semua itu? Tradisi darimana? Apa benar permintaan yang dipanjatkan di depan lilin kue ulang tahun akan pasti terkabul? Mungkin itu salah satu bentuk optimisme terhadap harapan.
Satu usia berkurang, semakin dekat mereka dengan kematian. Masih banyak manusia yang takut mati, tapi saat usia berkurang satu, justru mereka sangat berbahagia. Merayakannya semeriah mungkin, seperti yang pernah aku lihat.
            Aku memang belum pernah merayakan ulang tahun karena aku tidak tahu kapan hari lahirku, tapi aku ingin merasakannya walau hanya sekali. Mungkin dengan begitu, aku akan tahu siapa kedua orangtuaku. Sekali saja merasakannya dan setelah itu aku tidak akan pernah bertanya lagi. Mereka yang punya kesempatan untuk mengingat hari lahirnya, sungguh beruntung karena masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri. Perayaan itu bisa saja bentuk rasa syukur, tapi semoga mereka tidak lupa bahwa kematian semakin dekat.
            Orang-orang masih lalu-lalang di depanku. Taman kota ini memang tidak pernah sepi. Walau aku sendiri, setidaknya aku tidak merasa kesepian. Banyak orang yang datang dan pergi. Aku jadi semacam punya tontonan menarik untuk kesendirianku. Aku pun belajar banyak dari sekilas kehidupan mereka yang kebetulan aku lihat.
            Terkadang aku menanyakan takdirku sendiri. Kenapa Sang Penulis Takdir memberiku takdir seperti ini? Kenapa tidak Kau tuliskan takdir yang sama seperti lainnya? Lahir, tumbuh, berkembang bersama sosok ayah dan ibu. Apa permintaanku terlalu berlebihan?
Apapun caraku memberontak dengan takdir akan sia-sia. Aku belum sempat merasakan arti sebuah kehidupan. Aku belum sempat mengenal siapa yang melahirkanku. Apa aku memang tidak diberi kesempatan untuk itu? Entah dosa apa yang aku berbuat, hingga aku tidak berhak merasakan kehidupan di dunia keduaku?
Belasan tahun silam aku di sini. Sendiri, terkubur di bawah tanah taman kota yang tidak pernah sepi.[]
Yogya, 16 Mei 2014

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan