Langsung ke konten utama

TAPI... MAHAL, MAS



Geli aku mendengar kalimat pendek itu dari lisan dua pramuniaga warung kelontong dekat kost semalam. Perkataan mereka seolah-olah mahasiswa adalah kasta terendah dalam perekenomian. Penting ya, bilang "tapi... mahal, Mas" ke pembeli? Nggak ada yang nanya sebenarnya. Ini nih yang udah menjadi kebiasaan orang Indonesia, menjelaskan sesuatu yang nggak ditanyakan. Seperti kalimat dua wanita berjilbab yang jadi pramuniaga itu. Aku nggak kenal mereka, tapi sekedar tahu. Beberapa kali aku bertransaksi di warung kelontong itu yang dilayani oleh mereka. Barang yang aku beli selalu sama, tiga bungkus deterjen sachet, tiga bungkus pewangi pakaian yang juga sachet. Ya, aku jarang sih beli yang lain. Beras juga jarang. Paling kalo persediaan beras di kost abis, baru beli beras 1 kg (dengan harga paling murah) di warung itu.

Mereka nampaknya hafal dengan belanjaanku yang cuma itu-itu aja. Ada sedikit tawa saat tadi malam salah satu dari mereka melayani tiga deterjen sachet pesananku.

"Mba, ada spon pencuci piring nggak?"
"Hmm... ada. Ada 'kan Mba?" Kata pramuniaga yang lebih muda kepada pramuniaga yang lebih tua, meyakinkan.
"Ada, tapi... mahal, Mas."
"Berapaan sih?"
Mereka mulai sibuk mencari spon pencuci piring yang ingin aku beli. Nampaknya jarang banget ada yang beli benda itu.
"Yang biasanya lagi nggak ada, Mas. Yang ini mahal."
"Berapaan?"
"Rp 5000."

Ah, kalian ini bikin aku geli dan memutar bola mata. Perkataan kalian "tapi... mahal, Mas" sungguh nggak penting. Aku sih nggak keberatan dengan harga segitu. Emang sih, uang saku mahasiswa itu terbatas. Mana ada mahasiswa yang uang sakunya unlimited bak akses kecepatan wi-fi UIN SuKa coba? Mungkin hanya 1:10 deh.

"Yang biasanya cuma Rp 2.500."

Selisih Rp 2.500 nggak terlalu gede, wahai dua pramuniaga. Harga itu lebih kecil dari jatah akses internet sekali pakaiku, Rp 3000. Harga Rp 5000 masih standar. Apalagi buat spon pencuci piring yang emang kegunaannya tuh tahan lama. Spon yang aku pake sebelumnya, itu udah sejak kapan tahu, lama banget. Sampe busanya tuh jadi kecil, secuil. (Yogya, 17 Mei 2013)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan