Purnama yang Tersenyum, Story edisi 32, 25 Maret 2012 - 24 Maret 2012

Ini cerpen duet pertamaku bareng Leanie Nur Komariyah, sobatku. ^ ^
PURNAMA YANG TERSENYUM
Purnama yang selalu menyapa sempurna dan senang bercengkerama dengan bintang kini tampak muram. Angin nakal sepoi menghembus wajah dua insan yang tengah terpaku saling membisu.
“Apa yang dia lakukan padamu, Arfi ?” Rifai menatap lekat gadis di sampingnya. Gadis yang kini tak seriang dulu. Gadis yang sudah lama membuat rindunya tertahan untuk keluar.
“Sudah hampir tengah malam. Sebaiknya kita pulang saja Fai. Takut Ibu mengomel!” Arfi bangkit dari tempatnya duduk. Tanah berumput yang terbuka. Seluas mata memandang hanya hamparan rumput hijau yang tertangkap mata. Lapangan sepak bola. Yah, lapangan yang berada hanya beberapa meter dari rumah Arfi. Tempat favorit Arfi dan Rifai untuk menuangkan resah, gelisah, suka dan duka pada malam hari.
“Fi!” Rifai dengan lekas menyigap lengan Arfi. “Kenapa nggak menjawab pertanyaanku?”
Arfi menghembuskan nafas panjang, kemudian kembali duduk di samping Rifai.
“Oh yah, sejak kapan kamu memanggilku Arfi? Dari kecil kamu biasanya memanggilku tembem,” Arfi berusaha menghindar dari pertanyaan Rifai.
“Sejak kamu tumbuh menjadi gadis cantik dan jelita.” Sejurus senyum Rifai mengembang.
“Jangan menggombal!” Arfi tertegun. Menatap mata Rifai tanpa senyum. Rifai menangkap sorot matanya. Sorot mata yang penuh luka, tak sebening dulu. Dimana mata bening itu? Mata bening yang selalu bisa menyeret jiwa Rifai terhanyut oleh kenyamanan.
“Ayolah Fi, jawab pertanyaanku!” katanya memohon.
“Pertanyaan?” Arfi pura-pura tak mengerti
“Iya. Apa yang dia lakukan padamu? Sampai hampir setiap hari kamu terlihat murung, bahkan aku hampir tidak mengenalimu”.
“Nggak ada.” Arfi menggeleng pelan. Baginya terlalu berat untuk menuangkan gumpalan yang menyesakkan dadanya akhir-akhir ini pada Rifai. Laki-laki yang mampu menjelma menjadi seperti Ibu yang penuh kasih sayang ketika Arfi menangis karena masalah, menjadi seperti sosok Ayah ketika Arfi manja kekanak-kanakan, dan seperti kekasihnya ketika Arfi selalu ingin Rifai di sampingnya.
Mungkin Arfi mampu untuk menyembunyikan masalah hatinya, tapi tidak untuk menahan air matanya.  Hingga tembok pertahanannya jebol, dan air matanya turun membasahi pipi.
“Tidakkah cukup air matamu sebagai bukti bahwa kamu berkata bohong padaku dengan mengatakan tidak ada?” Rifai resah sendiri melihat gadis di sampingnya tetap diam dan berleleran air mata.
“Ternyata dia tidak sebaik kamu Fai. Kamu selalu ada saat aku butuh, sedang dia yang selalu membuatku menangis. Kamu selalu mengalah, sedang dia selalu maunya menang sendiri. Kamu selalu…”
“Ssstttt…..” jari telunjuk Rifai menempel di bibir Arfi.
“Tapi dia mencintaimu. Kamu juga mencintainya kan?” lanjut Rifai
“Cinta saja tak cukup untuk mengungkapkan kecewaku Fai..”
Arfi termangu dalam diam. Merasakan perih yang sedari tadi ia ingin redakan dari hatinya. Matanya merebak sementara dadanya bergemuruh sakit seperti luka bertabur garam.
“Kenapa kamu diam..? Berbagilah denganku Arfi..!” Rifai menatap Arfi penuh harap
Arfi bimbang. Bibirnya bergetar, “Ini bukan masalah mencintai atau tidak mencintai Fai. Tapi kepercayaan dan kekecewaan.”
“Apa dia menyakitimu lagi..?”
“Aku tak akan menangis kalau dia tidak menyakitiku,” Arfi tersedu berusaha menutup air mata dengan kedua tangannya.
Rifai terhenyak dan merengkuh kepala Arfi. Meletakan di dadanya yang bidang. Mengusap lembut rambutnya yang terurai.
“Sudah… jangan menangis. Bukankah masih ada aku yang selalu ada untuk menemanimu disaat kau membutuhkanku?”
Hening…. suara sedu Arfi melirih. Mutut mereka terkunci berbaur dengan sunyi. Arfi menangis berkepanjangan di dekapan Rifai.
Rifai. Sosok yang begitu istimewa di hati Arfi. Kalau saja Arfi nggak terlambat menyadari perasaannya, mungkin sekarang ia sedang menikmati indahnya sebuah hubungan dalam ikatan benang merah. Arfi menyesal telah begitu mempercayakan hatinya pada sosok cowok bernama Ian. Secara fisik Ian memang sempurna. Mungkin karena kesempurnaan itulah yang membuat Ian seenaknya menabur cinta. Arfi kesal pada cowok itu. Tapi melepaskan ikatan yang sudah terjalin selama 5 bulan sungguh sulit bagi Arfi. Selama itu Arfi banyak memakan kepahitan dari hubungannya dengan Ian. Entah mengapa Arfi masih tetap bertahan hingga kini. Arfi cuma yakin Ian akan berubah.
Tapi kenyataannya? Selama berbulan-bulan hingga bulan ke-5, Rifai sama sekali nggak berubah. Arfi hanya merasakan betapa sempurnanya Ian selama 7 hari di bulan Januari. Itu adalah awal jadian mereka berdua. Mengingat itu Arfi akan tersenyum sendiri. Hari itu sungguh manis. Arfi nggak akan pernah melupakan 7 hari yang penuh makna itu. Dalam hening, ingatan gadis berusia 17 tahun itu kembali ke hari itu. Hari dimana ia merasakan manisnya sebuah ikatan.
26 Desember. Hari ini agaknya kurang bersahabat dengan Arfi. Langit tampak berwarna kehitaman. Sudah bisa dipastikan hujan akan segera turun. Arfi agak malas menuju ke tempat parkir, tempat dimana sepeda motor peninggalan sang Ayah tergeletak. Melihat langit yang muram, Arfi yakin baru sampai jalan ia akan kehujanan. Arfi nggak bawa jas hujan. Tadi pas berangkat sekolah buru-buru. Arfi agak kesiangan karena harus menyiapkan sarapan dan membantu adik semata wayangnya bersiap berangkat ke sekolah. Itu memang sudah tugas Arfi. Ayah dan Ibu sudah tiada. Kecelakaan mobil beberapa tahun silam telah merenggut nyawa mereka. Kini Arfi tinggal berdua dengan Aranina, adiknya yang duduk di kelas 4. Seminggu sekali Nenek dan Kakek pasti mengunjungi cucunya yang yatim piatu. Tiap bulan, Paman, adik dari Ayah mengirim uang kepada Arfi. Arfi sangat bersyukur karena orang-orang di sekelilingnya berhati malaikat.
Arfi melirik jam tangannya. Aranina pasti udah nunggu Arfi. Maka dengan agak tergesa-gesa Arfi menyalakan motornya dan melesat menuju rumah sebelum langit menangis. Baru beberapa meter berjalan, dugaan Arfi menjadi kenyataan. Hujan turun dan semakin lama semakin deras. Daripada harus berhenti mencari tempat berteduh, Arfi menancap gas lebih kencang agar segera sampai di rumah.
Karena hujan, jalanan menjadi licin. Dan saat Arfi mengerem akan membelok, tiba-tiba saja motor Arfi roboh. Dan jatuhlah Arfi di jalanan. Arfi mengaduh menahan sakit di lututnya yang berdarah. Luka yang nggak terlalu parah karena tadi Arfi sedang mengerem. Tapi cukup untuk menciptakan rasa sakit. Di bawah tarian hujan, Arfi sendirian di tepi jalan. Tiba-tiba sebuah motor berhenti tepat di sampingnya. Pengendara motor itu langsung turun dari motor gedenya.
“Kamu kenapa?” kata si pengendara sambil membuka kaca helmnya.
Arfi melirik sekilas pada seragam seseorang dihadapannya. Ian. Tertulis Ian di dadanya. “Emhh..” Arfi mendadak nggak bisa berkata apa-apa.
            “Kakimu berdarah. Kamu jatuh dari motor? Harus segera di bawa ke rumah sakit ini,” kata Ian.
            “Ng.. nggak usah. Ru.. rumahku nggak jauh dari sini kok,” kata Arfi.
            “Rumahmu dimana? Biar aku antar.”
            “Ta.. tapi..”
            “Luka di kakimu itu harus segera di obati. Lagipula kamu pasti akan kesulitan berjalan dengan kondisi kaki luka seperti itu dengan membawa sepeda motor.”
Arfi terdiam. Haruskah ia percaya? Arfi baru kali ini melihat cowok bernama Ian ini. Kayaknya dia bukan siswa dari sekolah tempat Arfi menuntut ilmu. “Percayalah padaku. Aku bukan orang jahat. Berani di hukum pancung deh kalo sekarang aku berbuat jahat sama kamu,” kata Ian seolah bisa membaca kekhawatiran pikiran Arfi.
            Arfi mengangguk. Dengan segera Ian memapah tubuh Arfi. “Aduh…” teriak Arfi.
            “Sakit ya? Rumahmu beneran nggak jauh dari sini kan?”
Arfi mengangguk. “Ayo naik,” kata Ian sambil mempersilakan Arfi menaiki punggung cowok yang baru dikenalnya itu.
            “A.. apa maksudnya?”
            “Ayo naik. Rumahmu nggak jauh dari sini, kita jalan kaki aja ya? Motor kita disini nggak bakal hilang kok. Tenang aja. Aku jamin itu.”
            “Aku.. aku bisa jalan sendiri,” kata Arfi bohong. Padahal lukanya mulai terasa perih akibat terkena air hujan dan membuat kaki kanannya itu berdenyut-denyut.
            “Jangan bohong.”
Arfi akhirnya menerima tawaran dari cowok bernama Ian itu.
            Hujan masih asyik turun. Ian duduk di kursi kayu dengan seragam yang basah. Ia tampak mengamati sekeliling ruangan. Rumah yang sederhana. Arfi muncul dari balik pintu. Seragamnya telah berganti dengan pakaian hangat. Lututnya yang luka sudah di balut dengan perban. Aranina yang membalut dan membersihkan lukanya.
            “Maaf ya aku jadi ngerepotin kamu,” kata Arfi sambil duduk.
            “Biasa aja lagi. Oh ya namaku Ian,” kata Ian sambil mengulurkan tangan.
            “Arfi,” kata Arfi menyambut uluran tangan Ian.
Aranina muncul dengan segelas teh hangat. “Silakan Kak di minum,” kata Aranina.
            “Makasih.”
Detik berikutnya Ian tampak menikmati teh hangat buatan Aranina. Sementara Arfi tampak membuang pandang ke luar jendela. Aranina sudah menghilang ke kamarnya. Asyik membaca majalah yang di pinjam dari temannya.
            “Tehnya enak. Gadis kecil tadi adikmu?” tanya Ian memecah kesunyian.
Arfi mengangguk lalu, “Maaf ya aku nggak bisa berbuat apa-apa dengan seragammu yang basah itu.”
            “Nggak apa. Lagian aku juga mau pulang. Oh ya aku sekolah di SMA Harapan.”
            “Aku di SMA Bangsa,” kata Arfi yang entah kenapa berkata seperti itu. Bukannya Arfi nggak mau memberitahukan dimana ia bersekolah tapi pada orang baru biasanya Arfi nggak akan sejujur ini.
            “Aku pulang dulu ya. Dagh,” kata Ian sambil pamit pergi.
            “Makasih untuk pertolongannya.”
            Sejak pertemuan di bawah hujan itu, Arfi dan Ian kian dekat. Dimulai dari berangkat sekolah bareng, pulang sekolah bareng, belajar bareng, jalan bareng, hingga akhirnya tepat pada tanggal 1 Januari, Ian memberi kejutan pada Arfi.
            “Aku mencintaimu Arfi.”
Gayung pun bersambut. Arfi menerima cinta Ian. Bagi Arfi, Ian adalah sosok cowok sempurna yang diidam-idamkan banyak kaum hawa. Bagaimana nggak? Selain tampan Ian juga baik. Sangat baik. Arfi bahagia mempunyai orang special di hatinya seperti Ian. Rifai, sahabatnya sendiri pun ikut senang dengan kebahagiaan Arfi.
            “Wah.. yang lagi kasmaran,” ledek Rifai.
            “Apaan sih Fai? Emang lagunya Pinkan Mambo?”
            “Tapi bener kan?”
Dan Arfi akan bersemu merah dan tersenyum manis.
            Itu semua hanya bertahan selama 7 hari. Dari Senin hingga Minggu Ian benar-benar sempurna layaknya pangeran dari negeri dongeng. Di hari ke-8 mulai ada tanda-tanda aneh pada diri Ian. Sikap hangat Ian perlahan agak memudar. Dan pada hari ke-10, Ian ketahuan mendua dengan Velicita, teman sekelas Arfi. Rasanya pasti sakit sekali mengetahui itu semua.
            Tapi Arfi mencoba bertahan. Hingga Ian akhirnya mengakui kesalahannya dan meminta maaf pada Arfi. Kata maaf terucap dari lisan dara hitam manis itu. Dan janji cinta yang setia terucap dari bibir seorang Ian.
            Itu hanyalah bualan belaka. Akhirnya Ian mendua lagi. Hati Arfi sakit lagi. Dan Arfi sama sekali nggak bisa marah pada cowok itu. Apa karena Arfi terlalu mencinta? Mungkin. Disakiti berapa kali pun Arfi mencoba bertahan karena ia yakin Ian akan berubah.
            “Sudahlah Fi akhiri hubunganmu dengannya,” kata Rifai membuyarkan flashback memory Arfi.
Dalam pelukan Rifai, Arfi merasa sangat nyaman dan tenang. Air matanya telah surut. Rifai. Sahabat masa kecil yang selalu ada disaat suka dan duka. Cukup 5 bulan ini Arfi bertahan. Mungkin dengan perginya Arfi, Ian akan sadar akan perbuatannya. Dan saat itu tiba, Arfi nggak akan kembali lagi pada cowok yang pertama kali bertemu di bawah hujan itu. Arfi kini tahu bahwa cintanya adalah sahabat masa kecilnya, Rifai. Rifailah cinta Arfi. Arfi yakin ini bukan rasa yang salah. Bukankah cinta itu akan selalu ada disaat suka maupun duka?
            “Mm.. maaf Fi bukan maksudku menyuruhmu putus dengan pacarmu tapi daripada kamu tersakiti seperti ini,” kata Rifai.
Arfi bangkit dari pelukan Rifai. Lekat Arfi memandang mata sang sahabat. Ada teduh yang memancar disana.
            “Aku tau Fai. Karena.. karena..”
            “Karena apa Fi?”
Arfi menelan ludah sebelum sebaris kalimat keluar dari lisannya, “Karena.. aku cinta kamu, Fai.”
            Rifai kaget beberapa saat. Benarkah apa yang dikatakan Arfi? Apa tadi bukan mimpi? Arfi mencintai Rifai?
            “Itu bukan rasa yang salah Fi. Karena aku juga cinta kamu,” kata Rifai seolah membaca pikiran Arfi.
            Purnama yang menggantung di langit seketika tersenyum manis.
-selesai-
17 Juli 2011

Tidak ada komentar:

Posting Komentar