Langsung ke konten utama

Melodi yang Hilang, dimuat di Majalah Kuntum edisi Mei 2012


MELODI YANG HILANG

                Gerimis tipis turun dari langit. Aku segera mengambil payung lipat berwarna biru di dalam tas. Untung saja aku bawa payung. Sekarang, cuaca sungguh tidak bisa ditebak. Pagi tadi cerah-ceria. Tidak ada tanda-tanda akan hujan, dan pagi menjelang siang ini, tiba-tiba saja mendung datang dan menumpahkan rintik-rintik kecil air.
                Aku lihat sekeliling. Banyak yang tidak membawa payung. Walaupun gerimis, mereka tetap bertahan di tempat masing-masing. Mungkin kalau badai datang, mereka tidak akan peduli dan tetap berdiri di tempat masing-masing. Mereka kesini membawa mimpi. Mereka berkumpul di tempat ini, menunggu dari pagi, hanya untuk merealisasikan mimpi mereka.
                Bukan hanya mereka, tapi aku juga. Aku punya mimpi. Mimpi untuk sedikit saja membalas kebaikan dan cinta kasih Ibu. Membalas? Sepertinya tidak tepat aku katakan bahwa apa yang aku lakukan ini adalah untuk membalas semua yang Ibu berikan. Kasih ibu sepanjang masa, kasih anak sepanjang galah. Apapun namanya aku hanya ingin membuat Ibu bahagia.
                “Nak, tahukah kamu bahwa Ayah suka sekali menyanyi?” kata Ibu suatu hari.
Entah ada angin apa Ibu mau bercerita tentang Ayah hari itu. Selama ini, Ibu sama sekali tidak pernah menyebut-nyebut tentang Ayah. Terakhir yang aku ingat, aku bertanya tentang Ayah saat aku kelas 4. Waktu itu ada sebuah acara di sekolah. Namanya Sehari bersama Ayah. Tiap aku bertanya tentang Ayah, Ibu selalu menjawab kalau Ayah sedang bekerja di luar kota. Tapi waktu aku menanyakan Ayah lagi, saat kelas 4 itu, Ibu menjawab kalau aku sebaiknya tidak perlu bertanya tentang Ayah lagi. Setelah berkata seperti itu, Ibu menangis. Baru kali itu aku melihat Ibu menangis.
                Keesokan harinya aku tidak masuk sekolah. Aku bilang pada Ibu kalau sekolah libur. Lagipula untuk apa aku berangkat sekolah? Acara Sehari bersama Ayah jelas tidak bisa aku ikuti. Ayahku sekarang sedang bekerja yang aku sendiri tidak tahu dimana. Di luar kota, itu jawaban Ibu. Sejak saat itu aku tidak pernah bertanya tentang Ayah lagi.
                Aku menghentikan aktivitas menulisku. Aku pandang Ibu. “Suara Ayahmu sangat bagus. Ibu yakin Ayahmu bisa menjadi penyanyi terkenal kalau dia mau. Dulu, Ayah menyatakan cinta kepada Ibu juga melalui lagu. Ibu lupa lagu apa yang Ayah bawakan waktu itu. Kejadiannya sudah lama sekali.”
                “Bagaimana Ayah waktu itu Bu? Apa Ayah selalu menyanyi untuk Ibu?” Tanyaku.
Banyak sekali yang ingin aku tanyakan tentang Ayah kepada Ibu. Selama ini aku menahan diri. Aku tidak mau Ibu menjadi sedih seperti waktu itu. Aku tidak mau Ibu menangis lagi. Tapi saat ini Ibu yang memulai cerita tentang Ayah. Ini kesempatanku untuk bertanya tentang Ayah yang belum pernah aku lihat selama hidupku.
                “Ah, Ibu lupa sedang memasak air. Sepertinya air telah mendidih,” kata Ibu sambil beranjak. Ibu sama sekali tidak menjawab pertanyaanku. Sepertinya Ibu tidak ingin bercerita lebih banyak tentang Ayah lebih dari ini.
                Aku pandang kertas berwarna biru dan putih bertuliskan angka 16893 yang menempel di dadaku. Bakat menyanyiku mungkin warisan dari Ayah. Aku sama sekali belum pernah mendengar suara Ayah. Tapi kata Ibu, suara Ayah sangat bagus. Aku yakin memang Ayah memiliki bakat itu. Aku berdiri disini dengan membawa restu dari Ibu. Ibu tidak pernah melarangku untuk bernyanyi. Ibu memuji bahwa suaraku sangat bagus. Ibu sangat mendukungku mengikuti ajang pencarian bakat di bidang tarik suara ini.
                Gerimis telah berganti menjadi hujan. Aku beruntung karena sebentar lagi aku akan menemui juri. Sementara yang lain tampak melindungi kepala mereka dengan apapun yang mereka bawa; tas, jaket, hingga buku. Bismillah, aku pasti bisa.
                “Kenapa Bapak tadi bilang tidak?” tanya seorang wanita 30-an tahun yang memakai kacamata minus 3. Rambutnya yang kecokelatan diikat dengan tali rambut berwarna merah muda.
                “Saya pikir suara gadis tadi bagus,” kata pria dengan rambut duri landak yang duduk di sebelah wanita berkacamata minus 3. Sekarang sedang jam istirahat. Ada waktu sekitar 60 menit untuk kembali melanjutkan audisi.
                “Yang penting gadis itu berhak lolos ke babak selanjutnya bukan? Tidak penting kalian tahu kenapa saya berkata tidak untuk gadis itu,” jawab pria yang paling tua diantara tiga juri itu. Usianya sekitar 50 tahun. Penyanyi senior yang tetap kondang hingga kini.
Pria itu mengambil lembar formulir gadis yang baru saja audisi sebelum jam istirahat. Kedua juri meloloskan gadis itu ke babak selanjutnya. Sedangkan ia memilih tidak. Satu lawan dua. Gadis itu berhak untuk mendapatkan tiket emas. Melihat foto dan biodata gadis itu, si pria 50 tahun itu kembali membuka memori yang telah begitu lama ia simpan.
                Apa ini anakku? Apa benar ini anakku? Waktu itu seorang wanita tengah hamil tiga bulan. Untuk biaya persalinan, suami wanita itu berniat mencari pekerjaan di luar kota. Awalnya si wanita menolak, tapi sang suami berhasil meyakinkan istrinya bahwa sesampainya di kota, ia akan cepat-cepat mencari kerja dan akan kembali sebulan sebelum anak pertama mereka lahir. Dengan berat hati, si wanita melepas suaminya bekerja di luar kota.
                Sungguh tidak mudah mencari kerja. Suami dari wanita hamil itu sudah hampir seminggu tidak juga memperoleh pekerjaan. Akhirnya ia memutuskan untuk menjual suaranya. Ia menyadari bahwa suaranya bagus. Tetangga dan istrinya pun mengatakan hal yang sama. Ia juga sempat membuat grup vokal dan keliling kampung untuk menghibur warga dengan nyanyian. Dulu, saat ia masih remaja tanggung.
                Ia menyanyi di bawah lampu merah. Berharap orang-orang akan terhibur dengan suaranya. Jadi ia merasa tidak sedang meminta-minta karena ia memberikan jasa kepada mereka. Seorang produser musik mendengar suara emas itu. Saat lampu merah berubah menjadi hijau, produser musik yang cantik itu menemui si pemilik suara emas. Ia mengatakan bahwa suara yang didengarnya tadi sangat bagus. Karakter suaranya unik. Ia meminta pria dengan kaus oblong dan celana pendek di hadapannya menjadi penyanyi di bawah naungannya.
                Bagai Cinderella, produser wanita yang masih lajang itu menyatakan rasa sukanya pada pria yang pernah menjadi pengamen itu. Si pria terkejut dengan pernyataan produser musiknya. Ia sempat bingung harus menjawab apa. Menolak, ia tidak sanggup mengatakan kata itu. Banyak sekali jasa produser wanita itu baginya. Menerima, bagaimana dengan istrinya yang sedang mengandung?
                Di tengah kebingungan itu, ia memutuskan untuk menutupi latar belakangnya sebagai pria beristri. Ia menerima cinta produser wanita itu. Mereka menikah.
                Hujan masih membasahi bumi. Ibu berdiri di balik jendela menanti anak gadisnya pulang. Apa kamu lolos seleksi, Nak? Apa… kamu bertemu dengan laki-laki itu? Selama ini Ibu tahu dimana suaminya berada. Ia tidak bodoh untuk mengenali suaminya sendiri walaupun dengan penampilan yang begitu elit seperti saat ini. Ibu hanya diam saja. Apalagi setelah mengetahui kalau laki-laki yang Ibu cintai itu telah menikah dengan produser yang mengorbitkan laki-laki itu sebagai penyanyi, Ibu tidak ada keberanian untuk menemui laki-laki itu dan memintanya kembali. Ibu tahu hal ini dari tetangga yang kebetulan melihat suami Ibu sedang menyanyi di TV. Sejak saat itu, Ibu pindah rumah. Jauh, jauh dari tempat kenangannya bersama sang suami.
Laki-laki yang Ibu cintai sudah berubah. Bukan lagi seorang laki-laki miskin. Ia telah berubah menjadi seorang laki-laki kaya bersuara emas. Siapa yang akan percaya bahwa Ibu adalah istri laki-laki itu? Bisa-bisa Ibu dianggap gila karena mengaku sebagai istri seorang penyanyi.
                Ibu tahu, Nak, kamu pasti bertemu dengan Ayahmu di audisi nyanyi itu. Kamu belum tahu bahwa laki-laki yang menjadi juri itu adalah Ayahmu. Haruskah Ibu memberitahumu, Nak? Ibu memandang TV hitam putih yang sedang menayangkan iklan sebuah ajang pencarian bakat dalam bidang menyanyi. Ibu kenal salah satu juri itu. Laki-laki yang 20 tahun lalu berdampingan dengannya. -selesai- Yogyakarta, 26 Februari 2012

Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan