Langsung ke konten utama

Berbuat Baik Itu Menyenangkan, dimuat Yunior Suara Merdeka, 4 September 2011


BERBUAT BAIK ITU MENYENANGKAN
(Judul asli: Kebaikan di Bulan Ramadhan. Judul dan sebagian isi diubah oleh editornya)
            Nggak jauh dari rumah Syifa, ada sebuah rumah kecil yang sangat sederhana. Rumah itu berdindingkan anyaman bambu dan beratapkan seng yang sudah berkarat dan ada lubang-lubang kecil disana-sini. Sehingga kalau hujan pasti akan bocor.
            “Syifa, tolong antarkan makanan ini ke rumah Bu Lili,” kata Ibu saat sore menjelang berbuka puasa.
            “Sebentar lagi buka puasa Bu. Jangan Syifa yang nganter deh Bu,” tolak Syifa yang waktu itu sedang menonton kartun di televisi.
            “Ini juga buat buka puasa. Ayolah Syifa tolong Ibu,” pinta Ibu.
            “Ya deh Bu.”
            Syifa mematikan televisi dan berjalan menuju rumah Bu Lili. Rumah yang berdindingkan anyaman bambu dan beratapkan seng karatan. Rumah itu tampak sepi. Syifa mencoba mengetuk pintu kayu di rumah itu. Tapi sama sekali nggak ada jawaban.
            “Kemana ya orang di rumah ini?” tanya Syifa.
            “Eh.. ada Nak Syifa,” tiba-tiba sebuah suara datang ke telinga Syifa. Ternyata Bu Lili dan Pak Rangga.
            “Assalamu’alaikum Ibu,” kata Syifa sambil meraih tangan Bu Lili. Syifa memang selalu diajarkan oleh orangtuanya untuk selalu bersikap sopan dan hormat kepada orang lain, apalagi kepada orang yang lebih tua. Tapi Bu Lili menepisnya.
            “Maaf Nak Syifa, tangan Ibu kotor,” kata Bu Lili memberi alasan.
            “Oh ya Bu, ini ada makanan buat Ibu,” kata Syifa sambil menyodorkan rantang putih yang dibawanya.
            “Aduh, makasih ya Nak. Ibu jadi ngerepotin nih,” kata Bu Lili.
            “Sudah dulu ya Bu, assalamu’alaikum.”
Saat Syifa sedang berjalan menuju rumahnya, Syifa berpapasan dengan Nina, anak Bu Lili. Di tangan Nina tampak sebuah bungkusan berwarna hitam.
            “Hai Syifa?” sapa Nina.
            “Hai.”
            “Darimana?”
            “Habis dari rumah kamu,” jawab Syifa.
            “Oh ya?”
            “Pulang dulu ya Nin.”
            “Hati-hati,” pesan Nina.
Syifa dan Nina seumuran. Sekolah di SD yang sama walau nggak sekelas. Syifa nggak banyak tahu tentang Nina. Tapi kata teman-teman sekelasnya, Nina suka sekali mengumpulkan barang bekas dan menjualnya. Syifa heran dengan Nina, kok mau-maunya sih ngelakuin hal kayak gitu? Kalau Syifa sih nggak mau.
            “Sudah dikasihkan sama Bu Lili?” tanya Ibu saat Syifa tiba di rumah.
            “Sudah Bu. Tapi kenapa sih Bu, tiap hari kayaknya Ibu selalu memberi makanan pada Bu Lili?”
            “Itu sudah kewajiban kita sebagai orang yang lebih beruntung dari Bu Lili. Apalagi sekarang bulan Ramadhan. Pahalanya akan dilipat gandakan jika berbuat baik di bulan Ramadhan,” jelas Ibu.
Saat itu juga adzan maghrib terdengar dari mushola. Ibu dan Syifa segera berbuka puasa. Ayah masih di luar kota. Mengurus bisnis ternak sapinya. Jadi selama beberapa hari ini Syifa dan Ibu hanya tinggal berdua di rumah.
            Saat istirahat sekolah, Nina tampak duduk sendirian sambil menulis sesuatu di bukunya. Syifa mendekati Nina. Selama ini memang Syifa nggak terlalu akrab dengan Nina. Tapi mulai sekarang Syifa akan mencoba berteman baik dengan Nina. Bukan hanya dengan Nina saja tapi juga dengan yang lain yang selama ini Syifa abaikan. Jujur saja Syifa selama ini pilih-pilih dalam berteman. Syifa ingin mengubah sikap buruknya itu.
            “Hai Nina?” sapa Syifa.
            “Hai.”
            “Kok sendirian disini?”
            “Iya nih Syif. Lagian disini juga sejuk,” kata Nina. Kedua gadis kecil itu sedang duduk di bangku panjang yang ada di bawah pohon dengan daun hijau yang lebat.
            “Nulis apa Nin?” tanya Syifa.
            “Bukan apa-apa. Hanya iseng saja. Daripada bengong sendirian,” jawab Nina.
Keduanya pun tampak ngobrol. Pelan-pelan Syifa mulai akrab dengan Nina. Banyak yang mereka bicarakan. Dari pelajaran, hobi, sampai cita-cita. Nggak terasa bel masuk berbunyi. Keduanya pun segera kembali ke kelas masing-masing.
            Bel pulang akhirnya berbunyi. Syifa merapikan buku-bukunya dan memasukannya ke dalam tas berwarna merah mudanya. Setelah itu Syifa berjalan menuju tempat parkir sepeda. Saat sedang mengayuh sepedanya, Syifa melihat Nina yang sedang berjalan sendirian.
            “Nina jalan kaki?” tanya Syifa begitu tiba di samping Nina.
            “Iya Syif.”
            “Ikut aku aja yuk? Kamu aku boncengin di sepedaku. Oh ya gimana kalau kita hari ini belajar bersama?”
            “Wah.. makasih Syifa. Maaf ya kalau ngerepotin. Ayo. Aku mau kita belajar bareng,” kata Nina.
            “Oke. Nanti jam 3 sore aku ke rumahmu,” kata Syifa.
Mereka pun pulang sekolah bersama-sama dengan Nina yang duduk manis di belakang Syifa. Ini baru pertama kali Syifa pulang bareng Nina. Biasanya Syifa acuh saja saat melihat Nina berjalan pulang sekolah sendirian.
            “Kita belajar Matematika ya Nin,” kata Syifa saat mereka akan belajar bersama.
            “Oke.”
Nina mengeluarkan buku Matematikanya. Buku itu sudah nggak mempunyai sampul. Nina juga mengeluarkan buku tulisnya. Buku tulis itu agak lecek dan ujungnya terlipat. Mereka mulai mengerjakan latihan dan memecahkannya bersama. Syifa melihat di buku tulis Nina nggak hanya pelajaran Matematika saja yang ditulis. Tapi ada Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris. Satu buku untuk tiga mata pelajaran.
            “Nin kok buku Matematika kamu jadi satu sama Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris?” tanya Syifa.
            “Buku Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggrisku habis. Aku belum sempat membelinya. Tabunganku belum cukup untuk membeli buku tulis baru,” jawab Nina sambil tetap fokus pada soal Matematika.
            Syifa tersentuh mendengar perkataan Nina. Untuk membeli buku tulis saja harus menabung dulu? Sesuatu yang selama ini nggak pernah dibayangkan Syifa. Keduanya pun larut dalam belajar. Tiba-tiba Syifa mendapat ide.
            Sepulang dari rumah Nina, Syifa masuk ke dalam kamarnya dan mengambil celengan berbentuk boneka sapinya. Syifa mengambil beberapa uang dan bergegas pergi ke suatu tempat.
            Keesokan harinya Syifa dan Nina tampak asyik ngobrol. Kali ini mereka ngobrol di kelas Syifa. Syifa yang mengajak Nina untuk main ke kelasnya.
            “Ini buat Nina,” kata Syifa sambil menyerahkan sebuah bungkusan berwarna biru.
            “Apa ini Syif?”
            “Buka aja.”
            Nina membuka bungkusan itu dan betapa terkejutnya ia. Isinya beberapa buku tulis baru. “Ini?”
            “Iya itu untuk Nina. Hadiah persahabatanku dengan Nina,” kata Syifa.
            “Terimakasih Syifa,” kata Nina sambil tersenyum senang.
Syifa juga tersenyum. Ternyata berbuat baik itu menyenangkan. Apalagi sekarang lagi bulan Ramadhan. Bulan suci yang membuat amal kebaikan menjadi berlipat-lipat. Mulai hari ini Syifa akan peka terhadap sekitarnya. Jika ada yang butuh bantuan, Syifa akan berusaha menolongnya. Karena berbuat baik itu menyenangkan.
-selesai-
Jogosimo, 16 Agustus 2011

Komentar

  1. Hai kak..
    keren tulisannya..
    kalau nda keberatan, folback ya?
    masih belajar nih.. :)
    radarliliput.blogspot.com

    kamsiyaa ^_^

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

PANGGILAN

Setiap keluarga pasti punya nama panggilan buat anggota keluarganya. Anak pertama dipanggil 'kakak'. Anak kedua dipanggil 'adik'. Anak ketiga dipanggil 'dedek'. Ada juga anak pertama laki-laki dipanggil 'mas'. Anak kedua laki-laki dipanggil 'kakak'. Anak terakhir dipanggil 'adik'. Panggilan ini enggak cuma berlaku buat adik ke kakaknya, tapi juga ayah dan ibu memanggil dengan panggilan ini. Ada juga yang dipanggil Guguk. Panggilan kesayangan buat anjing kesayangan. Ayah dan ibu untuk setiap keluarga juga punya panggilan yang berbeda. Ada yang memanggil 'abah', 'papa', 'bapak', 'abi', 'dad', 'rama'. Ada juga 'ummi', 'mama', 'bunda', 'mom', 'biyung'. Aku memanggil ayah dan ibuku dengan panggilan kesayangan 'bapak' dan 'mamah'. Buat rata-rata keluarga di komplek desaku, panggilan 'bapak' dan 'mamah' jarang banget, teruta

KOBATO

Baru beberapa hari nyelesein nonton semua episode Kobato, anime karya Clamp. Anime yang diproduksi 2009 ini baru aku tonton sekarang, 2014.  Aku emang suka anime, tapi kalo nonton anime update, aku jarang. Biasanya anime yang aku tonton produksi lama. Mulai dari Sailor Moon,  Wedding Peach, Card Captor Sakura, hingga Kobato. Anime-anime itu punya kenangan bareng masa kecilku, kecuali Kobato yang baru aku tahu  sekitar 2011 atau 2012, agak lupa. Pertama kali tahu anime ini dari majalah Animonster (sekarang Animonstar). Waktu itu Kobato yang jadi cover- nya. Itu pun bukan majalah baru, tapi bekas.  Aku beli di lapak sebelah rel kereta di Timoho. Harganya kalau nggak salah Rp 8.500 (padahal harga aslinya Rp 30.000-an :P). Aku tertarik beli  karena cover-nya. Waktu itu sih aku belum tahu Kobato. Suka anime, tertarik dengan Kobato yang jadi cover, aku beli deh majalah itu. Kalau nggak  salah majalahnya edisi 2010. Nah, aku bisa punya seluruh episode Kobato dari Net City, warnet yang a

BUKAN KELUARGA CEMARA

  Rasanya seperti nggak percaya aku ada dalam sebuah geng. Terkesan alay. Eits! Jangan ngejudge dulu, Gus. Nggak semua geng itu alay. Dan nggak semua geng itu hanya untuk remaja SMA demi eksistensi diri. Sebenarnya poin eksistensi dirinya sama sih. Aku, Mbak Iham, Mbak Dwi, Mbak Yatimah, dan Rina secara resmi, hari ini, Minggu, 4 Juni 2023 membentuk sebuah geng bernama Cemara. Berawal dari obrolan random dalam perjalanan menuju Pantai Goa Cemara, kami sempat membahas tentang Keluarga Cemara. Ada Abah, Emak, Euis, Ara, dan Agil. Apakah kami berlima merepresentasikan karakter-karakter karangan Arswendo Atmowiloto ini? Bukan. Hanya karena kami berlima dan pas lagi ngobrol tentang Keluarga Cemara, lahirlah Geng Cemara. Awalnya kami hanya janjian main. Kali pertama kami main ke Solo. Waktu itu Rina belum bergabung di klub ini. Kami hanya janjian main dan... selesai. Kami bikin grup chat dan mengalirlah rencana-rencana untuk main ke mana-mana. Kali ini kami main ke Pantai Goa Cemara. Ide yan