Langsung ke konten utama

DIKLAT I KSR PMI UNIT VII UIN SUKA

Relawan PMI nggak sesimpel PMR saat aku aliyah dulu. Tanggung jawab relawan PMI itu gede banget. Dibutuhin fisik yang kuat juga. Kalau urusan angkat-mengangkat, relawan PMI harus nomor satu. Ketika tugas kemanusiaan memanggil, tentunya nggak bisa dong memilih sendiri kayak gimana sih yang harus relawan kerjakan, tapi harus siap sedia dengan kondisi apapun. Ngelakuin segala hal harus cepat, bukan hanya untuk urusan perut, tapi juga urusan dengan Sang Pencipta.

Diklat I KSR PMI Unit VII UIN SuKa memberikanku banyak pelajaran. Capek sih capek, karena itulah resikonya, tapi dibalik itu semua, sense of humanity-ku berusaha untuk dibangunkan. Salah satu contoh kecil (benaran makjleb di hati) saat Om kesusahan ngancingin lengan kemejanya sewaktu jadi pimpinan barisan. Tentunya dia harus rapi. Saat dia merapikan kemejanya (dan mengancingkan lengan kemejanya yang panjang itu), aku sempat keki. Lama banget sih ngancinginnya? Astaghfirullah... Sama sekali nggak ada niatan buat ngebantu Om ngancingin lengan kemejanya. Kalau Ops nggak komen, nggak ngasih tahu aku (dan teman-teman yang lain), sense of humanity pasti masih tertidur dengan asyik.

Refleks menolong sesama belum sadar dalam diriku dan juga teman-teman lain. Masih mementingkan ego, belum bisa bekerja sama dalam team, belum ada rasa saling memiliki, saling menjaga, saling menguatkan. Relawan itu kayak sebuah tubuh manusia. Jika salah satu ada yang sakit, maka semua akan merasakan. Itulah tim dalam relawan yang mantap. Perkataan-perkataan dan sikap Ops yang begitu menyebalkan memang menyimpan sesuatu yang berharga di dalamnya. Nggak percuma harus cepat-cepat dalam segala hal (demi Ops).

Sadar atau nggak, kedisiplinan yang tiba-tiba bangkit saat Diklat I (terutama saat di lapangan), (masih) semata karena Ops. Belum karena panggilan hati, karena keharusan, sama sekali belum. Sikap di depan Ops disiplin banget. Lihat Ops berdiri mematung (mungkin dengan peluit terjepit di bibirnya), maka harus kudu wajib lari-lari dan segera di depan Ops. Saat Ops nggak mengawasi, sikap disiplin itu tiba-tiba berubah menjadi lembek, bahkan nggak ada sama sekali.

Ironis dan miris! Masih ada yang belum bisa menempatkan sesuatu di tempat yang benar. Ada masanya memang santai dan penuh tawa, tapi ada masanya pula harus serius dan diam. Konsentrasi. Berpikirlah sebagai relawan PMI, bukan sebagai individu yang tengah mengikuti pelatihan. Diklat I ini bukan semata latihan, tapi ada juga aplikasinya, saat tugas kemanusiaan memanggil.  Kecelakaan, bencana alam, apapun. Relawan PMI (sekali lagi) harus siap dengan kondisi apapun.

Materi yang diberikan selama dua hari (Sabtu-Minggu, 28 - 29 September 2013) di markas besar PMI Yogyakarta, jalan Tegelgendu (kalau nggak salah), Kotabaru, bukan nggak ada yang nyangkut di dalam memori. Materi di Diklat I masih seputar sejarah, masih tentang dasar, bukan tentang bagaimana menolong jiwa seseorang, meringankan penderitaan, dan mencegah cacat, bukan, bukan tentang itu. Diklat II masih seminggu lagi. Efek Diklat I ini bikin pegal-pegal, kotor (dua hari nggak mandi setelah tubuh penuh keringat), siklus pencernaan nggak lancar (ini sih saat ngejalanin diklat), dan bla.. bla.. bla..


Sempat terbersit aku mundur saja, tapi.. hello.. pengecut banget. Jadi mentalku hanya sampai di Diklat I saja? Astaghfirullah... Makanya aku berusaha untuk membulatkan niat. Walau diklat itu nggak lepas dari latihan fisik dan bercapek-capek ria, aku harus tetap konsisten dengan apa yang sudah aku ambil dan aku pilih. Ikut jadi bagian dari KSR PMI Unit VII UIN SuKa berdasarkan keinginanku sendiri. Nggak ada paksaan atau motif lain yang nggak berarti. Keikutsertaanku juga bukan sebuah keinginan dari awal, tapi muncul tiba-tiba, begitu saja terbersit sebuah keinginan untuk bergabung.

Aku masih ingat saat hatiku tergugah untuk menjadi bagian dari UKM yang bertugas dalam ranah kemanusiaan. Saat itu sore hari, sebelum makan-makan atas kelulusan Mas Muhtar, Mba Ifa, dan mereka yang lulus lainnya (aku lupa nama yang lain). Aku menunggu mereka (yang punya jam ngaret), duduk sendirian di depan pos satpam depan masjid. Saat itulah aku melihat stand pendaftaran KSR. Aku tiba-tiba tergerak dan tahu-tahu aku telah mendaftarkan diri.

Akhirnya, aku menjadi bagian dari KSR PMI Unit VII UIN SuKa dan harus mengikuti serangkaian kegiatan yang pasti menguras tenaga, pikiran (dan mungkin duit). Diklat I ini meninggalkan kesan tersendiri bagiku. Sebenarnya bukan perasaan ingin mengulang Diklat I yang muncul, namun memori tentang semua itu. Tentang disiplin, latihan fisik, menghadapi berbagai macam karakter yang berbeda dari teman-teman, dan seabrek memori lainnya. Nggak semua teman-teman itu asyik diajak komunikasi. Seharusnya sebagai relawan, nggak ada tuh yang namanya dinding pembatas diantara sesama tim. Nggak seharusnya bersikap "masa bodoh" atau apalah.. Attitude juga penting. Percuma juga pintar dalam segala hal (khususnya dalam hal ini tentang kepalangmerahan), tapi attitude-nya nol.

Ya, aku bilang begini karena memang fakta teman-teman baru KSR ada yang begitu. Bukannya aku sensi dengan seseorang, tapi memang attitude salah satu teman (bahkan ada juga satu lainnya) yang memang jelek. Oke, dia memang "pintar" ketika berhadapan dengan kepalangmerahan. Mungkin sebelumnya dia PMR yang benar-benar serius, PMR yang sejati, apalah itu namanya. Wajar jika semangatnya saat berhadapan dengan kepalangmerahan begitu menggebu-gebu. Satu hal yang parah darinya adalah attitude. Dia seolah asyik dengan dunia sendiri, memasang tampang yang dingin, seolah mengatakan dia nggak butuh orang lain untuk hidup di dunia ini. Oke, ketika masih baru dengan orang-orang yang dikenal, sikap jaim dan sok cool pasti ada, tapi apakah sikap memuakkan itu harus terus-terusan dipertahanin? Dia seharusnya lebih welcome. Wajahnya jangan dingin begitu. Bersikaplah layaknya relawan yang memang care bukan hanya dengan bencana, korban, dan segala kemalangannya, tapi care juga dengan sesama relawan. Melihatnya yang sok cool, sok jaim atau apalah, rasanya muak. Entah itu memang sifatnya atau hanya benteng diri yang dibangun terlalu lebay.

Satu lagi yang attitude-nya buruk. Jutek. Sikap begini nih yang bikin keki. Baru nyapa basa-basi karena dia selalu diaaam, eh... jawabannya jutek begitu. Aku hanya ingin mencairkan suasana, berusaha membuatnya nggak cuma asyik sendiri dengan kebisuannya, tapi respon yang aku terima jauh dari bayanganku. Parahnya, dia orang Kebumen juga. Entah Kebumen sebelah mana, tapi aku sama sekali nggak ada rasa satu nasib karena satu daerah. Attitude-nya itu nol. Payah.

Mungkin ini masih permulaan. Untuk selanjutnya mungkin nggak akan begini. Semua akan saling mengerti, saling menghargai, saling memiliki, saling menjaga, bahwa inilah tim relawan PMI. Kekompakkan mutlak diperlukan. Nggak ada yang namanya ego dkk-nya. Ya, semoga saja memang menjadi lebih baik lagi, dan pastinya orang dengan attitude buruk itu bisa berubah.
Yogya, 30 September 2013

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan