MONOLOG SUNYI
▪Adinata
A
|
ku
tidak tahu kapan hari lahirku datang. Jangankan hari lahir, sosok ayah dan ibu
saja aku tidak pernah tahu. Ingin rasanya sesekali tahu kapan hari lahirku. Aku
ingin merasakan suasana saat itu tiba. Saat hari lahir datang, biasanya akan
ada kejutan-kejutan. Pertanda bahwa masih ada rasa sayang untuk mereka yang
merayakan hari lahirnya. Euforianya itu, sungguh luar biasa. Mereka
bersuka-cita, tertawa bersama, dan pastinya makan sepuasnya.
Aku sudah pasti tidak bisa melakukan
semua itu. Aku hanya bisa bermimpi merayakan hari lahir atau yang orang-orang
bilang sebagai ulang tahun. Aku tidak banyak berharap. Ada yang mengucapkan
selamat untukku saat hari lahirku tiba saja, itu sudah cukup. Sayangnya, aku
tidak tahu kapan hari lahirku. Bagaimana mungkin orang-orang atau siapapun itu
akan memberi ucapan selamat ulang tahun untukku?
Kata mereka yang dengan bangga
merayakan hari lahir setiap tahunnya, permintaan yang terucap di hari itu,
lebih istimewa. Permintaan pertama di usia yang baru. Bagiku terdengar
berlebihan, tapi mungkin sesekali aku harus mencobanya. Aku punya satu
keinginan yang ingin sekali aku wujudkan. Mungkin dengan mengucapkan keinginan
di hari lahir, permintaan yang mustahil bisa menjadi kenyataan.
Aku sungguh ingin merayakan hari
lahir, sama seperti mereka. Bagaimana caranya aku tahu kapan aku dilahirkan?
Aku harus bertanya kepada siapa? Ibu? Ayah? Nama kedua orangtuaku saja entah
siapa. Aku benar-benar buntu mencari tahu. Pertanyaan itu terus berputar-putar
di kepalaku. Entah sampai kapan pertanyaan itu akan mendapatkan jawabannya.
Aku lihat pepohonan, bunga-bunga di
semak belukar, bahkan kepada ilalang yang bergoyang. Mereka pasti juga pernah
dilahirkan. Sama sepertiku. Apa mereka juga merayakan hari lahir mereka? Apa
mereka merayakannya dengan bahasa yang hanya dimengerti oleh mereka? Kupu-kupu
yang hinggap di atas bunga yang merekah indah, semut-semut yang berjajar di
tanah berlubang di bawah pohon, burung-burung yang terbang dengan bebas, apa
mereka juga merayakan hari lahir? Ah, pertanyaanku terlalu mengada-ada, atau
mungkin aku sudah gila karena identitasku yang buram ini?
“Malam ini datang ya ke pesta ulang
tahunku.”
“Cieee… yang sweet seventeen-an.”
“Pokoknya kalian harus datang ya.
Dijamin asyik pestanya.”
Cewek-cewek
berseragam putih abu-abu itu tertawa. Mereka tengah membicarakan perayaan hari
lahir. Beruntung sekali mereka, tahu kapan dilahirkan. Apa setiap tahun selalu
seperti itu? Merayakan berkurangnya usia dan jatah kehidupan. Pertanyaanku
bertambah lagi. Menggantung di kepalaku. Sepertinya aku harus berhenti bertanya
kepada diri sendiri.
Seharusnya tadi aku bertanya kepada
mereka, kepada cewek-cewek itu. Mungkin mereka punya jawaban atas
pertanyaan-pertanyaanku. Setidaknya jika aku memberi mereka satu pertanyaan, maka
satu pertanyaan yang menggantung di kepalaku akan berkurang. Ah, sudahlah.
Biarlah pertanyaan ini terus mengakar dalam kepalaku. Suatu saat Sang Maha
Mengetahui pasti akan memberikan jawaban atas pertanyaanku.
Pemandangan seperti cewek-cewek
berseragam putih abu-abu sudah sering aku lihat. Ada yang berbicara tentang
hari lahir, pesta, hingga urusan cinta-cintaan. Banyak sekali manusia dengan
berbagai warnanya yang pernah aku lihat. Pemandangan sehari-hariku yang justru melahirkan
banyak pertanyaan. Pertanyaan terbesarku adalah hari lahirku. Sekian banyak
lika-liku hidup orang yang aku lihat, justru yang paling menarik hatiku, paling
menarik rasa ingin tahuku, tentang hari lahir itu.
Mereka yang bahagia dan bersuka cita
merayakannya. Bahkan aku pernah melihat sendiri cara mereka merayakannya.
Banyak orang yang terlihat bahagia, banyak makanan, dan satu kue besar dengan
hiasan lilin di atasnya. Lilin berbentuk angka sesuai dengan usia mereka. Lalu
akan ada make a wish dengan meniup
lilin itu. Sepertinya cara seperti itu sangat mujarab untuk mengabulkan
keinginan.
Kenapa bertambahnya usia dimaknai
seperti itu? Pesta, perayaan, bahkan memohon permintaan di depan sebuah lilin
yang menyala. Siapa yang memulai semua itu? Tradisi darimana? Apa benar
permintaan yang dipanjatkan di depan lilin kue ulang tahun akan pasti terkabul?
Mungkin itu salah satu bentuk optimisme terhadap harapan.
Satu usia berkurang, semakin dekat mereka dengan
kematian. Masih banyak manusia yang takut mati, tapi saat usia berkurang satu,
justru mereka sangat berbahagia. Merayakannya semeriah mungkin, seperti yang
pernah aku lihat.
Aku memang belum pernah merayakan
ulang tahun karena aku tidak tahu kapan hari lahirku, tapi aku ingin
merasakannya walau hanya sekali. Mungkin dengan begitu, aku akan tahu siapa
kedua orangtuaku. Sekali saja merasakannya dan setelah itu aku tidak akan
pernah bertanya lagi. Mereka yang punya kesempatan untuk mengingat hari
lahirnya, sungguh beruntung karena masih punya kesempatan untuk memperbaiki diri.
Perayaan itu bisa saja bentuk rasa syukur, tapi semoga mereka tidak lupa bahwa
kematian semakin dekat.
Orang-orang masih lalu-lalang di
depanku. Taman kota ini memang tidak pernah sepi. Walau aku sendiri, setidaknya
aku tidak merasa kesepian. Banyak orang yang datang dan pergi. Aku jadi semacam
punya tontonan menarik untuk kesendirianku. Aku pun belajar banyak dari sekilas
kehidupan mereka yang kebetulan aku lihat.
Terkadang aku menanyakan takdirku
sendiri. Kenapa Sang Penulis Takdir memberiku takdir seperti ini? Kenapa tidak
Kau tuliskan takdir yang sama seperti lainnya? Lahir, tumbuh, berkembang
bersama sosok ayah dan ibu. Apa permintaanku terlalu berlebihan?
Apapun caraku memberontak dengan takdir akan
sia-sia. Aku belum sempat merasakan arti sebuah kehidupan. Aku belum sempat
mengenal siapa yang melahirkanku. Apa aku memang tidak diberi kesempatan untuk
itu? Entah dosa apa yang aku berbuat, hingga aku tidak berhak merasakan
kehidupan di dunia keduaku?
Belasan tahun silam aku di sini. Sendiri, terkubur
di bawah tanah taman kota yang tidak pernah sepi.[]
Yogya, 16 Mei 2014
Komentar
Posting Komentar