Alkhamdulillah. Beauty Inside, Story 45, Juni 2013
Hewan
sihir sedang populer di Cloverland. Banyak anak muda yang rela menabung demi
memilikinya. Kekuatan hewan sihir sangat beragam, mulai dari perisai hingga
kekuatan penyembuh. Theo pun ingin memiliki hewan sihir. Namun harganya yang
sangat mahal membuat ia harus menabung dan mencari pekerjaan paruh waktu lebih
banyak.
“Kau
yakin menginginkan hewan sihir, Theo?” Kata Loki, sahabat sejak kecil Theo.
“Aku harus memiliki hewan sihir.
Kekuatan mereka cukup mengagumkan sebagai hewan peliharaan.”
Loki
menyeruput kopi susu hangatnya pelan. Senja baru saja berubah menjadi malam.
Kafe yang biasa menjadi tempat nongkrong bagi Theo dan Loki masih sepi.
Biasanya jika malam sudah larut, pengunjung akan berdatangan untuk sekedar ngobrol
sambil menikmati secangkir kopi.
“Sayang sekali uang yang kau
kumpulkan hanya untuk membeli hewan sihir. Mereka sangat mahal.”
“Memang mahal sih, tapi hewan sihir
sekarang lagi populer, Bro.”
Loki
memainkan sihir api birunya di tangan. “Mahalnya itu, Theo. Kekuatan hewan
sihir juga tidak lebih baik dari sihir kita.”
Theo
menyesap kopi putihnya sambil membayangkan saat ia memiliki hewan sihir.
“Hei Theo. Kau ternyata disini. Hai
juga Loki.”
“Tara. Apa yang kau lakukan disini?”
Theo sedikit tersentak dan hampir memuntahkan kopi di mulutnya.
Tara
tersenyum sambil menunjukkan buku tebal yang dibawanya. Sejarah Sihir oleh Gus Xavier. Theo memperbaiki posisi duduknya.
Loki kembali menyeruput minumannya. Tara duduk di depan Theo dan meletakkan
buku tebal itu di atas meja. Tara mengangkat tangan kanannya dan sebuah buku
menu terbang menghampirinya.
“Kau kesini hanya untuk membaca
buku?”
“Ya, mencari suasana baru. Apa yang
kau lakukan disini?”
“Hanya sekedar ngobrol dengan Loki.”
Tara
mengucapkan pesanannya dan pulpen yang melayang-layang bersama buku menu
menulis pesanan gadis itu.
“Tara, apa kau tertarik memelihara
hewan sihir?” Loki angkat bicara.
“Semua orang menginginkan hewan itu.
Hampir semua teman-temanku memeliharanya, tapi aku sama sekali tidak tertarik.”
“Kenapa? Padahal hewan itu…” Theo
sedikit tidak percaya dengan pernyataan Tara.
“Hewan-hewan itu memang mengagumkan.
Ya, aku juga berpikir begitu, tapi harga hewan sihir sangat mahal. Sayang
sekali uangnya.”
Pesanan
Tara datang. Segelas moccachino. Sebuah mesin virtual muncul di hadapan gadis
itu. Ia harus menekan beberapa angka yang menjadi kode uangnya. Setelah segelas
moccahino itu terbayar, mesin virtual itu menghilang setelah sebelumnya
mengucapkan terimakasih.
“Kau tahu Theo? Banyak sekali orang
di luar sana yang lebih membutuhkan uang daripada untuk sekedar membeli hewan
sihir.”
Theo
mengangkat alis dan menyeruput kopinya. Tara sekarang serius membaca. Diam-diam
Theo memerhatikan gadis itu. Sudah lama perasaan ini mengukir hatinya. Walau rumah
mereka satu komplek, Theo belum pernah sekalipun datang ke rumah Tara, mengajak
pergi berdua atau semacamnya. Theo hanya bisa memendam perasaannya.
Kafe mulai ramai. Bocah kecil
berpakaian lusuh dan dekil tengah
mempertunjukkan sebuah atraksi sihir sederhana, permainan cahaya. Tara yang
asyik membaca mengalihkan pandangan kepada Theo di depannya yang tengah melihat
bocah di depan kafe itu. Tara ikut juga menyaksikan pertunjukkan sihir dari si
bocah.
Bocah itu selesai dengan atraksinya.
Ia tampak menunggu sesuatu. Tara bangkit dari kursinya dan menyerahkan beberapa
keping uang kepada bocah itu. Tersenyum senang, mengucapkan terimakasih dan
pergi. Tara memandang bocah itu dengan mata berkaca-kaca.
“Tara, apa kau baik-baik saja?”
“Aku hanya… sedikit sedih melihat
bocah tadi.” Tara berusaha menahan tangisnya agar tidak pecah.
“Apa kau ada masalah dengan bocah
itu?”
“Apa kau tadi tidak lihat, Theo?
Lihat pakaian yang bocah itu kenakan. Aku berani bertaruh dia tidak sekolah.”
Tara
menarik nafas dan menghembuskannya pelan.
“Hidup memang terkadang tidak adil,”
kata Tara pelan.
Tara
menutup bukunya dan bangkit berdiri. “Mau kemana, Tara?”
“Aku harus pulang. Aku khawatir Ibu
mencariku.”
“Ya, aku juga ingin pulang. Aku bisa
sekalian mengantarmu.”
Loki
kembali menyeruput kopi susu hangatnya dan bangkit berdiri. “Sepertinya aku
juga harus pulang.”
Theo dan Tara berjalan berdua. Rumah
Loki tidak searah dengan rumah mereka. Sepanjang perjalanan, Theo hanya diam
saja. Begitu juga dengan Tara.
“Ah ya, Theo. Apa kau mau menemaniku
pergi ke suatu tempat?”
“Kemana?”
Tara
hanya tersenyum. Langkah gadis itu sedikit lebih panjang yang membuat Theo
sedikit berlari untuk menyejajarinya. Tara seperti terburu-buru.
“Tempat ini…”
“Rumah
singgah bagi anak-anak jalanan. Aku hampir lupa sekarang adalah Hari Anak. Aku harus segera menemui
mereka,” kata Tara sambil mengucapkan mantra. Tangannya bercahaya dan muncul
sebuah kotak berukuran cukup besar.
“Kotak Hadiah. Anak-anak akan suka
ini,” kata Tara sambil tersenyum.
“Kau sering datang kesini, Tara?”
Tara
menjawab pertanyaan Theo dengan senyuman. “Ayo Theo, anak-anak telah menunggu
kita.” Theo berdiri mematung melihat Tara yang melangkah menuju rumah singgah
sambil membawa Kotak Hadiah. Aku semakin
mengagumi, Tara. Kau cantik sekali, bukan hanya sekedar fisik, tapi juga hatimu.
Theo tersenyum dan melangkah menyusul gadis yang disukainya itu. [] (Yogya, 6
Mei 2013)
Komentar
Posting Komentar