MELODI YANG HILANG
Gerimis tipis turun dari langit.
Aku segera mengambil payung lipat berwarna biru di dalam tas. Untung saja aku
bawa payung. Sekarang, cuaca sungguh tidak bisa ditebak. Pagi tadi cerah-ceria.
Tidak ada tanda-tanda akan hujan, dan pagi menjelang siang ini, tiba-tiba saja
mendung datang dan menumpahkan rintik-rintik kecil air.
Aku lihat sekeliling. Banyak
yang tidak membawa payung. Walaupun gerimis, mereka tetap bertahan di tempat
masing-masing. Mungkin kalau badai datang, mereka tidak akan peduli dan tetap
berdiri di tempat masing-masing. Mereka kesini membawa mimpi. Mereka berkumpul
di tempat ini, menunggu dari pagi, hanya untuk merealisasikan mimpi mereka.
Bukan hanya mereka, tapi aku
juga. Aku punya mimpi. Mimpi untuk sedikit saja membalas kebaikan dan cinta
kasih Ibu. Membalas? Sepertinya tidak tepat aku katakan bahwa apa yang aku
lakukan ini adalah untuk membalas semua yang Ibu berikan. Kasih ibu sepanjang
masa, kasih anak sepanjang galah. Apapun namanya aku hanya ingin membuat Ibu
bahagia.
“Nak, tahukah kamu bahwa Ayah
suka sekali menyanyi?” kata Ibu suatu hari.
Entah
ada angin apa Ibu mau bercerita tentang Ayah hari itu. Selama ini, Ibu sama
sekali tidak pernah menyebut-nyebut tentang Ayah. Terakhir yang aku ingat, aku
bertanya tentang Ayah saat aku kelas 4. Waktu itu ada sebuah acara di sekolah.
Namanya Sehari bersama Ayah. Tiap aku bertanya tentang Ayah, Ibu selalu
menjawab kalau Ayah sedang bekerja di luar kota. Tapi waktu aku menanyakan Ayah
lagi, saat kelas 4 itu, Ibu menjawab kalau aku sebaiknya tidak perlu bertanya
tentang Ayah lagi. Setelah berkata seperti itu, Ibu menangis. Baru kali itu aku
melihat Ibu menangis.
Keesokan harinya aku tidak masuk
sekolah. Aku bilang pada Ibu kalau sekolah libur. Lagipula untuk apa aku
berangkat sekolah? Acara Sehari bersama Ayah jelas tidak bisa aku ikuti. Ayahku
sekarang sedang bekerja yang aku sendiri tidak tahu dimana. Di luar kota, itu
jawaban Ibu. Sejak saat itu aku tidak pernah bertanya tentang Ayah lagi.
Aku menghentikan aktivitas
menulisku. Aku pandang Ibu. “Suara Ayahmu sangat bagus. Ibu yakin Ayahmu bisa
menjadi penyanyi terkenal kalau dia mau. Dulu, Ayah menyatakan cinta kepada Ibu
juga melalui lagu. Ibu lupa lagu apa yang Ayah bawakan waktu itu. Kejadiannya
sudah lama sekali.”
“Bagaimana Ayah waktu itu Bu?
Apa Ayah selalu menyanyi untuk Ibu?” Tanyaku.
Banyak
sekali yang ingin aku tanyakan tentang Ayah kepada Ibu. Selama ini aku menahan
diri. Aku tidak mau Ibu menjadi sedih seperti waktu itu. Aku tidak mau Ibu
menangis lagi. Tapi saat ini Ibu yang memulai cerita tentang Ayah. Ini
kesempatanku untuk bertanya tentang Ayah yang belum pernah aku lihat selama
hidupku.
“Ah, Ibu lupa sedang memasak
air. Sepertinya air telah mendidih,” kata Ibu sambil beranjak. Ibu sama sekali
tidak menjawab pertanyaanku. Sepertinya Ibu tidak ingin bercerita lebih banyak
tentang Ayah lebih dari ini.
Aku pandang kertas berwarna biru
dan putih bertuliskan angka 16893 yang menempel di dadaku. Bakat menyanyiku
mungkin warisan dari Ayah. Aku sama sekali belum pernah mendengar suara Ayah.
Tapi kata Ibu, suara Ayah sangat bagus. Aku yakin memang Ayah memiliki bakat
itu. Aku berdiri disini dengan membawa restu dari Ibu. Ibu tidak pernah
melarangku untuk bernyanyi. Ibu memuji bahwa suaraku sangat bagus. Ibu sangat
mendukungku mengikuti ajang pencarian bakat di bidang tarik suara ini.
Gerimis telah berganti menjadi
hujan. Aku beruntung karena sebentar lagi aku akan menemui juri. Sementara yang
lain tampak melindungi kepala mereka dengan apapun yang mereka bawa; tas,
jaket, hingga buku. Bismillah, aku pasti bisa.
“Kenapa Bapak tadi bilang
tidak?” tanya seorang wanita 30-an tahun yang memakai kacamata minus 3.
Rambutnya yang kecokelatan diikat dengan tali rambut berwarna merah muda.
“Saya pikir suara gadis tadi
bagus,” kata pria dengan rambut duri landak yang duduk di sebelah wanita
berkacamata minus 3. Sekarang sedang jam istirahat. Ada waktu sekitar 60 menit
untuk kembali melanjutkan audisi.
“Yang penting gadis itu berhak
lolos ke babak selanjutnya bukan? Tidak penting kalian tahu kenapa saya berkata
tidak untuk gadis itu,” jawab pria yang paling tua diantara tiga juri itu. Usianya
sekitar 50 tahun. Penyanyi senior yang tetap kondang hingga kini.
Pria
itu mengambil lembar formulir gadis yang baru saja audisi sebelum jam
istirahat. Kedua juri meloloskan gadis itu ke babak selanjutnya. Sedangkan ia
memilih tidak. Satu lawan dua. Gadis itu berhak untuk mendapatkan tiket emas. Melihat
foto dan biodata gadis itu, si pria 50 tahun itu kembali membuka memori yang telah
begitu lama ia simpan.
Apa ini anakku? Apa benar ini
anakku? Waktu itu seorang wanita tengah hamil tiga bulan. Untuk biaya
persalinan, suami wanita itu berniat mencari pekerjaan di luar kota. Awalnya si
wanita menolak, tapi sang suami berhasil meyakinkan istrinya bahwa sesampainya
di kota, ia akan cepat-cepat mencari kerja dan akan kembali sebulan sebelum
anak pertama mereka lahir. Dengan berat hati, si wanita melepas suaminya
bekerja di luar kota.
Sungguh tidak mudah mencari
kerja. Suami dari wanita hamil itu sudah hampir seminggu tidak juga memperoleh
pekerjaan. Akhirnya ia memutuskan untuk menjual suaranya. Ia menyadari bahwa
suaranya bagus. Tetangga dan istrinya pun mengatakan hal yang sama. Ia juga
sempat membuat grup vokal dan keliling kampung untuk menghibur warga dengan
nyanyian. Dulu, saat ia masih remaja tanggung.
Ia menyanyi di bawah lampu
merah. Berharap orang-orang akan terhibur dengan suaranya. Jadi ia merasa tidak
sedang meminta-minta karena ia memberikan jasa kepada mereka. Seorang produser
musik mendengar suara emas itu. Saat lampu merah berubah menjadi hijau,
produser musik yang cantik itu menemui si pemilik suara emas. Ia mengatakan
bahwa suara yang didengarnya tadi sangat bagus. Karakter suaranya unik. Ia
meminta pria dengan kaus oblong dan celana pendek di hadapannya menjadi
penyanyi di bawah naungannya.
Bagai Cinderella, produser
wanita yang masih lajang itu menyatakan rasa sukanya pada pria yang pernah
menjadi pengamen itu. Si pria terkejut dengan pernyataan produser musiknya. Ia
sempat bingung harus menjawab apa. Menolak, ia tidak sanggup mengatakan kata
itu. Banyak sekali jasa produser wanita itu baginya. Menerima, bagaimana dengan
istrinya yang sedang mengandung?
Di tengah kebingungan itu, ia
memutuskan untuk menutupi latar belakangnya sebagai pria beristri. Ia menerima
cinta produser wanita itu. Mereka menikah.
Hujan masih membasahi bumi. Ibu
berdiri di balik jendela menanti anak gadisnya pulang. Apa kamu lolos seleksi,
Nak? Apa… kamu bertemu dengan laki-laki itu? Selama ini Ibu tahu dimana
suaminya berada. Ia tidak bodoh untuk mengenali suaminya sendiri walaupun
dengan penampilan yang begitu elit seperti saat ini. Ibu hanya diam saja. Apalagi
setelah mengetahui kalau laki-laki yang Ibu cintai itu telah menikah dengan
produser yang mengorbitkan laki-laki itu sebagai penyanyi, Ibu tidak ada
keberanian untuk menemui laki-laki itu dan memintanya kembali. Ibu tahu hal ini
dari tetangga yang kebetulan melihat suami Ibu sedang menyanyi di TV. Sejak
saat itu, Ibu pindah rumah. Jauh, jauh dari tempat kenangannya bersama sang
suami.
Laki-laki
yang Ibu cintai sudah berubah. Bukan lagi seorang laki-laki miskin. Ia telah
berubah menjadi seorang laki-laki kaya bersuara emas. Siapa yang akan percaya
bahwa Ibu adalah istri laki-laki itu? Bisa-bisa Ibu dianggap gila karena
mengaku sebagai istri seorang penyanyi.
Ibu tahu, Nak, kamu pasti
bertemu dengan Ayahmu di audisi nyanyi itu. Kamu belum tahu bahwa laki-laki
yang menjadi juri itu adalah Ayahmu. Haruskah Ibu memberitahumu, Nak? Ibu
memandang TV hitam putih yang sedang menayangkan iklan sebuah ajang pencarian
bakat dalam bidang menyanyi. Ibu kenal salah satu juri itu. Laki-laki yang 20
tahun lalu berdampingan dengannya. -selesai- Yogyakarta, 26 Februari 2012
Komentar
Posting Komentar