Pengen banget jadi penyiar radio. Bekerja sesuai dengan keinginan hati pasti asyik. Nggak berasa kerja karena dijalani dengan bahagia. Ini berlaku untuk semua hal sih. Kalo kita melakukan suatu pekerjaan dengan hati yang bahagia, pasti akan terasa nikmat. Dinda diterima di Kota Perak FM. Arik di Radio Q. Wah... hebat mereka. Seenggaknya satu langkah lebih maju dariku. Seandainya dulu... (Ah, stop! Nggak penting ngebahas masa lalu.) Seharusnya saat Radio Q ngebuka lamaran, aku ikutan kirim juga. (Eh, stop!) Modal aja nekatnya, dan pastinya juga ikhtiar, latihan terus. (Berhenti!) Nggak usah peduli dengan kemampuan diri yang rasanya baru segini-gini aja. (Hentikan, kataku!) Justru melamar di radio komersil itu termasuk bentuk pelatihan diri. Disana pasti ada training sebelum benar-benar on air. (Hentikaaan! Jangan cerita!) Ah, begitulah yang namanya penyesalan. Klise sebenarnya perkataan, "Penyesalan selalu datang belakangan." Klise banget.
Oke, sekarang saatnya tatap ke depan. Masa lalu biarlah berlalu. Ambil hikmahnya aja. Kalo nggak sekarang, kapan lagi? Hmm... tapi (kok ada "tapi"nya sih?) ada suatu perasaan yang, ah.. sulit untuk aku terjemahkan. Ingat cerita Mas Kamal, Gus. Ingat gimana perjuangan mereka dulu. Bermodal apa yang udah ada, lempar lamaran kesana-sini dan berharap keberuntungan menghampiri. Keberuntungan? Iya, lucky. Bakat sih bukan sesuatu yang dominan, tapi lebih karena keberuntungan. Dinda dan Arik berhasil masuk ke radio komersil (selangkah lagi sebelum menjadi the real announcer) berkat keberuntungan. Aku percaya mereka berbakat, tapi tanpa adanya lucky, bisa saja mustahil.
Bakat tentu aja bisa digali. Bisa diasah, bisa dicari. Nggak boleh diam berpangku tangan, berkeluh kesah, hanya karena merasa diri nggak mempunyai bakat apapun. Semua orang punya bakat, aku yakin itu. Bahkan untuk seseorang yang merasa nggak memiliki satu bakatpun, bisa merasa punya, asalkan tekun menjalaninya. Tetap berlatih dan konsisten.
Suaraku emang nggak sempurna, so aku harus pintar-pintar mengolahnya agar kekurangan itu bisa menjadi kelebihanku. Alangkah indahnya jika suatu kekurangan berhasil diubah menjadi suatu kelebihan. Bukan sesuatu yang disesali dan merasa malu mengakui, tapi justru menerima apapun diri kita dengan hati yang lapang. Nggak ada gunanya terpuruk, bahkan berlarut-larut. Intinya tekun. Berusaha. Berdoa. Semua akan menjadi indah. Aku percaya itu. [] (Yogya, 21 Mei 2013)
hahaha bener itu gus
BalasHapus