Langsung ke konten utama

Pacitan Travelers

"Gus, bangun!"
Tepat Raisa menyanyikan Could It Be, pintu kamarku diketuk. Pukul 2.30 pagi. De-Ha nggak seperti biasanya. Jumat, 4 Januari 2013, De-Ha Family bangun leeebih pagi, mandi leeebih awal. Hari itu istimewa. Istimewa karena De-Ha Family akan touring ke Pacitan. Bisa dibilang touring sih walau tujuannya kondangan. Tapi karena jauhnya dan kesana naik motor, jadi touring deh.
Bagiku ini terlalu rempong. Hello... bisa nggak sih kita berangkat ke Pacitan setelah sholat subuh? Slow saja. Rencana, langsung cusss ke Pacitan jam 3 subuh, tapi karena kebiasaan jelek yang susah banget diilangin a.k.a ngaret, jam 4 subuh kurang lebih, kami langsung cusss ke Pacitan setelah sebelumnya nunggu Mas Panca di depan Polres atau Polsek Gunungkidul (rada lupa) dan sholat subuh di pom bensin yang aku lupa namanya. Yang jelas ada di Gunungkidul yang jalannya belok-belok lumayan ekstrim.

Perjalanan ke Pacitan sungguh menguras tenaga dan waktu. Sempat sarapan di rumah makan lesehan Moro Seneng Tenan 1 yang harga makanan dan minumannya mahaaal banget. Kami beli lokasi. Lokasinya deket bendungan Gajah Mungkur (kayaknya ini namanya deh), bendungan terbesar se-Asia. Hampir 5 jam perjalanan kami tempuh. Kami sampai di lokasi pernikahan Ustadz Arfi sekitar jam 11 siang. Mendekati sholat Jumat. Jalan ke Pacitan itu lebih ekstrim daripada jalan ke Gunungkidul. Belok-belok, naik-turun lebih ekstrim. Aku hampir saja nabrak pas lewat jalan nurun tajam dan beloknya juga tajam. Alkhamdulillah Allah SWT masih sayang padaku dan Yudha. Nggak ada kendaraan lewat dari arah berlawanan, sehingga aku yang hampir nabrak dan jatuh, nggak celaka. Benar-benar hal yang patut disyukuri aku terhindar dari celaka. Setelah kejadian ekstrim yang bikin sport jantung itu, aku ogah bawa motor. Aku serahin ke Yudha buat ngendarain. Aku santai di belakang.
Jujur, perjalanan jauh itu lebih berasa capeknya ada diboncengan. Duduk diaaam saja. Nggak bisa pindah-pindah sebebas kita, kecuali naik mobil. Tepos ya tepos, kesemutan ya kesemutan. Ngendarain beda ceritanya. Capek sih sama, tapi seenggaknya masih bisa pindah posisi duduk. Buat ngilangin tepos, kesemutan, dan sebangsanya juga.
Jalan ekstrim itu hampir kami temui sepanjang perjalanan. Mulai dari Gunungkidul, yang sekarang terasa biasa ekstrimnya hingga ke Pacitan yang ekstrimnya luar biasa. Setelah melewati gunung mendaki lembah (sengaja lebay, hi hi hi...) akhirnya sampai juga di rumah mempelai wanita. Disana, langsung disambut sama beberapa laki-laki, mungkin temannya Ustadz Arfi. Aku lihat siapa saja yang datang berdasarkan kendaraan yang parkir. Katanya petinggi UIN SuKa yang aku lupa namanya :$ juga dateng ke pernikahan Ustad Arfi. Ada mobil bertuliskan "Ikatan Da'i Indonesia". Wajar sih. Ustadz Arfi lulusan Libya. Jadi jaringannya pun hebat-hebat. Aku ingin suatu saat nanti bisa menjadi hebat seperti Ustadz Arfi. Apalagi pas pernikahanku kelak, orang-orang hebat adalah relasiku. Amiiin.
Rumah mempelai wanita terletak di daratan tinggi. Harus naik, jalan kaki dulu untuk sampai disana. Perayaan nikahan yang sederhana. Dekorasi yang sederhana, penampilan kedua mempelai yang juga sederhana. Makanan yang dihidangkan pun sederhana. Nggak ada gedung Multi Purpose atau gedung mewah, nggak ada EO, semuanya serba sederhana. Bahkan mempelai wanita berdandan sangat sederhana, tanpa make up tebal berlebihan. Jilbab lebar berwarna putih, tipikal akhwat banget. Begitu juga beberapa tamu yang datang. Akhwat banget. Adem lihatnya.
Setelah mengucapkan selamat atas pernikahan Ustadz Arfi, kami dijamu dengan makanan. Menunya sederhana, namun terasa mewah bagi kami yang sehari-hari biasa mengonsumsi tahu-tempe dan paling banter daging ayam, itu pun jarang-jarang. Yah, hitung-hitung perbaikan gizi.
Makan-makan sambil ngobrol ngalor-ngidul, lalu foto dengan kedua mempelai, tapi aku nggak ikut. Aku nunggu momen yang pas. Eh, ternyata pas semuanya sudah foto, tinggal aku doang dan mereka sama sekali nggak ingat. Nevermind.
Go home time! Menjelang sholat Jumat, kami pulang. Kami pamit dari lokasi pernikahan dengan meninggalkan doa kepada Ustadz Arfi dan pernikahannya. Satu per satu mulai meninggalkan lokasi. Aku-Yudha, Ipul-Miko ketinggalan di belakang dan teman-teman De-Ha nggak mau nungguin. Jalannya yang naik-turun, belok-belok, membuat kami nggak bisa melaju dengan cepat dan bebas. Dikit-dikit ngerem. Sampai di jalan besar (yah bisa dibilang begitu), kami sempat kebingungan, dimana teman-teman. Kami pun belok ke salah satu arah, aku nggak tahu sebelah mana. Disana aku kehilangan arah. Nggak tahu mana selatan, utara, barat, timur, dan sebangsanya.
Jalan yang kami lalui salah. Kami pun putar balik dan alkhamdulillah kami ketemu teman-teman De-Ha di sebuah masjid. Hari Jumat, sholat Jumat dan masjid itu tampak sepi. Aku sempat miris melihat kondisi masjid yang begitu lengang saat sholat Jumat itu.
Setelah terkantuk-kantuk mendengar khutbah, kami santai-santai dulu di masjid yang aku lupa namanya itu. Banyak ngobrol kesana-kemari, ada yang tidur, semuanya rileks sambil menunggu hujan reda. Saat-saat bareng seperti itulah jahil mulai muncul. Fajar, Yudha, Rois, dan Ipul yang terlelap diabadikan melalui kamera. Pose yang begitu unik. Bahkan Rois sampai "overdosis" a.k.a ngiler. Mulutnya sampai berbusa karena liur gitu. Mas Wahid juga merekam dengkuran Ipul yang kocak.
Jam 2 siang atau 3 sore, kami pulang. Benar-benar pulang, melanjutkan perjalanan hingga Jogja. Langit masih belum berhenti menangis. Mantol akan menemani selama perjalanan.
Lagi-lagi beberapa diantara kami tersesat. Aku-Yudha, Miko-Ipul. Nggak tersesat sih, cuma nggak tahu arah. Yang jadi guide perjalanan, Mas Fahmi, pulang belakangan bareng Bashofi-Mas Wahid, Muadz. Rois satu motor dengan Mas Fahmi. Kami pun mengikuti jalan yang ada saja sambil memastikan feeling bahwa jalan yang kami lalui benar. Di Gunungkidul, aku-Yudha yang tersesat. Jalan paling belakang sih. Di tengah perjalanan, Bashofi-Mas Wahid sempat menjemput kami, niatnya untuk memberi tahu jalan mana yang harus aku lalui. Sebelum pulang ke De-Ha, mampir dulu di rumah Mas Panca. Sayangnya, aku nggak ngeh dengan aba-aba dari Bashofi yang menyuruhku berhenti. Aku tetap jalan luruuus saja. Tersesat deh di Wonosari. Aku nggak tahu jalan, Yudha yang aku kira tahu jalan, ternyata juga nggak tahu. Aku yang kali ini mengemudi, mengikuti kata hati saja. Jalan yang naik tajam membuat Beat-ku tersendat-sendat. Seharusnya sebelum lewat jalan naik harus ambil ancang-ancang terlebih dahulu agar tarikan nanjaknya kuat.
Sebelum tersesat di Wonosari, saat masih di Pacitan, ada dua kejadian yang bikin takut saat dalam perjalanan jauh. Ban motor Fajar bocor. Alkhamdulillah ketemu bengkel yang nggak begitu jauh. Baru jalan beberapa kilometer, giliran ban motor Ipul yang bocor. Saat-saat seperti itu, kami banyak banget ketawa. Adaa saja bahan lelucon yang bikin aku ketawanya muter kenceeeng banget. Saat-saat touring atau pergi bareng-bareng gini yang bikin kami tertawa lepas dan heboh.
Maghrib datang dan aku masih jalan-jalan di Wonosari. Benar-benar nggak tahu arah. Sempat berhenti di pom bensin, pastinya beli bensin, sambil nunggu balasan SMS dari Mas Panca, Miko, Zuhri. Kali saja mereka bisa menjemput aku dan Yudha. Setelah menunggu lumayan lama, ternyata mereka nggak bisa ngejemput aku. Langsung pulang adalah keputusan yang aku ambil.
Matahari telah tenggelam. Aku benar-benar nggak tahu jalan. Hasilnya, salah jalan. Harusnya lurus, aku malah belok ke Playen. Semakin membuatku dan Yudha nggak ngerti jalan. Dan saat aku jujur bahwa aku salah jalan, Yudha dengan pedenya nyalahin aku. Ini paling nggak aku suka. Nggak usah nyalahin kayak gitu juga kali? Itu bikin aku kesal tapi aku berusaha sabar. Aku ingat perkataan Mas Vedy, "Bukan mencari kambing hitam atas sebuah permasalahan, tapi mencari apa masalahnya."
Sholat maghrib di masjid yang daerahnya benar-benar asing bagiku. Seorang laki-laki, nggak terlalu tua, nggak juga muda seperti aku, Yudha dan teman-teman, tengah-tengah deh, memberi tahu jalan mana yang harus aku lewati untuk sampai di Jogja.
Aku yang mengemudi hingga De-Ha dengan hujan yang terus turun. Hujan membuat sinar lampu Beat terpecah, susah aku ngelihat jalan. Apalagi saat kaca pelindung helm aku tutup, tambah nggak jelas. Mobil dari arah berlawanan nyalain lampunya lampu jauh. Menurutku sih. Benar-benar bikin silau. Akhirnya sampai juga. Capek tapi berkesan. Pengalaman tak terlupakan bersama De-Ha Family. Aku-Yudha, Mas Fahmi-Rois, Mas Panca-Richi, Ipul-Miko, Bashofi-Mas Wahid, Fajar-Zuhri, Mas Arif-Asep, Mas Zen, Muadz. :)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan